Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | hanifati radhia
Ilustrasi keluarga pasangan suami istri dengan dua anak (Freepik.com)

Stigma "banyak anak banyak rezeki" begitulah ungkapan orang tua zaman dahulu. Namun di negara Indonesia masih banyak terjadi. Secara ilmiah, ungkapan itu belum tentu terbukti. Dari ungkapan itu juga, kita bisa melihat bahwa Indonesia adalah negara dengan budaya keluarga yang sangat kuat.

Sementara di negara lain, kita justru mendapati hal sebaliknya. Saat seseorang memutuskan untuk masuk ke jenjang pernikahan, memiliki anak, diharapkan kemudian bertransformasi sebagai sebuah keluarga.

Anggapan dari generasi ke generasi menilai bahwa keluarga sempurna dan bahagia di Indonesia adalah pasangan suami istri hidup bersama anak-anak. Anak pun menjadi simbol penerus keturunan, ekonomi, status hingga simbol keberhasilan dan kebahagiaan dalam hidup.

Namun demikian, dalam beberapa tahun terakhir, tren childfree atau keputusan untuk tidak memiliki anak justru semakin ramai dibahas dan ditunjukkan.

Pernah suatu ketika salah satu konten kreator muda bernama Gita Savitri mengungkapkan ke publik, bahwa ia dan pasangannya memutuskan childfree.

Tentu saja pernyataannya viral hingga menuai kontroversi, bahkan cenderung keputusan tersebut dihujat oleh warganet. Padahal, keputusan childfree tidak mungkin datang tiba-tiba tanpa melalui proses perenungan dan pengalaman.  

Dari sana, isu yang terdengar tabu di masyarakat Indonesia ini perlahan mendapat panggung. Childfree menjadi bahan diskusi, obrolan ringan hingga berat, bahkan mulai diterima oleh sebagian kalangan.

Kasus childfree atau memilih hidup tanpa anak di Indonesia dilaporkan meningkat dalam empat tahun terakhir. Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2023, sebesar 71 ribu perempuan di RI memilih childfree, atau sekitar 8 persen perempuan di Indonesia memilih untuk menjalani hidup tanpa anak.

Meskipun jumlah itu ada yang menyebut dugaan dan masih dianggap jumlah sebagian kecil di negara kita. Lantas kita mulai mempertanyakan, apakah pilihan childfree ini akan memengaruhi masa depan budaya keluarga di Indonesia? Sejauh mana negara hadir menyikapi tren childfree?

Pada dasarnya, budaya memiliki sifat dinamis. Seiring dengan berkembangnya zaman, demikian pula pandangan terhadap keluarga pun mulai berubah. Hal itu bisa jadi karena berbagai faktor terutama pengaruh informasi dan pengetahuan dari barat, akses ke media sosial, dan lain-lain.

Kita lihat perempuan di Indonesia saat ini juga mulai beranjak pada kemandirian karena didukung karier, tingkat pendidikan dan finansial yang semakin baik.

Dengan demikian, bergumul di ranah domestik bukanlah jadi tujuan dan kewajiban. Hal itu pun mulai didiskusikan dengan pasangan calon hidup mereka. Pasangan muda-mudi sekarang dengan visi sama bisa memutuskan menikah tanpa anak.

Di sisi lain, para penganut atau pasangan yang memutuskan childfree melihat dunia sedang tidak baik-baik saja. Ada pandemi yang baru pernah kita lalui, masalah perang, perubahan iklim, ketidaksetaraan sosial hingga krisis lingkungan. Bagi mereka, memiliki anak akan membawa mereka pada situasi tidak menentu dan ketidakpastian.

Selain itu, faktor ekonomi juga menjadi bagian tidak terelakkan dari fenomena ini. Misalnya, kabar naiknya pajak belakangan tentu mengkhawatirkan naiknya kebutuhan lainnya.

Maka tidak heran, perempuan semakin mandiri, mengejar karier dan pendidikan dengan harapan mendapatkan kemapanan. Memiliki anak dianggap beban dan menguras waktu.

Tapi bukan alasan itu saja, biaya pendidikan dan kesehatan untuk anak juga terkadang sangat tidak masuk akal. Biaya sekolah dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi tergolong tinggi atau membutuhkan biaya besar. Terlebih hal itu menjadi lebih sulit jika tidak dipersiapkan dengan matang.

Biaya membesarkan anak tidaklah sedikit. Terlebih bagi keluarga yang berstatus prasejahtera, bahkan kelas menengah. Artinya negara perlu hadir untuk meringankan beban orang tua dalam membesarkan anak. Negara hadir meringankan beban orang tua melalui kebijakan tepat guna dan menyasar pada masyarakat yang berhak.

Misalnya kebijakan yang selama ini menyasar keluarga prasejahtera seperti pemberian bantuan sosial Program Keluarga Harapan (PKH). Merujuk situs Kementerian Sosial, ibu hamil dan balita yang memenuhi syarat dapat menerima tunjangan Rp3 juta pertahun atau sekitar Rp750 ribu per tahapan.

Sementara itu, bagaimana dengan kelas menengah? Harapannya negara meringankan beban orang tua akan kebutuhan membesarkan anak di layanan pendidikan dan kesehatan.

Wajib belajar 13 tahun yang diwacanakan saya kira niat baik yang harus didukung, hanya saja, juga perlu mempertimbangkan biaya pendidikan gratis dan subsidi.

Lebih lanjut, kebijakan UU KIA (Kesejahteraan Ibu dan Anak) juga telah disahkan, dengan demikian telah menjadi jaminan bagi orang tua terlebih ibu tanpa khawatir menjalankan peran. 

Penutup

Keluarga di Indonesia akan memungkinkan mengalami perubahan seiring dengan adanya perempuan atau pasangan suami istri yang memilih childfree. Jika keluarga dalam konteks budaya, tidak lagi dilihat sebagai institusi dimana keluarga adalah tempat sosialisasi pendidikan bagi anak-anak.

Dengan demikian, jelas akan ada perubahan, akan tetapi tidak serta merta mengancam nilai-nilai tradisional, peran dan fungsi keluarga. Dalam hal ini, nilai-nilai seperti kasih sayang, perlindungan, dan partisipasi kegiatan sosial dapat tetap dipertahankan dalam kondisi yang fleksibel.

Misalnya, pasangan-pasangan childfree memelihara hewan peliharaan sebagai bagian dari keluarga, atau mungkin berfokus ikatan lebih kuat antara pasangan. Orang-orang yang memilih childfree tetap dapat melibatkan diri mereka pada tanggung jawab terhadap komunitas atau masyarakat secara lebih luas.

Selanjutnya, harapannya tren ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia menjadi semakin inklusif dan terbuka. Seseorang atau pasangan memutuskan childfree merupakan hak individu dalam menentukan pilihan hidupnya.

Mereka memilih apa yang terbaik bagi hidup mereka, tanpa khawatir akan stigma atau tekanan sosial. Bukannya tanpa kekhawatiran dan kontroversi, tentu negara perlu hadir dalam menyikapi tren ini.

Misalnya, menjamin pendidikan gratis dan berkualitas agar dirasakan lapisan masyarakat bawah dan menengah. Negara hadir meringankan beban orang tua melalui kebijakan tepat guna dan menyasar pada masyarakat yang berhak.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

hanifati radhia