Meskipun literasi belum terbentuk dengan baik di masyarakat Indonesia, kita dihadapkan dengan banyaknya tantangan, mulai dari berkembangnya teknologi hingga munculnya berbagai macam kecerdasan buatan (AI) yang mampu dijangkau oleh ujung jari kita.
Kecerdasan buatan atau AI memaksa kita (manusia) untuk beradaptasi dengan cepat. Penelitian menunjukkan bahwa orang yang menggabungkan kecerdasannya dengan AI menjadi lebih pintar ataupun sebaliknya. Tentunya, hipotesis ini memerlukan pengujian lebih lanjut.
Tapi ada sesuatu yang lebih penting, yaitu bagaimana peran guru dalam mengajar anak-anak cara membaca dan menulis untuk meningkatkan literasi bangsa.
Tidak ada pengetahuan yang dapat menyampaikan pentingnya literasi selain dari aktivitas membaca, menulis, dan menangkap selalu semua hakikat dalam khazanah ilmu pengetahuan yang kita dapatkan menjadi sesuatu yang sangat berharga di zaman yang serba cepat ini.
Bayangkan saja. Zaman dahulu banyak orang tua dan guru yang membaca dan menulis di bus umum, di tempat-tempat keramaian seperti bandara, terminal, dan stasiun. Akan tetapi fenomena ini tidak hanya langka, namun menghilang di era kecerdasan buatan (AI) karena semua pekerjaan dituntut untuk cepat.
Apa yang kami temukan justru sebaliknya karena dunia serba instan, generasi muda kita sering bermain game, menggunakan media sosial, bahkan banyak mahasiswa saat ini yang menjadikan kecerdasan buatan sebagai sandaran utama dalam mengerjakan tugas perkuliahan.
Maka, kebiasaan-kebiasaan seperti ini akan menurunkan tingkat literasi generasi muda.
Tingkat literasi suatu bangsa dapat ditentukan oleh sesuatu yang sederhana seperti bagaimana mereka menghabiskan waktunya untuk membaca dan menulis.
Mari kita lihat Jepang dan negara maju lainnya. Di negara-negara maju, membaca dan menulis diajarkan sejak masa kanak-kanak. Anak bisa dikenalkan dengan buku, diajak ke pameran buku, dan bercerita serta diajarkan sesuatu tentang buku di rumah.
Semua ini memberikan kesempatan bagi anak untuk berimajinasi, menambah pengetahuan, serta mendidik dan melatih mereka untuk berpikir kritis. Tradisi membaca dan menulis tumbuh sejak masa anak-anak sampai menumbuhkan kebiasaan membaca dan menulisnya hingga dewasa.
Di Indonesia, guru-guru kita masih mengandalkan tradisi lisan dalam mendidik anak-anak kita. Tradisi lisan memang bagus, namun jika tidak ditunjang dengan tradisi sastra yang tinggi, saya khawatir guru masa kini tidak akan mampu memuaskan hasrat anak-anak untuk belajar di kelas.
Dahulu guru-guru kita sering bercerita tentang sejarah, cerita rakyat, dongeng anak-anak, dan cerita-cerita penuh hikmah yang erat kaitannya dengan pendidikan moral dan budi pekerti. Akan tetapi saat ini, dengan berkembangnya teknologi, hal-hal tersebut semakin hilang dari sosok guru.
Guru hendaknya mengikuti apa yang diperlukan untuk mendidik moral dan karakter, serta meningkatkan literasi siswa. Saat ini, guru-guru dihadapi oleh beberapa problematika dalam sekolah.
Guru harus memikul tanggung jawab administratif dan pelaporan mulai dari tingkat paling bawah (kepala sekolah) hingga dewan sekolah, karena beban kurikulum terus meningkat,
Selain sibuk dengan kegiatan sekolah. Guru-guru kehilangan waktu untuk membaca dan menulis karena kesibukan di rumah.
Guru hanya dapat memberikan pengetahuan dan pemahaman sesuai dengan apa yang ada di buku ajar. Tanpa ada usaha lebih untuk meningkatkan literasi anak-anak.
Literasi penting bagi seorang guru dan siswa karena ilmu pengetahuan dan metode pembelajaran bersifat dinamis dan terus berkembang.
Meskipun teknologi AI telah mempermudah pekerjaan guru, namun tetap penting bagi guru untuk membaca, menulis, dan terus mengembangkan pengetahuannya, agar anak-anak terus tumbuh dan berkembang dalam berbagai situasi. Sentuhan kasih sayang dari guru sangat dibutuhkan karena mereka adalah generasi penerus bangsa.
Melalui cerita dan pembelajaran literasi yang dicontohkan oleh guru, anak didorong untuk mengembangkan semangat literasi. Seorang guru harus memberikan kesadaran membaca kepada anak dan mendorongnya untuk mencintai ilmu pengetahuan.
Bahkan di zaman AI yang sederhana ini, anak-anak kita masih membutuhkan guru yang mendidik dan menyayangi mereka dengan tulus dan penuh kasih sayang. Guru juga perlu terus mengembangkan semangat literasinya agar dapat menginspirasi dan mendidik anak lebih jauh lagi. Teknologi memang hebat, tapi tidak bisa menggantikan sentuhan guru.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
Artikel Terkait
-
Presiden Prabowo Resmi Naikkan Gaji Guru ASN dan Non ASN per Tahun 2025, Jadi Berapa?
-
Kemendikdasmen Gandeng Skolla Hadirkan Pengalaman AI dan Metaverse di Belajar Online
-
Puji Prabowo Naikkan Gaji Guru, Ketua Komisi X DPR: Ini Gebrakan yang Ditunggu-tunggu
-
Respons PGRI Terkait Janji Prabowo soal Kesejahteraan Guru, Apa Katanya?
-
Legislator DPR: Gaji Guru Naik, Kualitas Harus Meningkat
Kolom
-
Sistem Zonasi Sekolah: Antara Pemerataan dan Tantangan yang Ada
-
Quick Count vs Hasil Resmi Pemilu: Akurasi atau Sekadar Kontroversi?
-
Politik Uang di Pilkada: Mengapa Masyarakat Terus Terpengaruh?
-
Membangun Sikap Kritis dalam Menangkal Ulasan Palsu di Google Maps
-
Menakar Pilkada dalam Pembentukan Narasi Budaya Lokal, Seberapa Penting?
Terkini
-
3 Rekomendasi Produk Ampoule untuk Atasi Jerawat dan Kerutan, Auto Glowing!
-
Fadli Zon Resmikan Museum Kujang, Targetkan Indonesia Pusat Kebudayaan Dunia
-
Gantikan Kim Nam Gil, Ini Alasan Kim Moo Yeol Bintangi Drama Korea Get Schooled
-
Hidup Sehat Dimulai dari Mindset, Bukan dari Isi Dompet
-
Ulasan Film Wolfs: Kolaborasi Dua Fixer Profesional dalam Misi Sarat Intrik