Dalam era yang di dalamnya informasi menyebar dengan cepat, setiap kata yang diucapkan oleh seorang figur publik memiliki kekuatan yang signifikan dalam membentuk opini publik.
Pemilihan diksi yang tepat bukan sekadar soal keindahan bahasa, melainkan juga merupakan instrumen strategis untuk membangun kepercayaan, menghindari miskomunikasi, dan menjaga hubungan harmonis dengan masyarakat.
Kasus terbaru tentang pernyataan seorang jubir presiden yang menyinggung sebagian besar masyarakat menjadi sorotan tajam.
Penggunaan kata jelata yang berkonotasi negatif dan diskriminatif telah memicu gelombang protes dan melukai perasaan banyak orang. Peristiwa ini menjadi pengingat penting bagi kita semua tentang betapa krusialnya pemilihan diksi dalam setiap interaksi sosial, terutama dalam konteks komunikasi publik.
Mengapa pemilihan diksi begitu penting? Pertama, diksi yang tepat dapat membangun citra positif bagi seorang individu atau lembaga.
Kata-kata yang bijak dan santun mampu merefleksikan empati, kepedulian, dan komitmen terhadap kesejahteraan masyarakat. Sebaliknya, diksi yang kasar dan merendahkan akan merusak kredibilitas dan memicu ketidakpercayaan.
Kedua, diksi yang tepat dapat mencegah terjadinya miskomunikasi. Kata-kata yang ambigu atau bermakna ganda dapat memicu kesalahpahaman dan konflik yang tidak perlu.
Ketiga, diksi yang tepat menunjukkan rasa hormat terhadap audiens. Setiap individu, tanpa memandang latar belakang sosial atau ekonomi, berhak diperlakukan dengan adil dan sopan.
Pernyataan kontroversial tersebut menyoroti beberapa masalah mendasar dalam komunikasi publik. Pertama, kurangnya empati. Seorang pejabat publik seharusnya mampu menempatkan diri pada posisi masyarakat dan memahami perasaan mereka.
Kedua, kurangnya kontrol diri. Dalam situasi yang sensitif, seorang pejabat publik harus mampu mengendalikan emosi dan memilih kata-kata dengan hati-hati.
Ketiga, lemahnya sistem komunikasi. Setiap pejabat publik perlu didukung oleh tim komunikasi yang profesional untuk merumuskan pesan yang efektif dan sesuai dengan konteks.
Pengguna media sosial berbondong-bondong mengomentari setiap postingan yang menyoroti kasus ini. Ada pihak-pihak yang merasa tersinggung dengan diksi tersebut, ada pula yang dengan bijaksana menjelaskan kenetralan makna diksi tersebut.
"Salahnya, istilah itu sudah tidak banyak digunakan karena pada penggunaan awalnya untuk membedakan kasta sosial pada bangsa monarki aristokrasi dan feodal. Nah, dewasa ini Presiden Pertama Indonesia dalam pidatonya berkenan untuk tidak lagi menggunakan istilah-istilah feodalisme yang membedakan golongan sosial karena menjadi sensitif dan sering kali menimbulkan konflik antarsesama anak bangsa. Jadi, istilah-istilah seperti 'rakyat jelata' itu gorengeble bisa dipakai untuk menjatuhkan martabat seseorang atau menjatuhkan kedudukan orang yang mengucapkannya. Contohnya, Ibu ini, padahal harusnya biasa saja, memang kenyataannya rakyat jelata."
"Di KBBI tidak ada masalah, hanya saja dari kata 'jelata' itu hampir mendekati kata 'melata'. Mungkin itu kali ya konotasinya jadi ga enak aja."
"Serba salah. Perasaan kalo ngomongin ekonomi ada kata 'masyarakat miskin' pada biasa saja. Maaf kalo salah kata, nanti saya dihujat juga."
"Beda konteks, Kak. Seseorang harus tahu menepatkan kata-kata saat bicara, sekelas jubir masa gak paham etika itu."
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan upaya kolektif dari berbagai pihak. Masyarakat perlu meningkatkan literasi media agar mampu menyaring informasi dan membedakan fakta dari opini.
Media massa juga memiliki peran penting dalam mengawal kualitas komunikasi publik dengan menyajikan berita yang akurat dan berimbang.
Sementara itu, pemerintah perlu melakukan reformasi birokrasi untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi terciptanya komunikasi yang efektif dan transparan.
Pemilihan diksi yang tepat adalah investasi jangka panjang. Kata-kata yang bijak dapat membangun jembatan komunikasi yang kuat antara pemerintah dan masyarakat.
Sebaliknya, kata-kata yang sembrono dapat merusak kepercayaan dan memicu perpecahan. Oleh karena itu, setiap individu, terutama mereka yang berada di posisi kepemimpinan, perlu senantiasa memperhatikan pemilihan diksi dalam setiap ucapan.
Masyarakat perlu dilatih untuk berpikir kritis dan tidak mudah terprovokasi oleh informasi yang tidak akurat. Masyarakat perlu aktif mengawasi kinerja para pejabat publik dan memberikan masukan yang konstruktif. Pemerintah perlu membuka ruang dialog yang lebih luas dengan berbagai kelompok masyarakat untuk mencari solusi bersama.
Setiap individu perlu memahami dan menerapkan prinsip-prinsip etika komunikasi dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, kita dapat menciptakan ruang publik yang lebih sehat dan produktif, ketika setiap individu merasa dihargai dan dihormati.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Beradu dengan Realitas, Magang Unpaid adalah Sisi Terselubung Perbudakan?
-
S Line, Garis Merah Menguak Jejak Seksual: Kok Malah Jadi Tren?
-
Fenomena Kondangan Akademik: Dulu Dukungan, Kini Kayak Arisan Sosial?
-
Belajar Hidup dari Anak Kos, Tamat 1000 Pelajaran Hidup di Kota Orang
-
Aturan Cuma Buat Rakyat? Menggugat Hak Istimewa Rombongan Pejabat di Jalan Raya
Artikel Terkait
-
Ilmu Parenting dan Pentingnya Komunikasi untuk Perkembangan Anak
-
Usai Olok-olok Pedagang Es Teh, Gus Miftah Janji Perbaiki Diksi Dakwah Tapi Pertahankan Karakter
-
Istana Sayangkan Ucapan Gus Miftah ke Penjual Es Teh, Prabowo Junjung Tinggi Adab
-
Emosi dalam Komunikasi, Bagaimana Perasaan Memengaruhi Interaksi Kita?
-
Yoo Yeon Sook Dapat Gaji Miliaran karna Jadi Jubir Presiden di Drama When The Phone Rings
Kolom
-
Menari Bersama Keberagaman: Seni Pembelajaran Diferensiasi di Kelas Modern
-
Koperasi Merah Putih: Antara Harapan dan Ancaman Pemborosan Dana Rakyat
-
Tugas dan Status: Membedah Jebakan Ganda yang Menguras Mental Pelajar
-
Gaji UMR, Inflasi Gila-gilaan: Mimpi Kemapanan Generasi Z yang Terjegal
-
Gen Alpha Beda dari Kita! Pola Asuh Zilenial Ubah Segalanya
Terkini
-
Ulasan Novel Summer in the City:Cinta Tak Terduga dari Hubungan Pura-Pura
-
Kulit Glowing Bebas Noda Hitam! 4 Moisturizer yang Mengandung Symwhite 377
-
Semifinal Piala AFF U-23: 3 Pahlawan Skuat Garuda saat Mengempaskan Thailand, Siapa Saja?
-
4 OOTD Soft Chic ala Kang Hanna, Bisa Buat Ngampus Sampai Ngopi!
-
Review Anime Tasokare Hotel, Kisah Sebuah Penginapan Antara Dua Dunia