Dalam era digital saat ini, media memainkan peran penting dalam membentuk cara pandang masyarakat terhadap banyak hal, termasuk bagaimana perempuan diposisikan dan dipersepsikan. Mulai dari iklan, film, serial televisi, hingga media sosial, perempuan kerap ditampilkan dalam bentuk visual yang penuh stereotip.
Iklan menempatkan perempuan sebagai ibu rumah tangga ideal, penjaga kebersihan rumah, atau objek seksual yang menarik secara fisik.
Di dunia perfilman, perempuan sering kali menjadi tokoh pendamping laki-laki, korban, atau karakter emosional yang lemah. Representasi ini tidak hanya mengaburkan realitas, tetapi juga mempersempit ruang gerak perempuan dalam kehidupan sosial.
Pertanyaannya, mengapa media terus mereproduksi citra perempuan yang seragam dan tidak mencerminkan keberagaman nyata? Apakah perempuan memang hanya dihargai dari sisi visual dan peran domestiknya? Bagaimana peran industri media, konsumen, dan pembuat kebijakan dalam menyikapi fenomena ini?
Perempuan dalam Iklan: Antara Standar Kecantikan dan Peran Tradisional
Iklan merupakan salah satu bentuk media yang paling sering menguatkan stereotip gender. Dalam banyak iklan produk rumah tangga, misalnya, perempuan selalu ditampilkan sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kebersihan, memasak, dan mengurus anak.
Laki-laki jarang sekali muncul dalam peran ini, seolah-olah tugas domestik adalah kodrat perempuan. Representasi ini memperkuat pandangan bahwa perempuan hanya "sempurna" ketika mampu menjalankan peran sebagai ibu dan istri.
Selain itu, iklan juga menampilkan perempuan dalam standar kecantikan tertentu, seperti berkulit cerah, bertubuh langsing, dan berpenampilan menarik. Hal ini menimbulkan tekanan sosial terhadap perempuan untuk terus menjaga penampilan agar sesuai dengan citra yang ditampilkan media.
Padahal, realitas kehidupan perempuan jauh lebih kompleks daripada sekadar penampilan fisik atau peran domestik semata.
Perempuan dalam Film: Karakter Pendukung atau Tokoh Utama yang Terbatas
Meskipun perkembangan perfilman menunjukkan peningkatan jumlah tokoh utama perempuan, banyak film masih menggambarkan perempuan sebagai karakter pendukung laki-laki.
Tokoh perempuan jarang diberikan ruang untuk berkembang secara mandiri, melainkan hadir untuk melengkapi perjalanan atau konflik tokoh laki-laki. Perempuan digambarkan sebagai pasangan romantis, korban kekerasan, atau tokoh emosional yang tidak rasional.
Bahkan ketika perempuan ditampilkan sebagai tokoh utama, karakter mereka sering kali tidak lepas dari pengaruh standar maskulinitas atau tetap menonjolkan sisi seksual. Hal ini menunjukkan bahwa kehadiran perempuan dalam film belum sepenuhnya bebas dari cara pandang patriarkal yang melekat dalam industri hiburan.
Untuk mengubahnya, dibutuhkan lebih banyak sutradara, penulis, dan produser perempuan yang mampu membawa perspektif berbeda dalam cerita yang disampaikan.
Dampak Representasi Media terhadap Persepsi dan Identitas Perempuan
Representasi perempuan yang sempit dan tidak realistis di media dapat membentuk persepsi sosial yang keliru terhadap perempuan.
Perempuan muda, misalnya, bisa merasa tidak cukup baik atau berharga jika tidak sesuai dengan standar kecantikan atau peran ideal yang ditampilkan media. Hal ini dapat menimbulkan krisis identitas, gangguan citra tubuh, hingga rendahnya kepercayaan diri.
Tidak hanya perempuan yang terdampak, laki-laki juga menerima pesan-pesan keliru tentang siapa perempuan itu dan bagaimana seharusnya mereka diperlakukan.
Jika media terus menggambarkan perempuan sebagai makhluk lemah atau bergantung, maka akan sulit membangun relasi sosial yang setara dan sehat antara laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, penting bagi media untuk menghadirkan representasi yang lebih adil, beragam, dan realistis.
Media memiliki kekuatan besar dalam membentuk persepsi dan nilai-nilai masyarakat, termasuk citra tentang perempuan. Dari iklan hingga film, representasi perempuan masih banyak dipengaruhi oleh stereotip dan norma patriarkal yang mempersempit ruang identitas mereka.
Untuk menciptakan perubahan, dibutuhkan kesadaran kolektif dari pembuat media, konsumen, dan institusi pendidikan untuk mendorong representasi yang lebih setara dan beragam. Karena pada akhirnya, media bukan hanya mencerminkan realitas, tetapi juga memiliki peran penting dalam menciptakannya.
Baca Juga
-
Hope Theory: Rumus Psikologi di Balik Orang yang Tidak Mudah Menyerah
-
Distorsi Kognitif yang Membentuk Cara Kita Melihat Dunia
-
The Power of Three: Pilar Resiliensi yang Menjaga Kita Tetap Tangguh
-
Membaca Drama 'Genie, Make a Wish' Lewat Lensa Pengasuhan Kolektif
-
Mind Hack Mahasiswa: Cara Otak Mengubah Stres Jadi Tenaga Positif
Artikel Terkait
-
Review Jurassic World: Rebirth, Visual Spektakuler, Cerita Tak Bernyawa
-
Alasan Yama Carlos Terlibat di Film Narik Sukmo, Ada Peran Unik?
-
Tissa Biani Salurkan Duka Kehilangan Buat Inspirasi di Film 'Panggil Aku Ayah'
-
Sudut Pandang Asri Welas Tentang Perselingkuhan Usai Bintangi La Tahzan
-
Asri Welas Ingat Pahitnya Pernikahan Usai Dengar OST Film La Tahzan
Kolom
-
Hope Theory: Rumus Psikologi di Balik Orang yang Tidak Mudah Menyerah
-
Jika Hukum adalah Panggung, Mengapa Rakyat yang Selalu Jadi Korban Cerita?
-
Saat Ragu Mulai Menjerat, Lepaskan dengan Keyakinan Aku Pasti Bisa
-
Krisis Empati: Mengapa Anak-Anak Tidak Lagi Tahu Caranya Berbelas Kasih?
-
Saat Hidup Tidak Sesuai Ekspektasi, Kenapa Kita Selalu Menyalahkan Diri?
Terkini
-
Raditya Dika dan Die with Zero: Cara Baru Melihat Uang, Kerja, dan Pensiun
-
Ulasan Novel Larung, Perlawanan Anak Muda Mencari Arti Kebebasan Sejati
-
Style Hangout ala Kang Hye Won: 4 Inspo OOTD Cozy yang Eye-Catching!
-
Demam? Jangan Buru-Buru Minum Obat, Ini Penjelasan Dokter Soal Penyebabnya!
-
Suka Mitologi Asia? Ini 4 Rekomendasi Novel Fantasi Terjemahan Paling Seru!