Bagi anak-anak kelahiran 90an, seperti saya misalnya, tentu familiar dan senantiasa akan mengingat momen-momen ujian nasional dari jenjang sekolah dasar hingga menengah atas. Bukan saja mengingat akan ketegangan, belajar siang dan malam, ujian pemanasan (try out) setiap bulan hingga keluar masuk les bimbingan belajar. Namun juga mengingat momen di mana saat pengumuman kelulusan, siswa-siswa di Indonesia memiliki tradisi merayakan dengan mencorat-coret pakaian seragam. Walaupun mencorat-coret dan terkadang diikuti aksi konvoi di jalanan kerap menuai pro dan kontra, namun tradisi itu membawa memori tersendiri.
Namun terlepas dari pro-kontranya, kalau direnungkan sekarang, ada kaitan antara Ujian Nasional dengan aksi tradisi mencorat-coret saat pengumuman kelulusan. Hal itu barangkali merupakan wujud ”kebebasan” para siswa setelah sekian bulan-hingga tahun ”dikekang” atau ”dibebani” dengan ”ujian harus lulus dengan nilai yang ditentukan”.
Setiap tahun, Ujian Nasional dilaksanakan dengan tujuan berdasarkan PP No 13 Tahun 2005, untuk menjadi alat pemetaan mutu program pendidikan sekolah. Selanjutnya, Ujian Nasional dianggap penting dan harus dilaksanakan lantaran berkaitan dengan manfaat yakni Ujian Nasional menciptakan motivasi bagi siswa untuk belajar, karena takut akan tidak lulus ujian. Siswa pasti akan malas kalau tidak ada Ujian Nasional, begitu bunyi argumen pejabat Kemendikbud yang dilansir di media.
Sebagai suatu hajatan penting pemerintah melalui Kemendikbud, meski perubahan sistemnya dirasa ke arah lebih baik dari yang semula berbasis kertas hingga digital, namun kecurangan kerap mewarnai pelaksanaan Ujian Nasional. Jika kita merunut dari data Federasi Guru Seluruh Indonesia (FSGI), tahun 2015, jumlah laporan mengenai kecurangan yang diterima FSGI ada 91 kasus, sedangkan pada tahun 2014 terdapat 304 laporan. Kecurangan tertinggi tercatat terjadi pada 2013 dengan jumlah 1.035 laporan Ujian Nasional. Kita bisa simpulkan, sistem berubah, rupanya ”mentalitas” kecurangan dan menerabas masih belum berubah.
Kecurangan yang terjadi pada saat Ujian Nasional bukan sekedar dilakukan antar siswa peserta ujian. Potensi adanya kecurangan mungkin terjadi dilakukan oleh siapapun pihak yang terlibat. Misalnya, ada praktik jual-beli kunci soal ujian dengan nilai mencapai jutaan rupiah. Terlebih, begitu panjangnya mata rantai Ujian Nasional. Mulai dari penyusun dan penulis soal, pengawas, guru, kepala sekolah, hingga pegawai percetakan, para pihak terlibat ini bisa jadi ”oknum” pelaku kecurangan.
Hal ini tentu berkaitan erat dengan orientasi pendidikan sekarang yang cenderung kapitalis dan pragmatis. Bahkan, tidak sedikit yang mengungkapkan jika pendidikan sudah dirasuki oleh kapitalisasi. Maka tidak mengherankan, segala upaya termasuk jalur yang bertolak belakang dengan moral etika bisa dilakukan demi satu kata: lulus. Hal lainnya juga tampak pada materi-materi pelajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan pasar saat ini, mengutamakan profit-oriented atau sebagai tenaga kerja di sektor industri. Bukankan karakter jujur, integritas menjadi cerminan tujuan pendidikan selain (hanya) nilai yang tinggi?
Siapa yang diuntungkan dari Ujian Nasional yang menurut wacana akan dihadirkan kembali? Bisa jadi penerbit buku soal-soal trik cepat, bimbingan belajar yang bisa menyulap siswa terlatih menjawab soal dalam hitungan bulan, atau orang-orang yang saya sebutkan sebelumnya? Para sindikat, oknum pelaku kecurangan dengan tersturuktur, sistematis dan masif yang bermain di atas hajatan besar pemerintah ini.
Penutup
Wacana kembali dihadirkannya Ujian Nasional dalam sistem pendidikan Indonesia menuai pro dan kontra di kalangan pengamat, pejabat, warga hingga pihak yang paling berdampak dari kebijakan tersebut yakni guru dan siswa. Menilik dari sejarah dan perjalanan Ujian Nasional tidak lepas dari kecurangan meski telah dilakukan perubahan sistem, seperti penggunaan komputer dan hal lainnya. Artinya hal ini menjadi tantangan integritas bagi seluruh pihak di dunia pendidikan. Perlu adanya penegakan hukum tegas, sanksi serta perubahan mental mendasar bagi perbuatan siapapun yang melanggar. Jangan sampai kecurangan sistematis, terstruktur dan masif menjadi hal wajar yang dinormalisasikan.
Namun demikian, sebagai warga negara, sebagai orangtua, saya berharap Pemerintah, dalam hal ini melalui Kemendikbud dapat mengkaji dengan mendalam sebelum mengambil keputusan menerapkan kebijakan yang sudah dihapus tersebut. Terlebih, mereka harus menggali dan mendengar penjelasan serta pendapat secara langsung dari guru dan siswa.
Jika memang keputusan tetap melanjutkan Ujian Nasional, maka harapannya ada evaluasi mendasar dari sistem pelaksanaan, pengawasan, kesiapan SDM hingga substansi yang diujikan. Ujian Nasional jangan sampai jadi cerminan gagal dalam upaya bangsa mencerdaskan dan mengangkat harkat kehidupan rakyat. Sudah sepatutnya pendidikan membebaskan manusia dan mendorong mengembangkan minat bakatnya, bukan membebankan pada ujian penentu kelulusan dalam hitungan hari.
Baca Juga
-
Program Pembinaan Siswa "Nakal" ala Dedi Mulyadi: Haruskah Cara Militer?
-
Warisan Ki Hadjar Dewantara dan Pendidikan Hari Ini: Antara Cita-Cita dan Realita
-
Ketika Pelindung Jadi Predator: Darurat Kekerasan Seksual di Indonesia
-
Apalah Arti Ijazah? Refleksi dari Polemik Ijazah Jokowi di Era Disrupsi
-
Gibran hingga Studio Ghibli: Guncangan AI di Dunia Kesenian Visual
Artikel Terkait
-
Kini Rekening Ivan Sugianto Diblokir PPATK, Sahroni: Selain Kelakuan Buruk, Dia juga Cari Uang Diduga Ilegal
-
Ada yang Aneh dalam Penangkapan Pria Surabaya Paksa Siswa Gonggong, Pemeran Pengganti?
-
Beda Pendidikan Luna Maya dan Maxime Bouttier: Ternyata Satu Sekolah, Kini Mantap Menikah?
-
Diskotek Ivan Sugianto Digerebek Warga, Suruh Siswa Gonggong Bak Anjing dan Nangis Minta Maaf Jelang Ditahan Polisi!
-
Tanggapi Cuitan Lex Wu, Netizen Curigai Penangkapan Ivan Sugianto: Ada Pemeran Pengganti?
Kolom
-
Nilai Nomor Sekian! Yang Penting Tetap Waras dan Tugas Kelar, Setuju?
-
Transformasi Pola Komunikasi Keluarga dari Telepon Rumah ke Chat dan Video Call
-
Idol Band vs Band Indie: Ketika Musik Bicara dengan Cara Berbeda
-
Budaya Me Time: Self-Care, Self-Reward, atau Konsumerisme Terselubung?
-
Dekonstruksi Stereotip Gender Perempuan: Antara Menjadi Cantik atau Pintar
Terkini
-
Wataru Endo Ingin Jepang Jadi Tim Terkuat, Langkah Indonesia Makin Berat?
-
Son Suk Ku Bahas Peluang Nine Puzzles 2 Usai Jadi Drakor Terpopuler
-
Sinopsis Drama China A Prime Minister's Disguise Episode 1: Romansa Kaisar
-
Review Sarung Untuk Bapak: Sarung lusuh dan Cinta yang Tulus
-
Pelatih Jepang Blak-blakan Ngaku Waspadai Pemain Timnas Indonesia, Siapa?