Kalau bicara soal penegakan hukum di Indonesia, rasanya sudah bukan rahasia lagi kalau hukum sering kali terasa beda perlakuannya. Masyarakat kerap merasa bahwa hukum hanya galak sama rakyat kecil, tapi kalau yang berurusan pejabat atau orang berduit, hukum seolah kehilangan taringnya.
Fenomena ini sering disebut dengan istilah “hukum tajam ke bawah, tumpul ke atas.” Tapi, kenapa bisa begitu dan apakah masih ada harapan untuk keadilan di negeri ini?
Kenapa Hukum Terlihat Pilih Kasih?
Pernah nggak sih, kamu baca berita tentang seorang pencuri sandal yang dipenjara, tapi di sisi lain, koruptor yang nyolong duit negara miliaran rupiah malah bisa bebas atau hukumannya dipotong? Ini yang bikin banyak orang geram.
Salah satu alasan kenapa ini bisa terjadi adalah karena adanya ketimpangan kekuasaan. Orang yang punya jabatan atau koneksi sering lebih mudah lolos dari jerat hukum karena punya akses ke orang-orang berpengaruh.
Selain itu, proses hukum di Indonesia sering kali berbelit-belit. Bagi orang kecil yang nggak punya banyak uang untuk bayar pengacara, memperjuangkan hak bisa jadi hal yang berat dan melelahkan. Sementara bagi mereka yang punya bekingan, segala sesuatunya terasa lebih mudah.
Kasus-Kasus yang Bikin Publik Geram
Jujur aja, kadang rasanya kesel sendiri kalau ngelihat berita soal kasus hukum di Indonesia. Bayangin aja, ada yang ketahuan nyolong duit negara miliaran rupiah, tapi hukumannya malah kayak cuma liburan doang.
Sementara di sisi lain, ada orang yang cuma nyuri buah karena lapar, tapi malah dihukum berat. Ini kayak ngebuktiin banget kalau hukum di sini masih belum benar-benar adil.
Bahkan, kasus-kasus kayak gini terus berulang. Lucunya, kalau koruptor dipenjara pun, fasilitasnya kadang lebih nyaman dibanding penjara biasa. Sementara rakyat kecil yang berjuang buat hidup sehari-hari malah sering kena hukuman yang lebih keras.
Kasus-kasus kayak gini bukan cuma bikin masyarakat kecewa, tapi juga menurunkan kepercayaan terhadap sistem hukum di Indonesia.
Adakah Harapan untuk Keadilan?
Pertanyaan utamanya, apakah masih ada harapan untuk keadilan bagi masyarakat Indonesia? Jawabannya, kita bisa memperjuangkannya! Sebenarnya, meskipun hukum di Indonesia sering bikin kita kecewa, masih ada harapan untuk keadilan yang lebih baik.
Semua itu bisa dimulai dari kita, masyarakat biasa, yang nggak boleh diam aja pas lihat ketidakadilan. Masyarakat sipil, aktivis, dan jurnalis punya peran yang nggak bisa dianggap remeh dalam menjaga agar hukum tetap dijalankan dengan benar.
Aktivis dan organisasi yang memperjuangkan keadilan sosial, misalnya, udah banyak banget yang berusaha untuk ngasih tekanan ke pemerintah dan lembaga hukum agar sistem peradilan bisa berjalan adil dan transparan.
Jurnalis juga punya peran yang tak kalah penting, karena mereka yang sering membuka mata kita lewat pemberitaan yang jujur dan kritis. Media sosial? Wah, ini nggak kalah penting. Keberanian masyarakat buat ngungkapkan opini dan berbagi informasi bisa jadi dorongan kuat buat memaksa perubahan.
Apa yang Bisa Kita Lakukan Sebagai Generasi Muda?
Sebagai generasi muda, kita punya peran besar dalam memperbaiki dan memperjuangkan penegakan hukum di Indonesia. Jangan cuma diam atau jadi penonton, kita harus terjun langsung dan ikut mengkritisi segala ketidakadilan yang ada.
Pertama, kita bisa mulai dengan mendalami dan memahami sistem hukum yang ada. Jangan cuma tahu masalah hukum dari berita atau omongan orang lain, tapi coba untuk lebih tahu tentang bagaimana seharusnya hukum itu berjalan.
Misalnya, kita bisa bergabung dengan komunitas yang peduli soal hukum atau bahkan memutuskan untuk kuliah di jurusan hukum untuk terjun langsung ke dunia peradilan.
Generasi muda harus mulai memikirkan bagaimana cara memperbaiki sistem hukum di masa depan, supaya hukum nggak cuma tajam ke bawah, tapi juga berlaku adil untuk semua lapisan masyarakat.
Jadi, mari mulai dari sekarang, jangan tunggu sampai nanti. Keadilan itu bukan cuma hak, tapi juga tanggung jawab kita bersama.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Korupsi Indonesia Tak Ada Habisnya? Bongkar Akar Masalahnya!
-
Dulu Buku, Kini Scroll: Mengapa Media Sosial Menggeser Kebiasaan Membaca?
-
Mengapa Anak Muda Harus Peduli dengan Dunia Politik?
-
Gengsi di Atas Segalanya: Ketika Eksistensi Menjadi Hal yang Paling Utama
-
Hustle Culture: Lebih Banyak Kerja, Belum Tentu Lebih Sukses
Artikel Terkait
-
Stop Cari Kambing Hitam! Saatnya Timnas Indonesia Tatap Kualifikasi Piala Dunia 2026
-
Usut Kasus Korupsi CSR, KPK Periksa 'Orang Dalam' BI Hari Ini
-
Timnas Indonesia Gagal di Piala AFF 2024, Eks Barcelona: Menyedihkan...
-
Shin Tae-yong Ketar-ketir, Erick Thohir: Paling Tidak Tembus Semifinal...
-
Madura United Lepas Pemain Filipina yang Bikin Timnas Indonesia Gugur di Piala AFF 2024
Kolom
-
Pahlawan atau Pelaku? Ketika Orang Tua Terlibat dalam Masalah Anak
-
Menggali Skill yang Tetap Relevan di Era AI, Siapa yang Bisa Bertahan?
-
AI dan Manusia: Kerja Sama Harmonis atau Perebutan Kendali?
-
Seni di Era Digital: Bisakah AI Memahami Jiwa Manusia?
-
Bupati Terpilih Polewali Mandar, Mampukah Tangani Masalah Sampah?
Terkini
-
Miliki Cerita Unik, Lee Se Young Ungkap Alasan Bintangi Motel California
-
Sehat Bersama Posbindu: Kolaborasi Mahasiswa Amikom dengan Posbindu Mundu
-
Sulit Dikalahkan, Panda 'Jujutsu Kaisen' Punya 3 Inti Kutukan di Tubuhnya!
-
Review Film Escape of Shark: Teror Hiu di Dalam Resor Mewah Setelah Tsunami
-
Isu Krisis Populasi dan Kampanye Ajakan Menikah di Drama Marry You