Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Rini Septiyani
Ilustrasi matematika, rumus volume tabung (Unsplash /ThisisEngineering RAEng)

Fenomena anak-anak SMA yang kesulitan melakukan perhitungan matematika dasar menjadi perbincangan hangat baru-baru ini. Dilansir dari unggahan Instagram oleh seorang guru IPA kelas 12 yang menampilkan sesi ice breaking yang dilakukan, diketahui dari video tersebut ternyata banyak anak yang bahkan pembagian sederhana saja masih gagap dan tidak tahu.

Bagaimana mungkin siswa di jenjang pendidikan yang tinggi, yang seharusnya sudah menguasai konsep dasar, justru gagal menjawab soal sederhana seperti 24 dibagi 3, 16 dibagi 4, 15 dibagi 5, dan lain-lain. Kemampuan berhitung yang seharusnya telah khatam dikuasai sejak SD. Sehingga kasus ini memunculkan pertanyaan besar, apa yang sebenarnya salah dalam sistem pendidikan kita?  

Ada beberapa faktor yang mungkin menjadi penyebab fenomena ini. Pertama, metode pembelajaran di sekolah. Banyak guru lebih fokus mengejar target kurikulum dan mengajarkan rumus-rumus matematika yang rumit, seperti aljabar atau kalkulus, tanpa memastikan bahwa siswa memahami dasar-dasar aritmetika. Akibatnya, konsep fundamental seperti pembagian, perkalian, atau pecahan sering dianggap remeh, padahal konsep ini sangat penting dan dibutuhkan untuk memahami matematika yang jauh lebih rumit nantinya.

Media di Indonesia mengabarkan pada 2022, PLT Kepala Pusat Kurikulum dan Pembelajaran Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Zulfikri Anas, menyatakan bahwa tahapan yang dilaksanakan oleh para guru di Indonesia selama ini kurang memerhatikan kemampuan para siswa dan hanya berfokus pada kurikulum.

Zulfikar menjelaskan bahwa Kurikulum Merdeka dirancang agar dapat diterapkan di semua sekolah, bahkan dengan segala keterbatasannya. Ia menekankan bahwa fokus utama bukan pada perubahan kurikulum, melainkan pada peningkatan kualitas pelayanan pendidikan bagi peserta didik, selama ada anak yang ingin belajar dan ada orang dewasa mendampingi belajar maka sudah bisa.

Kedua, diakibatkan karena lemahnya pembiasaan. Banyak siswa sekarang sangat bergantung pada kalkulator, aplikasi digital, atau juga AI untuk menyelesaikan soal-soal sederhana. Sehingga teknologi yang awalnya bertujuan mempermudah justru menciptakan ketergantungan dan melemahkan kemampuan berpikir logis.  

Ketiga, tekanan akademik yang membuat siswa lebih memprioritaskan nilai daripada pemahaman konsep. Mereka keseringan hanya menghafal jawaban atau rumus tanpa mengerti cara kerjanya. Ini diperburuk oleh budaya pendidikan di Indonesia yang masih terlalu berorientasi pada ujian, bukan proses belajar.

Menyadur dari Nasution dan Surya (2015), demi melatih kemampuan berhitung dan membantu siswa mengembangkan keterampilannya, diperlukan pendekatan yang mampu mempermudah mereka dalam menguasai berhitung sekaligus meningkatkan minat terhadap matematika. Salah satu penyebab rendahnya kemampuan berhitung siswa adalah metode pembelajaran yang kurang efektif serta kurangnya penerapan matematika dalam kehidupan sehari-hari. 

Selanjutnya, kehadiran teknologi sendiri memberikan dampak ambivalen. Di satu sisi, teknologi menawarkan berbagai aplikasi pembelajaran yang interaktif. Di sisi lain, media sosial, game dan berbagai platform hiburan online lainnya menjadi distraksi besar. Menjadikan siswa lebih banyak menghabiskan waktu di dunia maya dibandingkan di dunia nyata seperti menggunakannya untuk belajar atau untuk mengasah kemampuan yang belum dipahaminya.

Ironisnya, teknologi yang dapat digunakan untuk belajar justru sering menjadi alat yang mengalihkan perhatian siswa dari belajar. Fenomena ini menimbulkan kelebihan informasi tapi minim pemahaman. Menjadikan siswa ketergantungan akan teknologi namun tumpul ketika memahami persoalan sederhana yang membutuhkan penalaran langsung.  

Menyadur dari Azzahra, dkk (2022), selain pendidikan formal, pendidikan informal juga tidak kalah penting, yakni pola asuh di rumah yang memengaruhi kemampuan siswa. Banyak orang tua yang terlalu sibuk atau bahkan menyerahkan sepenuhnya pendidikan anak kepada sekolah, sehingga tidak memantau perkembangan dasar belajar anak di rumah. Banyak penyimpangan yang terjadi akibat dari kurangnya perhatian dalam pendidikan informal yang berakibat fatal terhadap masa depan anak.

Menyadur dari Heriyanti dan Munasiah (2022), berhitung sebenarnya memiliki banyak manfaat yang signifikan bagi perkembangan kemampuan kognitif. Dengan melatih keterampilan berhitung, siswa dapat mengoptimalkan fungsi otak kanan yang berperan penting dalam kreativitas dan pemikiran inovatif. Selain itu, berhitung juga membantu meningkatkan kemampuan logika, berpikir secara sistematis, serta melatih daya konsentrasi dan daya ingat.

Keterampilan ini tidak hanya berguna untuk menyelesaikan masalah sehari-hari, tetapi juga dapat meningkatkan ketelitian dalam pengambilan keputusan. Ditambah, keberhasilan dalam berhitung dapat menumbuhkan rasa percaya diri pada siswa, yang berdampak positif pada cara mereka menghadapi tantangan dalam kehidupan.

Ketidakmampuan matematika dasar seperti ini memiliki implikasi serius. Matematika tidak hanya soal angka, tetapi ia adalah bahasa logika yang digunakan dalam berbagai aspek kehidupan, dari keuangan pribadi hingga pengambilan keputusan sehari-hari. Jika siswa SMA saja tidak bisa melakukan pembagian sederhana, bagaimana mereka dapat mengelola hal-hal berkaitan dengan perhitungan nantinya di masa depan?

Lebih jauh, ini bisa menjadi penghambat kemajuan bangsa. Di era globalisasi, kemampuan berpikir kritis dan logis menjadi modal penting untuk bersaing di pasar kerja. Jika anak-anak kita tertinggal dalam keterampilan mendasar ini, mereka akan kalah bersaing dengan negara lain.  

Demi mengatasi masalah ini, diperlukan pendekatan menyeluruh hingga ke akar permasalahannya, seperti penggunaan kurikulum semaksimal mungkin. Adanya kurikulum terbaru seharusnya menekankan penguatan konsep dasar, terutama di tingkat SD dan SMP. Guru harus diberi pelatihan untuk memastikan metode pembelajaran yang tidak hanya berorientasi pada nilai, tetapi juga pemahaman.

Selain itu, penggunaan teknologi juga harus diarahkan untuk mendukung pembelajaran aktif, seperti permainan edukasi matematika. Namun, siswa tetap perlu didorong untuk menyelesaikan soal sederhana tanpa alat bantu, guna melatih daya pikir mereka. Ditambah pendidikan perlu menggeser fokus dari nilai ujian ke kemampuan memahami konsep. Ujian berbasis esai atau diskusi kelompok dapat membantu siswa mengasah logika mereka.

Fenomena ini bukan hanya menjadi tanggung jawab siswa, tetapi juga mencerminkan kelemahan dalam sistem pendidikan, pola asuh dan kebiasaan di masyarakat kita. Matematika dasar adalah fondasi bagi banyak aspek kehidupan. Jika tidak segera dibenahi, kita bukan hanya kehilangan generasi yang kritis, tetapi juga kehilangan daya saing bangsa. Saatnya berbenah bersama, mulai dari lingkungan keluarga hingga sistem pendidikan nasional.

Rini Septiyani