Pilkada 2024 telah berlalu, namun ada satu fenomena yang mencuri perhatian: meningkatnya angka golput, atau golongan putih. Sebuah indikasi ketidakpedulian yang cukup besar terhadap proses demokrasi Indonesia, khususnya pemilu dan pilkada.
Pada Pilkada 2024, lebih dari 40 juta orang memilih untuk tidak menggunakan hak suaranya, setara dengan 19,5 persen dari total daftar pemilih tetap (DPT).
Angka ini memicu berbagai pertanyaan, apakah ini sekadar ketidakpedulian, atau memang sebuah protes terhadap sistem politik yang ada?
Salah satu alasan utama tingginya angka golput adalah ketidakpercayaan terhadap calon pemimpin yang ada. Banyak masyarakat, terutama pemilih muda, merasa bahwa para calon tidak menawarkan perubahan yang signifikan, bahkan cenderung lebih berfokus pada kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
Dalam survei yang dilakukan beberapa lembaga, seperti CSIS, responden banyak yang merasa bahwa politik Indonesia dipenuhi dengan praktik korupsi dan politik transaksional yang mempengaruhi keputusan mereka untuk memilih golput.
Berdasarkan data dari Transparency International, Indonesia mendapatkan skor yang sangat rendah dalam hal persepsi korupsi, yakni hanya 34 dari 100.
Ini adalah angka terburuk dalam sejarah Indonesia pasca-reformasi, dan bahkan lebih rendah dari negara-negara Asia Tenggara seperti Thailand dan Vietnam.
Hal ini tentu saja memberikan dampak buruk bagi citra demokrasi kita. Masyarakat merasa bahwa sistem politik yang ada justru memperburuk kondisi sosial-ekonomi mereka, bukannya memperbaiki kualitas hidup.
Ketidakpercayaan ini menjadikan golput sebagai pilihan bagi mereka yang merasa tidak ada calon yang benar-benar mewakili kepentingan publik.
Namun, apakah fenomena golput ini sepenuhnya disebabkan oleh kekecewaan terhadap calon dan sistem yang ada? Tentu tidak.
Selain ketidakpercayaan terhadap politisi, fenomena ini juga dipengaruhi oleh rasa jenuh dan apatisme yang mulai menyebar di kalangan pemilih, terutama generasi muda.
Banyak yang merasa bahwa tidak ada perubahan signifikan yang dihasilkan oleh pilkada atau pemilu, bahkan setelah pemilihan umum yang berlangsung selama bertahun-tahun.
Dalam beberapa kasus, mereka yang golput merasa bahwa suara mereka tidak akan mengubah apa pun, mengingat adanya anggapan bahwa pemenang sudah ditentukan oleh berbagai faktor di luar kendali rakyat.
Data menunjukkan bahwa ketidakpercayaan terhadap calon pemimpin dan sistem politik saat ini bukan hanya masalah di Indonesia. Ini adalah masalah yang muncul di banyak negara demokrasi yang mengalami stagnasi dalam pemerintahan, masyarakat merasa bahwa politik tidak memberi dampak nyata bagi kehidupan mereka.
Indonesia, dengan angka golput yang terus meningkat, bukanlah satu-satunya negara yang menghadapi tantangan ini.
Namun, apa yang membuat Indonesia berbeda adalah tingkat kepercayaan yang semakin menurun terhadap lembaga-lembaga yang seharusnya menjaga demokrasi, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang menurut banyak orang justru terlibat dalam kontroversi.
Kehadiran golput dalam Pilkada 2024 seharusnya menjadi bahan evaluasi bagi kita semua, baik sebagai pemilih maupun sebagai masyarakat.
Apakah ini benar-benar sebuah protes terhadap calon-calon yang ada, ataukah ketidakpedulian terhadap perubahan yang ditawarkan?
Data menunjukkan bahwa banyak yang memilih golput karena merasa tidak ada perubahan berarti dalam sistem yang ada, atau karena mereka tidak percaya pada calon pemimpin yang ada. Ini adalah sinyal kuat bagi kita semua bahwa demokrasi Indonesia membutuhkan pembaruan dan penyegaran.
Pemerintah dan partai politik perlu merenung dan mengambil langkah konkret untuk membenahi sistem politik yang ada.
Meningkatkan transparansi, memberantas korupsi, dan memberi ruang lebih besar bagi calon pemimpin yang memiliki visi nyata untuk kesejahteraan masyarakat adalah langkah-langkah yang harus segera dilakukan.
Tanpa perubahan nyata, angka golput hanya akan terus meningkat, dan ini menjadi tanda peringatan bahwa masyarakat sudah mulai lelah dengan janji-janji kosong dan praktik politik yang tidak menguntungkan rakyat banyak.
Jadi, saatnya bagi Indonesia untuk mulai mendengarkan suara rakyat, bukan hanya dalam hitungan suara, tapi juga dalam setiap langkah yang diambil oleh para pemimpin politik.
Jika tidak, fenomena golput ini akan terus menjadi cerminan dari ketidakpercayaan terhadap sistem yang ada, yang berujung pada apatisme masyarakat terhadap demokrasi itu sendiri.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Cinta Produk Lokal? Ini 4 Jam Tangan Feminin yang Siap Tambah Pesonamu!
-
Hidup Sehat Dimulai dari Mindset, Bukan dari Isi Dompet
-
Sistem Zonasi Sekolah: Antara Pemerataan dan Tantangan yang Ada
-
Politik Uang di Pilkada: Mengapa Masyarakat Terus Terpengaruh?
-
Cermin Bangsa: Ketika Jalur Busway Menjadi Ajang Ketidakdisiplinan
Artikel Terkait
-
KPU Papua Tengah Tegaskan Rekapitulasi Berjenjang Jadi Patokan Hasil Pilkada 2024
-
Agama Sherly Tjoanda: Cagub Maluku Utara Menang Pilkada 2024, Kakinya Patah Saat Kecelakaan Renggut Nyawa Benny Laos!
-
Gagal di Pilkada 2024, Dulu Alam Mbah Dukun Sudah Dinasihati Irfan Hakim: Kalau Sama Raffi Ahmad ...
-
Viral Influencer TikTok Puji Jokowi Jadi MVP di Pilkada 2024, PKS 'Amsyong'
-
Dharma-Kun Klaim Seharusnya Menang Pilkada Jakarta 52,5 Persen, Tapi Dicurangi Serangan Fajar
Kolom
-
Sulitnya Perempuan Usia 25 Tahun Mencari Kerja, apalagi Sudah Menikah
-
Fenomena Gowes Pagi: Antara Gaya Hidup Sehat atau Tren Sesaat?
-
Selebriti di Era Cancel Culture dalam Budaya Pop: Dilema Kebebasan Berbicara vs Tanggung Jawab Sosial
-
Pengaruh Media Sosial dalam Pemilu: Antara Edukasi dan Hoaks
-
Bukan Materi, Hadiah Terbaik untuk Guru Adalah Apresiasi
Terkini
-
Kisah Menginspirasi yang Sarat Makna, Ulasan Novel Tentang Kamu
-
Sisa 4 Laga, STY Ungkap Target Timnas Indonesia di Kualifikasi Piala Dunia
-
Disindir Soal Plat Nomor 1, Jorge Martin Tanggapi dengan Santai
-
Review Novel Narasi Perihal Ayah, Proses Berdamai dengan Kehilangan di Usia Muda
-
STY Mainkan Trio Gelandang Timnas Senior di AFF Cup 2024, Dengan Syarat....