Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Sherly Azizah
ilustrasi work life balance (pexels/Ivan Samkov)

Bayangkan kamu bangun di hari Sabtu pagi, dengan segudang rencana untuk mengisi akhir pekan. Namun, sebelum sempat memulai, ada cucian yang menunggu, dapur yang perlu dibereskan, tugas kantor, tugas sekolah, tugas kuliah yang belum selesai. Gimana, tuh, rasanya? Kemudian, tak terasa hari Minggu pun datang, tapi kamu baru sadar waktumu sudah hampir habis. Begitu matahari terbenam, pikiran tentang hari Senin yang penuh rapat atau tugas mulai menghantui. Akhir pekan dua hari sering terasa seperti meringankan singkat dari rutinitas, bukan solusi untuk mengisi ulang energi.

Kenapa rasanya dua hari libur itu selalu kurang? Sederhananya, karena tubuh dan pikiran kita tidak dirancang untuk bekerja tanpa jeda yang cukup. Dalam sistem kerja modern, Senin hingga Jumat sering dihabiskan untuk mengejar target. Saat akhir pekan tiba, waktunya telah habis untuk menyelesaikan pekerjaan rumah atau kewajiban sosial. Belum lagi, ada tekanan dari media sosial untuk memanfaatkan liburan yang produktif. Akhirnya, bukannya beristirahat, kita malah kelelahan menghadapi akhir pekan yang padat.

Beberapa negara mulai menyadari hal ini. Ada yang menguji coba konsep empat hari kerja dalam seminggu atau empat hari kerja dalam seminggu. Tujuannya sederhana, guna memberi pekerja lebih banyak waktu untuk hidup, bukan sekadar bekerja. Hasilnya mengejutkan, banyak perusahaan melaporkan bahwa produktivitas justru meningkat karena karyawan merasa lebih segar dan bahagia. Tapi di Indonesia, wacana seperti ini mungkin masih terdengar seperti mimpi kan?

Masalahnya, work-life balance bukan hanya tentang jumlah hari libur, tapi juga tentang bagaimana kita memanfaatkannya. Sebanyak apa pun hari libur yang diberikan, jika beban kerja tetap melekat atau tidak ada dukungan dari perusahaan untuk menghargai waktu istirahat karyawan, hasilnya tetap sama: burnout. Inilah sebabnya budaya kerja yang manusiawi menjadi lebih penting daripada sekedar menambah hari libur.

Lalu, apa solusinya untuk kita yang masih hidup dengan ritme Sabtu-Minggu ini? Salah satu langkah awal adalah belajar menentukan batas. Jangan merasa bersalah jika menolak undangan atau memutuskan untuk tidak membuka email kantor selama akhir pekan. Selain itu, perusahaan juga perlu menciptakan budaya yang menghargai waktu istirahat. Bayangkan jika atasan mengirim pesan, “Selamat menikmati akhir pekan!” alih-alih memberikan tugas tambahan.

Tapi, kita juga harus jujur pada diri sendiri. Terkadang, rasa kurang waktu libur berasal dari kebiasaan kita yang tidak bisa diam. Kita terus-menerus mencari cara untuk produktif, bahkan di hari libur. Kalau sudah begini, mungkin yang kita perlukan bukan tambahan hari libur, tapi kemampuan untuk benar-benar menikmati waktu yang ada.

Jadi, apakah Sabtu-Minggu cukup? Jawabannya tergantung pada bagaimana kita memandang waktu dan memanfaatkannya. Mungkin bukan soal jumlah hari, tapi bagaimana kualitasnya. Karena pada akhirnya, hidup sehat dan seimbang adalah tentang memberi ruang bagi diri kita untuk bernapas, tanpa merasa dikejar-kejar oleh tuntutan dunia.

Sherly Azizah