Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Sherly Azizah
Ilustrasi lampu lalu lintas (Pexels/Maria Tyutina)

Pemandangan di perempatan besar selalu penuh aksi, terutama ketika lampu lalu lintas berubah dari hijau ke kuning.

Alih-alih mempersiapkan diri untuk berhenti, banyak pengendara justru menganggap lampu kuning sebagai aba-aba untuk tancap gas.

Di detik-detik terakhir sebelum lampu merah menyala, adrenalin memuncak. Siapa yang cepat dia menang, meskipun hadiahnya hanya rasa puas bisa "mengakali" waktu.

Fenomena ini membuat kita bertanya-tanya, kenapa banyak yang memilih melaju saat lampu kuning? Bisa jadi, ini karena ada pemahaman yang keliru bahwa kuning berarti “kesempatan terakhir” bukan “peringatan”. Mentalitas “masih sempat nih” begitu kuat.

Satu pengendara ngebut, yang lain ikut-ikutan, menjadikan perempatan sebagai arena balapan dadakan. Siapa pun yang pernah mengalaminya pasti tahu, masalahnya bisa membuat jantung berdegup kencang.

Namun, di balik euforia detik terakhir ini, ada risiko besar yang sering diabaikan. Lampu kuning seharusnya memberi waktu transisi untuk berhenti, bukan memberi alasan untuk melaju lebih cepat.

Kecepatan tinggi di waktu yang sempit meningkatkan risiko tabrakan, terutama jika kendaraan dari arah berlawanan sudah bersiap melaju saat lampu hijau menyala.

Hasilnya? Kecelakaan yang tak jarang membawa kerugian besar, baik materi maupun nyawa.

Hal ini juga menunjukkan bagaimana sebagian pengendara cenderung mengutamakan kepentingan pribadi daripada keselamatan bersama. Mereka mungkin berpikir, “Daripada berhenti dan terjebak macet, lebih baik nekat.”

Mentalitas seperti ini, meski tampak sepele, bisa menikmati situasi lalu lintas. Di beberapa kota besar, pelanggaran lampu kuning sudah menjadi pemandangan biasa, bahkan dianggap hal lumrah.

Padahal, jika kita ingin sedikit lebih disiplin, lampu kuning justru bisa menjadi sekutu terbaik di jalan. Memberikan jeda untuk berhenti dengan aman dan memastikan arus kendaraan berjalan lancar.

Sayangnya, aturan tak tertulis “lampu kuning adalah waktu balapan” masih sulit dihilangkan dari kebiasaan pengendara kita.

Mungkin sudah saatnya ada kampanye khusus yang menyadarkan pengendara tentang fungsi sebenarnya dari lampu kuning.

Karena perubahan perilaku di jalan raya tidak hanya bergantung pada aturan, tetapi juga pada kesadaran kolektif. Perlu ada upaya bersama untuk menghapus kebiasaan yang membahayakan ini.

Pada akhirnya, semua kembali pada kesadaran diri. Perjalanan yang aman lebih penting daripada memenangkan balapan di detik terakhir.

Lagi pula, apa maksudnya sampai tujuan lebih cepat kalau harus mengorbankan keselamatan diri dan orang lain?

Yuk, mulai sekarang pola ubah pikir dan jadikan lampu kuning sebagai tanda untuk berhenti, bukan gas pol!

Sherly Azizah