Di sudut-sudut kafe, taman kota, bahkan ruang tamu rumah orang tua, kita semakin sering menjumpai anak muda berijazah menganggur. Mereka bukan pemalas, bukan pula tanpa ambisi. Mereka adalah lulusan perguruan tinggi yang dulu digadang-gadang sebagai harapan bangsa, kini terjebak dalam ironi: ijazah sudah di tangan, tapi pekerjaan masih di angan. Fenomena ini bukan sekadar statistik. Ini tentang rasa kecewa, keterasingan, dan kehilangan arah di tengah janji manis "kerja mudah asal kuliah tinggi" yang sering kita dengar sejak SD.
Pengangguran terdidik bukan isapan jempol. Menurut data BPS per Februari 2025, tingkat pengangguran terbuka (TPT) di kalangan lulusan perguruan tinggi mencapai 6,23 persen, naik dari tahun sebelumnya. Bahkan lulusan SMA dan SMK mencatat angka lebih tinggi. Pertanyaannya: apakah ijazah kita benar-benar masih punya daya tawar?
Tulisan ini mencoba mengupas ironi kaum muda terpelajar dalam tiga dimensi: hilangnya arah pasca-wisuda, ketimpangan antara dunia kampus dan pasar kerja, serta stigma sosial yang menjerat para penganggur terdidik. Akhirnya, kita akan merefleksikan ke mana seharusnya arah kebijakan dan pendidikan kita berlayar.
Antara Bingung dan Bimbang, Usai Wisuda
Tanya saja ke seribu sarjana baru, dan Anda akan temukan jawaban yang hampir seragam: "Bingung mau kerja apa." Bukan karena mereka tidak belajar. Tapi karena tidak pernah diajarkan untuk mengambil keputusan hidup. Dunia kampus yang seharusnya jadi wahana persiapan justru kadang terlalu akademis, terlalu teoretis, terlalu jauh dari kenyataan.
Neti & Sari (2024) menyebut bahwa banyak lulusan mengalami kekosongan arah setelah lulus. Mereka tidak tahu harus ke mana, bagaimana memulai, dan apa sebenarnya potensi yang bisa ditawarkan. Masa ini bisa jadi penuh stres dan kecemasan, hingga menjerumuskan pada pengangguran yang berkepanjangan.
Di sinilah pentingnya pendidikan karier yang tidak datang terlambat. Sayangnya, pendidikan karier di Indonesia baru disentuh serius saat kuliah menjelang usai. Banyak mahasiswa bahkan tidak pernah mendapatkan pelatihan penulisan CV, wawancara kerja, atau analisis potensi diri. Ketika lulus, mereka masuk ke dunia nyata yang seperti hutan belantara—penuh persaingan, tidak ramah, dan cepat berubah.
Ironisnya, banyak dari mereka justru lebih fasih menjelaskan teori-teori sosiologi atau ekonomi daripada menjelaskan minat dan keahlian pribadi. Ketika ditanya HRD, "Apa yang membuat kamu cocok untuk posisi ini?" mereka malah menunduk, ragu, dan menjawab dengan bahasa skripsi. Bukan karena mereka bodoh, tapi karena sistem tidak pernah mempersiapkan mereka untuk menjawab pertanyaan paling praktis: siapa saya dan apa yang bisa saya tawarkan?
Kampus dan Pasar Kerja: Dua Dunia yang Tak Bertemu?
Pendidikan tinggi seharusnya menjadi jembatan menuju dunia kerja. Tapi kenyataannya, sering kali kampus dan pasar kerja seolah dua dunia yang berjalan sendiri-sendiri. Kurikulum berjalan lambat, dunia kerja berubah cepat. Apa yang diajarkan di ruang kelas tak selalu dibutuhkan di ruang kantor.
Marshall (2013) menjelaskan bahwa pengangguran terdidik adalah bukti adanya dislokasi struktural antara sistem pendidikan dan kebutuhan lapangan kerja. Lulusan keluar dari kampus dengan setumpuk teori, tapi dunia kerja mencari solusi praktis. Mereka keluar dengan idealisme, tapi dunia kerja meminta fleksibilitas dan pengalaman.
Inilah kenapa banyak lulusan akhirnya bekerja di bidang yang tidak sesuai jurusannya. Atau lebih parah lagi: tidak bekerja sama sekali karena tidak tahu harus mulai dari mana. Sementara itu, perusahaan terus mengeluh: sulit mencari tenaga kerja yang siap pakai.
Solusinya? Kampus harus lebih cair dan adaptif. Program magang, studi lapangan, kuliah praktisi, hingga koneksi dengan industri harus menjadi bagian inti kurikulum, bukan tambahan yang bersifat opsional. Mahasiswa harus dilatih berpikir lintas disiplin, karena pasar kerja juga tidak membatasi pekerjaan hanya pada satu jurusan. Dunia kerja hari ini butuh orang yang cepat belajar, bisa kerja tim, dan tahan banting.
Price (2022) juga menyarankan pentingnya program pelatihan resiliensi dan kesejahteraan di kampus. Karena selain keterampilan teknis, mahasiswa juga perlu diajarkan untuk kuat mentalnya. Gagal interview bukan akhir dunia. Ditolak kerja bukan tanda bahwa kita tidak berharga. Dunia kerja keras, dan kita harus diajari cara berdamai dengan kenyataan itu.
Stigma, Sunyi, dan Luka Sosial Pengangguran Terdidik
Kalau kamu lulus kuliah tapi belum kerja, siap-siap jadi bahan pertanyaan rutin di grup keluarga: "Kapan kerja?" "Kamu ambil jurusan apa sih dulu?" Bahkan tidak jarang dituding, "Tuh kan, kuliah tinggi-tinggi nganggur juga."
Sakinah et al. (2024) mencatat bahwa pengangguran muda yang terdidik seringkali merasa terputus dari lingkaran sosialnya. Mereka malu nongkrong, segan ikut reuni, bahkan enggan mengangkat telepon dari teman. Rasa minder dan tak berguna membayangi. Apalagi ketika teman seangkatannya mulai memajang foto kantor di LinkedIn dan Instagram.
Lebih dari itu, Karni et al. (2024) mengungkap adanya stigma sosial yang berat: pengangguran dianggap pemalas, tidak kompeten, atau tidak tahu diri. Padahal, kenyataannya jauh lebih kompleks. Banyak dari mereka justru berjuang keras: ikut kursus online, kirim lamaran tiap hari, hingga buka usaha kecil-kecilan. Tapi stigma sosial telanjur melekat.
Kondisi ini diperparah oleh media sosial yang hanya menampilkan sisi gemilang kehidupan orang. Generasi muda yang baru lulus merasa tertinggal. Mereka merasa gagal, meski sebenarnya hanya belum waktunya berhasil. Akibatnya, krisis identitas, gangguan kecemasan, hingga depresi mulai menghantui generasi muda yang baru menapaki usia produktif.
Inilah saatnya kita mengubah cara pandang terhadap pengangguran terdidik. Mereka bukan beban, tapi potensi yang belum diberi ruang. Mereka butuh dukungan, bukan penghakiman. Butuh mentor, bukan sindiran. Butuh kesempatan, bukan semata nasihat.
Dari Ijazah ke Arah, Dari Stigma ke Peluang
Jika pendidikan adalah janji, maka pekerjaan adalah penebusan janjinya. Tapi di negeri ini, janji itu terlalu sering diingkari. Kita membanggakan angka partisipasi pendidikan tinggi, tapi abai pada nasib lulusan setelahnya. Kita mendesain kurikulum dengan semangat akademik, tapi lupa menyisipkan keahlian hidup.
Tapi ini bukan soal menyalahkan siapa-siapa. Ini soal bagaimana kita, sebagai bangsa, melihat ulang arah pendidikan kita. Pendidikan tidak cukup hanya menjawab soal ujian. Ia harus menjawab soal kehidupan. Pendidikan bukan hanya soal ijazah. Tapi soal arah.
Kampus harus jadi ruang yang membentuk bukan hanya akademisi, tapi juga pribadi yang siap beradaptasi, gagal, bangkit, dan tumbuh. Pemerintah harus membuka akses informasi kerja, pelatihan keterampilan baru, hingga insentif untuk usaha rintisan. Masyarakat harus berhenti mencemooh para pencari kerja dan mulai menjadi jaring sosial yang suportif.
Dan para lulusan muda, kalian tidak sendiri. Masa menganggur bukan aib. Tapi ruang jeda. Gunakan untuk belajar, berefleksi, dan menyusun ulang peta hidup. Karena pekerjaan bukanlah tujuan akhir. Tapi proses menjadi manusia yang utuh dan berguna.
Ijazah boleh saja masih di tangan, tapi arah hidup jangan terus di angan. Mari ubah ironi ini menjadi inspirasi. Demi pendidikan Indonesia yang benar-benar mengantar generasinya, bukan hanya hingga ke pintu wisuda, tapi juga ke gerbang masa depan.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Wajah Baru Gaming dan Gambling di Era Digital: Antara Hiburan dan Kecanduan
-
Menyusui: Hak Asasi yang Masih Terabaikan oleh Kebijakan Publik
-
Eksploitasi Kemiskinan dan Ketimpangan Digital dalam Pemindaian Iris Mata
-
Antara Bansos, Sterilisasi, dan Krisis Hak Asasi Manusia
-
Menjaga Senja yang Ramah: Saat Lansia Tak Lagi Jadi Prioritas
Artikel Terkait
-
PP Muhammadiyah Bicara soal Polemik Ijazah Palsu Jokowi: Kita Hargai, Asal...
-
Siap Hadapi Gugatan Rp69 T Kasus Ijazah Palsu Jokowi, UGM Bakal Minta Bukti Kerugian di PN Sleman
-
24 Saksi Termasuk Roy Suryo Diperiksa Kasus Ijazah Palsu, Polisi Beberkan Bukti yang Dibawa Jokowi
-
Pekerjaan Mentereng Patrice Bouttier, Ayah Maxime Bouttier Curi Perhatian Unggah Video Luna Maya
-
Megawati Sindir Ijazah Jokowi, Golkar: Pembuktiannya di Proses Hukum
Kolom
-
Generasi Paylater: Saat Cicilan Jadi Gaya Hidup
-
Menari di Atas Tali Ekonomi Rumahan: Kisah Kreativitas dan Ketangguhan
-
Dari Uang Saku ke Anggaran! Gimana Perjalanan Kemandirian Finansial Gen Z?
-
Heboh Munculnya Grup Fantasi Sedarah, Bukti Kemerosotan Moral Masyarakat?
-
Ketika AI Mengadopsi Jawaban User dan Hobi 'Menjilat'
Terkini
-
Siap Kecewa Lagi! Ada 2 Alasan MU Tak Akan Turunkan Tim Terbaiknya Lawan ASEAN All Stars Nanti
-
Jelang Sebulan, MYTRO Umumkan Batal Tampil di Allo Bank Festival 2025
-
Mission: Impossible 8 Tuai Standing Ovation selama 5 Menit di Cannes
-
4 Daily Look ala Kim Tae-rae ZEROBASEONE, Gaya Simpel yang Gak Bikin Ribet!
-
Pedro Pascal dan Para Aktor Hollywood Kecam Industri Film Diam Soal Gaza