Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | hanifati radhia
Ilustrasi praktik kecurangan antar peserta ujian (Pexels/Mikhail Nilov)

Bagi anak-anak kelahiran 90an, seperti saya misalnya, tentu familiar dan senantiasa akan mengingat momen-momen ujian nasional dari jenjang sekolah dasar hingga menengah atas. Bukan saja mengingat akan ketegangan, belajar siang dan malam, ujian pemanasan (try out) setiap bulan hingga keluar masuk les bimbingan belajar. Namun juga mengingat momen di mana saat pengumuman kelulusan, siswa-siswa di Indonesia memiliki tradisi merayakan dengan mencorat-coret pakaian seragam. Walaupun mencorat-coret dan terkadang diikuti aksi konvoi di jalanan kerap menuai pro dan kontra, namun tradisi itu membawa memori tersendiri.

Namun terlepas dari pro-kontranya, kalau direnungkan sekarang, ada kaitan antara Ujian Nasional dengan aksi tradisi mencorat-coret saat pengumuman kelulusan. Hal itu barangkali merupakan wujud ”kebebasan” para siswa setelah sekian bulan-hingga tahun ”dikekang” atau ”dibebani” dengan ”ujian harus lulus dengan nilai yang ditentukan”.

Setiap tahun, Ujian Nasional dilaksanakan dengan tujuan berdasarkan PP No 13 Tahun 2005, untuk menjadi alat pemetaan mutu program pendidikan sekolah. Selanjutnya, Ujian Nasional dianggap penting dan harus dilaksanakan lantaran berkaitan dengan manfaat yakni Ujian Nasional menciptakan motivasi bagi siswa untuk belajar, karena takut akan tidak lulus ujian. Siswa pasti akan malas kalau tidak ada Ujian Nasional, begitu bunyi argumen pejabat Kemendikbud yang dilansir di media.

Sebagai suatu hajatan penting pemerintah melalui Kemendikbud, meski perubahan sistemnya dirasa ke arah lebih baik dari yang semula berbasis kertas hingga digital, namun kecurangan kerap mewarnai pelaksanaan Ujian Nasional. Jika kita merunut dari data Federasi Guru Seluruh Indonesia (FSGI), tahun 2015, jumlah laporan mengenai kecurangan yang diterima FSGI ada 91 kasus, sedangkan pada tahun 2014 terdapat 304 laporan. Kecurangan tertinggi tercatat terjadi pada 2013 dengan jumlah 1.035 laporan Ujian Nasional. Kita bisa simpulkan, sistem berubah, rupanya ”mentalitas” kecurangan dan menerabas masih belum berubah.

Kecurangan yang terjadi pada saat Ujian Nasional bukan sekedar dilakukan antar siswa peserta ujian. Potensi adanya kecurangan mungkin terjadi dilakukan oleh siapapun pihak yang terlibat. Misalnya, ada praktik jual-beli kunci soal ujian dengan nilai mencapai jutaan rupiah. Terlebih, begitu panjangnya mata rantai Ujian Nasional. Mulai dari penyusun dan penulis soal, pengawas, guru, kepala sekolah, hingga pegawai percetakan, para pihak terlibat ini bisa jadi ”oknum” pelaku kecurangan.

Hal ini tentu berkaitan erat dengan orientasi pendidikan sekarang yang cenderung kapitalis dan pragmatis. Bahkan, tidak sedikit yang mengungkapkan jika pendidikan sudah dirasuki oleh kapitalisasi. Maka tidak mengherankan, segala upaya termasuk jalur yang bertolak belakang dengan moral etika bisa dilakukan demi satu kata: lulus. Hal lainnya juga tampak pada materi-materi pelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan pasar saat ini, mengutamakan profit-oriented atau sebagai tenaga kerja di sektor industri. Bukankan karakter jujur, integritas menjadi cerminan tujuan pendidikan selain (hanya) nilai yang tinggi?

Siapa yang diuntungkan dari Ujian Nasional yang menurut wacana akan dihadirkan kembali? Bisa jadi penerbit buku soal-soal trik cepat, bimbingan belajar yang bisa menyulap siswa terlatih menjawab soal dalam hitungan bulan, atau orang-orang yang saya sebutkan sebelumnya? Para sindikat, oknum pelaku kecurangan dengan tersturuktur, sistematis dan masif yang bermain di atas hajatan besar pemerintah ini.

Penutup

Wacana kembali dihadirkannya Ujian Nasional dalam sistem pendidikan Indonesia menuai pro dan kontra di kalangan pengamat, pejabat, warga hingga pihak yang paling berdampak dari kebijakan tersebut yakni guru dan siswa. Menilik dari sejarah dan perjalanan Ujian Nasional tidak lepas dari kecurangan meski telah dilakukan perubahan sistem, seperti penggunaan komputer dan hal lainnya. Artinya hal ini menjadi tantangan integritas bagi seluruh pihak di dunia pendidikan. Perlu adanya penegakan hukum tegas, sanksi serta perubahan mental mendasar bagi perbuatan siapapun yang melanggar. Jangan sampai kecurangan sistematis, terstruktur dan masif menjadi hal wajar yang dinormalisasikan. 

Namun demikian, sebagai warga negara, sebagai orangtua, saya berharap Pemerintah, dalam hal ini melalui Kemendikbud dapat mengkaji dengan mendalam sebelum mengambil keputusan menerapkan kebijakan yang sudah dihapus tersebut. Terlebih, mereka harus menggali dan mendengar penjelasan serta pendapat secara langsung dari guru dan siswa.

Jika memang keputusan tetap melanjutkan Ujian Nasional, maka harapannya ada evaluasi mendasar dari sistem pelaksanaan, pengawasan, kesiapan SDM hingga substansi yang diujikan. Ujian Nasional jangan sampai jadi cerminan gagal dalam upaya bangsa mencerdaskan dan mengangkat harkat kehidupan rakyat. Sudah sepatutnya pendidikan membebaskan manusia dan mendorong mengembangkan minat bakatnya, bukan membebankan pada ujian penentu kelulusan dalam hitungan hari.

hanifati radhia