Generasi Alpha lahir ke dunia yang sangat berbeda dari generasi sebelumnya. Media digital bukan sekadar alat bantu, melainkan bagian integral dari kehidupan mereka sejak dini. Dengan akses tak terbatas ke informasi melalui internet, mereka memiliki potensi besar untuk menjadi generasi paling terdidik dan terbuka.
Namun, pada saat yang sama, media digital juga memperkuat polarisasi, menciptakan tantangan bagi pandangan dunia mereka. Jadi, apakah Gen Alpha lebih inklusif atau justru terjebak dalam gelembung opini yang terpolarisasi?
Platform seperti YouTube, TikTok, dan Instagram adalah sumber informasi utama bagi Gen Alpha, melampaui buku atau guru di sekolah. Algoritma di balik platform ini dirancang untuk menyajikan konten yang relevan dengan preferensi mereka, tetapi hal ini sering kali berbeda dengan sudut pandang mereka. Akibatnya, mereka bisa terjebak dalam ruang gema, di mana mereka hanya melihat dan mendengar apa yang sesuai dengan keyakinan mereka.
Namun, tidak semua efeknya negatif. Akses ke internet juga memungkinkan Gen Alpha untuk terhubung dengan berbagai budaya, ideologi, dan pengalaman yang mungkin tidak mereka temui secara langsung. Misalnya, banyak anak muda belajar tentang isu-isu sosial seperti perubahan iklim, kesetaraan gender, atau hak asasi manusia melalui media digital. Pada saat ini, mereka lebih terpapar pada perspektif global dibandingkan generasi sebelumnya.
Masalah utama muncul ketika media sosial memperkuat polarisasi, terutama pada isu-isu kontroversial. Gen Alpha, meski masih muda, sudah menjadi saksi dari perang opini yang sering memanas di ruang digital. Fenomena cancel culture, perdebatan politik yang sengit, hingga penyebaran informasi palsu menjadi pemandangan sehari-hari yang bisa membentuk pola pikir mereka. Jika tidak mengajarkan berpikir kritis sejak dini, mereka bisa dengan mudah terpancing atau bahkan membentuk pandangan ekstrem.
Di sisi lain, Gen Alpha memiliki keuntungan sebagai generasi yang tumbuh dengan narasi inklusivitas. Mereka lebih terbuka dalam menerima perbedaan, baik dalam hal budaya, agama, maupun orientasi seksual. Media digital yang mereka konsumsi sering kali mempromosikan keberagaman, seperti kampanye dari figur publik atau merek yang mendorong inklusi. Namun, seberapa jauh nilai ini meresap ke dalam kehidupan nyata masih menjadi pertanyaan.
Gen Alpha berada di persimpangan jalan. Mereka bisa menjadi generasi yang paling inklusif dan berpandangan luas, atau justru terjebak dalam siklus polarisasi yang diwarisi dari dunia digital. Masa depan pandangan dunia mereka bergantung pada bagaimana kita, generasi sebelumnya, membimbing mereka untuk memanfaatkan teknologi secara bijak. Jika itu terjadi, mungkin mereka akan menjadi generasi yang benar-benar memahami makna keberagaman di tengah perbedaan.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.
Baca Juga
-
Memberdayakan Siswa sebagai Agen Perubahan melalui Mentor Sebaya
-
Tawa yang Berisiko! Kenapa Sarkasme Mahasiswa Mudah Disalahpahami Otoritas?
-
Jebakan Flexing! Ketika Bahasa Ilmiah Cuma Jadi Aksesori Pamer Kepintaran
-
Fenomena Bubble Kampus! Saat Eksklusivitas Prodi Mencekik Jaringan dan Ide
-
Kesesatan Berpikir Generasi: Predikat Tak Harus Verba, Kenapa Kita Salah?
Artikel Terkait
-
Berhenti Ikuti Tren TikTok: Kenali Diri sebelum Terjebak Standar Sosial
-
Pembelajaran Microlearning, Apa Kecepatan Lebih Penting dari Kualitas?
-
Feed Instagram Anies Dibandingkan dengan Jokowi, Warganet: Kontras Banget
-
Video 9 Detik Mirip Zqya Viral, Seleb Tiktok Klarifikasi: Itu Bukan Gue
-
Scroll Cepat, Lupa Esensi? Tantangan Budaya Viral di Kalangan Gen Alpha
Kolom
-
Deforestasi: Investasi Rugi Terbesar dalam Sejarah Pembangunan Indonesia
-
Di Antara Ombak & Bukit Hijau, Harapan Way Haru Tak Pernah Tumbang
-
Logika Sesat dan Penyangkalan Sejarah: Saat Kebenaran Diukur dari Selembar Kertas
-
Mudah Marah ke Orang Tua tapi Ramah ke Orang Lain? Begini Kata Psikolog
-
Janji Kesetaraan Tinggal Janji, Pesisir Masih Tak Aman bagi Perempuan
Terkini
-
7 Our Family: Luka Keluarga dari Sudut Anak Paling Terlupakan
-
Anime Dead Account Bagikan Trailer Baru Jelang Tayang 10 Januari 2026
-
Ahlan Singapore: Rebecca Klopper Terjebak di Antara Kiesha Alvaro dan Ibrahim Risyad
-
Bingung Pilih OOTD? Ini 5 Aplikasi Terbaik untuk Inspirasi Gaya Anda
-
Dituding Jadi Orang Ketiga, Ade Tya Bongkar Ari Lasso Ngaku Single?