Peristiwa penjarahan, khususnya saat terjadi bencana atau musibah, sering kali menjadi sorotan publik. Tindakan ini kerap dianggap sebagai bentuk kejahatan yang memanfaatkan situasi sulit. Banyak beredar informasi di media sosial dan media massa lain mengenai berita tentang penjarahan masyarakat terhadap korban kemalangan.
Misalnya, sebuah kecelakaan kendaraan besar dengan sepeda motor di Tangerang yang baru-baru ini terjadi. Masyarakat berbondong-bondong ke lokasi kejadian, tetapi bukan untuk membantu, melainkan untuk mencuri suku cadang dari truk tambang yang terparkir di sana.
Ada yang membawa pintu mobil dan membawanya dengan sepeda motor, dengan wajah yang begitu riang, seolah tidak bersalah. Miris.
Ada pula berita lain yang membongkar kelakuan nakal segelintir masyarakat berjiwa penjajah ini ketika ada bencana alam, kecelakaan, atau kemalangan lain. Hal ini secara tidak langsung menguak permasalahan kemiskinan yang memaksa mereka untuk berpikir dan bertindak primitif untuk memenuhi kebutuhan mereka.
Sudah tidak ada lagi kemanusiaan dan empati ketika mereka sudah terdesak oleh kebutuhan fisiologis yang mendesak. Mumpung ada kesempatan, mobil membawa sembako, hasil kebun, minyak tumpah, dan sebagainya, jarah saja, tak usah pikir apa yang akan terjadi kemudian. Jual lagi saja, toh nanti akan dapat banyak uang. Masa bodo korban, biarkan saja.
Mari kita tinjau lagi buku sejarah dan ingatan masa lalu ketika Indonesia masih diduduki oleh bangsa asing dan kita akan segera menemukan setitik kemiripan. Masa penjajahan telah meninggalkan bekas luka mendalam pada bangsa kita.
Eksploitasi sumber daya alam, perbudakan, dan ketidakadilan yang sistematis telah membentuk struktur sosial dan ekonomi yang timpang. Warisan kolonialisme ini tidak hanya sebatas sejarah, tetapi terus memengaruhi kehidupan kita hingga saat ini.
Salah satu warisan pahit kolonialisme adalah mentalitas individualisme yang ekstrem. Selama masa penjajahan, kepentingan individu sering kali diutamakan di atas kepentingan bersama.
Hal ini melahirkan budaya konsumerisme dan materialisme yang berlebihan, di mana orang cenderung mengejar keuntungan pribadi tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap orang lain.
Tindakan penjarahan dapat dilihat sebagai cerminan dari ketimpangan sosial yang masih mendalam di masyarakat kita. Kesenjangan ekonomi yang lebar, akses terhadap sumber daya yang tidak merata, dan lemahnya sistem perlindungan sosial menciptakan kondisi yang memungkinkan terjadinya tindakan kriminal seperti penjarahan.
Dalam konteks sejarah kolonialisme, penjarahan dapat dipandang sebagai bentuk perlawanan yang menyimpang. Ketika sistem sosial yang ada dianggap tidak adil dan tidak memberikan kesempatan, sebagian orang mungkin merasa terdorong untuk mengambil jalan pintas demi memenuhi kebutuhan dasar mereka.
Mentalitas penjarah seringkali dikaitkan dengan sifat dasar manusia yang serakah dan egois. Namun, kita perlu melihat lebih jauh ke dalam akar psikologis dari tindakan ini.
Sejarah kolonialisme telah menanamkan benih-benih ketidakpercayaan dan kecemasan di dalam diri masyarakat. Ketika terjadi krisis, perasaan ketidakamanan ini dapat memicu tindakan impulsif dan irasional.
Selain itu, kolonialisme juga telah membentuk hierarki sosial yang kaku. Mereka yang berada di posisi bawah sering kali merasa termarjinalkan dan tidak memiliki akses terhadap sumber daya yang sama dengan kelompok elite.
Hal ini dapat memicu perasaan frustrasi dan kebencian yang kemudian memanifestasikan diri dalam bentuk tindakan kekerasan, termasuk penjarahan.
Untuk mencegah terjadinya tindakan penjarahan, kita perlu melakukan upaya yang lebih komprehensif. Selain penegakan hukum yang tegas, kita juga perlu membangun masyarakat yang lebih adil dan berkelanjutan.
Pemerintah perlu fokus pada upaya pengentasan kemiskinan, peningkatan akses terhadap pendidikan dan kesehatan, serta menciptakan lapangan kerja yang layak.
Pendidikan karakter dan nilai-nilai kemanusiaan juga perlu ditanamkan sejak dini agar masyarakat memiliki rasa empati dan solidaritas yang tinggi.
Tindakan penjarahan bukanlah fenomena yang muncul dengan sendirinya, melainkan cerminan dari permasalahan sosial yang lebih kompleks.
Sejarah kolonialisme telah meninggalkan warisan yang masih menghantui kita hingga saat ini. Untuk mengatasi masalah ini, kita perlu melakukan upaya bersama dalam membangun masyarakat yang lebih adil, bermartabat, dan berkelanjutan.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Kementerian Haji dan Umrah Jadi Solusi di Tengah Isu Birokrasi dan Politik?
-
Aksi Nyata PENGMAS Perma AGT FP Unila di Panti Asuhan Ruwa Jurai
-
Kesejahteraan Guru Terancam? Menag Bilang 'Cari Uang, Jangan Jadi Guru!'
-
Diksi Pejabat Tidak Santun: Ini Alasan Pentingnya Mapel Bahasa Indonesia
-
Jolly Roger Serial One Piece Jadi Peringatan Kesekian untuk Pemerintah
Artikel Terkait
-
Bikin Warga Ngamuk, Kronologi Truk Tanah Proyek PIK 2 Lindas Kaki Bocah hingga Remuk: Korban Jatuh ke Kolong Truk!
-
Kosambi Tangerang Mencekam, Warga Bakar Truk Tanah dan Bentrok dengan Polisi, Ini Penyebabnya
-
Polisi Tetapkan Pengemudi Truk Kontainer Ugal-ugalan di Tangerang Jadi Tersangka
-
Rapat Bersama Menteri Pembangunan Keluarga, Mensos Targetkan Kemiskinan Ekstrem Turun 0%
-
Pemobil Tiba-tiba Tertembak di Jalan Gading Golf Boulevard Tangerang, Peluru Tembus Pintu Mobil hingga Korban Luka-luka
Kolom
-
Dia Bukan Ibu: Ketika Komunikasi Keluarga Jadi Horror
-
Gaji Pencuci Tray MBG Jadi Sorotan, Netizen Bandingkan dengan Guru Honorer
-
Sule Ditilang: Curhat Beban Biaya Kendaraan yang Bikin Netizen Relate
-
Bertemu Diri Kecil Lewat AI: Percakapan yang Tak Pernah Kita Siapkan
-
Bahaya! Fenomena Groupthink Bisa Membunuh Karakter dan Jiwa Anak Muda!
Terkini
-
4 Serum Ekstrak Lemon yang Ampuh Bikin Wajah Cerah Seketika, Kaya Vitamin C
-
The Apothecary Diaries Umumkan Musim 3 dengan Misteri Baru di Luar Istana
-
Jangan Sampai Ketipu! Bongkar 7 Trik Jitu Bedakan Sepatu KW vs Ori
-
AXIS Nation Cup adalah Kampus Nyata Para Champion Masa Depan
-
Skuat Garuda Kian Dipenuhi Pemain Uzur, Kebijakan Potong Generasi Era STY Kini Terasa Mubadzir!