Pagi yang cerah di Jakarta menjadi panggung yang memprihatinkan ketika media sosial dihebohkan oleh video viral pengendara motor yang berbondong-bondong masuk ke jalur busway.
Pemandangan ini sebenarnya bukan kali pertama, dan ini juga bukan sekadar tontonan biasa, melainkan cermin yang memantulkan wajah asli sebagian masyarakat kita.
Puluhan pengendara motor, bagai kawanan semut yang kehilangan arah, memaksakan diri masuk ke jalur yang jelas-jelas bukan peruntukan mereka, menciptakan kemacetan yang ironis di jalur yang seharusnya lancar.
Betapa kontradiktifnya situasi ini: di jalur reguler, lalu lintas mengalir seperti air, sementara di jalur busway, tempat yang seharusnya menjadi 'jalan tol'-nya transportasi publik, justru macet oleh kendaraan yang tak seharusnya berada di sana.
Parahnya, ketika terjebak dalam kemacetan yang mereka ciptakan sendiri, para pengendara motor ini justru mengambil langkah yang lebih ekstrem: membongkar pembatas jalan.
Tindakan ini bukan hanya melanggar Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan – yang mengancam pelakunya dengan kurungan maksimal dua bulan atau denda Rp500.000 – tetapi juga menunjukkan betapa rendahnya penghargaan terhadap fasilitas publik yang dibangun dengan uang rakyat.
Mengapa fenomena ini terjadi? Jawabannya mungkin terletak pada budaya "jalan pintas" yang telah mengakar dalam masyarakat kita.
Kita sering mendengar ungkapan "waktu adalah uang," tetapi sepertinya kita lupa bahwa integritas dan kedisiplinan adalah investasi jangka panjang yang jauh lebih berharga.
Ketika kita memilih jalan pintas, kita tidak hanya merugikan diri sendiri, tetapi juga menciptakan preseden buruk bagi generasi mendatang.
Penegakan hukum yang tidak konsisten memang menjadi salah satu akar masalah. Namun, bukankah ini juga cermin dari masyarakat kita sendiri? Bagaimana mungkin kita mengharapkan penegakan hukum yang tegas ketika kita sendiri gemar mencari celah untuk melanggarnya?
Bagaimana kita bisa berharap memiliki pemimpin yang berintegritas ketika kita, sebagai masyarakat, masih menganggap pelanggaran aturan sebagai hal yang wajar?
Ada hubungan yang tak terpisahkan antara kualitas masyarakat dan kualitas kepemimpinan. Seperti yang dikatakan salah seorang netizen dalam menanggapi video tersebut, "Kalau mau pemimpinnya kompeten, kita sebagai masyarakat juga harus smart." Pernyataan ini mengandung kebenaran yang mendalam. Pemimpin tidak lahir dari ruang hampa; mereka adalah produk dari masyarakat mereka.
Perubahan memang tidak bisa terjadi dalam semalam, tetapi harus dimulai dari sekarang. Setiap kali kita memilih untuk tetap di jalur yang benar meskipun yang lain melanggar, kita menanam benih perubahan.
Setiap kali kita menolak godaan untuk mengambil jalan pintas, kita membangun fondasi bagi masa depan yang lebih baik.
Mari kita jadikan insiden jalur busway ini sebagai momentum untuk introspeksi dan perubahan. Bukan dengan saling menyalahkan, tetapi dengan memulai dari diri sendiri.
Ketika kita bertanya "mengapa pemerintah tidak tegas?", mari juga bertanya "sudahkah kita menjadi warga negara yang taat aturan?"
Kemajuan sebuah bangsa tidak diukur semata dari gedung-gedung tinggi atau jalan-jalan protokol yang mulus. Ia diukur dari kedewasaan masyarakatnya dalam menaati aturan, menghormati hak orang lain, dan menjaga fasilitas publik.
Hanya dengan membangun kesadaran ini, kita bisa berharap melahirkan pemimpin-pemimpin yang kompeten dan berintegritas di masa depan.
Karena pada akhirnya, cermin akan selalu memantulkan apa yang ada di hadapannya. Jika kita ingin melihat perubahan dalam kepemimpinan dan tata kelola negara, marilah kita mulai dengan mengubah bayangan yang kita pancarkan sebagai masyarakat.
Baca Juga
-
Ketika Pekerjaan Sulit Dicari, tapi Janji Politik Mudah Diberi
-
Review Novel 'Kotak Pandora': Saat Hidup Hanya soal Bertahan
-
Review Novel 'Totto-chan': Bukan Sekolah Biasa, Tapi Rumah Kedua Anak-anak
-
Benarkah 'Kerja Apa Aja yang Penting Halal' Tak Lagi Relevan?
-
Review Novel 'Jane Eyre': Ketika Perempuan Bicara soal Harga Diri
Artikel Terkait
-
Endorse Prabowo ke RK Masih Abu-abu, Ini 'Daerah Kekuasaan' Anies-Ahok buat Menangkan Pramono di Jakarta
-
Jokowi dan Prabowo Disebut Tak Masalah Pramono jadi Gubernur Jakarta, Asal...
-
Mewah dan Canggih! Intip Interior Jetour Dashing & X70 Plus yang Bikin Ngiler
-
Pilkada Jakarta: Endorse Anies-Ahok Bikin Pramono Makin Perkasa, Meski RK 'Dibeking' Jokowi-Prabowo
-
RK Akui Sudah Lama Ingin Ketemu dengan Anies: Chat WA Sudah, Tapi Belum Dibalas
Kolom
-
Pembangunan Hilir vs Pembangunan Hulu: Benarkah Desa Ikut Sejahtera?
-
Sayang Pada Buku Bukan Berarti Pelit: Memahami Hati Seorang Bibliotaph
-
Pasak Lebih Tinggi dari Tiang: Potret Suram Keseimbangan Fiskal Indonesia
-
Dari Iklan ke Film: Bagaimana Media Membentuk Citra Perempuan?
-
Representasi Perempuan di Layar Kaca: Antara Stereotip dan Realitas
Terkini
-
Drama Diaspora Indonesia dalam Film Ali & Ratu Ratu Queens, Penuh Makna!
-
Mengenang Diogo Jota, Ternyata sang Pemain Pernah Bertarung dengan Penggawa Garuda
-
Ulasan Novel The Butcher's Daughter: Kisah Anak Pedagang Daging di London
-
4 Cleanser Lokal Kandungan Glycerin, Rahasia Kulit Kenyal dan Terhidrasi!
-
Tips Menguasai Teknik Dasar Futsal: Kunci Bermain Efektif di Lapangan Kecil