Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Yayang Nanda Budiman
Ilustrasi palu hakim (Pexels.com/Sora Shimazaki)

Korupsi telah sejak lama mengakar menjadi sebuah ironi akut dalam kehidupan bangsa ini. Ia tidak hanya sekadar tindak kejahatan ekonomi, melainkan juga kejahatan sosial yang memperkosa kepercayaan dan rasa keadilan masyarakat terhadap pejabat publik.

Lebih dari sebatas angka kerugian negara yang ditimbulkan, korupsi menyayat dan menciptakan luka sosial mendalam, melahirkan ketidakpercayaan, dan menumbuhkan apatisme. 

Namun, yang lebih mengguncangkan nalar publik dan rasa keadilan masyarakat adalah bagaimana pelaku korupsi sering kali diperlukan tak ubahnya “tamu kehormatan” di meja hijau persidangan.

Fenomena vonis ringan bagi koruptor yang belakangan tengah menjadi isu penting republik, memadati ruang diskursus publik di beranda media sosial. 

Merujuk data dari Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat rata-rata vonis kepada koruptor pada tahun 2023 hanya berkisar 3 tahun 4 bulan. Sebuah angka yang merefleksikan betapa rapuhnya penegakan hukum kita terhadap para pelaku kejahatan yang mempunyai daya rusak luar biasa seperti korupsi. 

Komparasikan dengan sejumlah negara lain yang jauh lebih tegas dalam menghukum koruptor demi melindungi integritas sistem mereka. China, misalnya, bagaimana mereka memberlakukan hukuman mati sebagai bentuk ketegasan dalam memberantas korupsi.

Belakangan, pemerintah di Beijing mengeksekusi mati Li Jianping, mantan Sekretaris Partai Komunis Tiongkok, yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi dengan nilai lebih dari 3 miliar yuan atau setara Rp6,6 triliun.

Sebaliknya, di Indonesia, para koruptor seolah berjalan di atas karpet merah, menikmati keringanan hukuman, bahkan terkadang dengan fasilitas mewah di penjara. 

Polemik Vonis Ringan Harvey Moeis

Fenomena serupa juga terjadi beberapa hari ini. Kasus vonis ringan terhadap Harvey Moeis dalam kasus pengelolaan tata niaga timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk, menjadi bukti telanjang bagaimana rasa keadilan mengalami keruntuhan.

Dengan total taksiran kerugian negara mencapai Rp 300 triliun, ia hanya divonis oleh Majelis Hakim PN Tipikor Jakarta Pusat dengan hukuman 6,5 tahun penjara, uang pengganti Rp 210 miliar subsider 2 tahun, dan denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan—sebuah hukuman yang bahkan lebih ringan dibandingkan dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum yakni 12 tahun penjara, uang pengganti Rp 210 miliar subsider 6 tahun, dan denda Rp 1 miliar subsider 1 tahun, serta dampak daya rusak terhadap segala lini yang ditimbulkan oleh para pelaku. 

Kendati putusan ringan terhadap para pelaku korupsi bukan kali pertama ini terjadi, dalam perspektif publik, ini tidak hanya soal hukuman yang tidak masuk akal, melainkan juga simbol dari ketidakseriusan negara dalam memberantas korupsi.

Di tengah ancaman kenaikan PPN 12% di awal tahun depan, rentetan praktik kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian di sejumlah daerah hingga kontroversi “pembredelan” pameran karya seni, publik yang menyaksikan semua ini hanya bisa mengelus dada.

Mengapa Negara Gagal Serius Pemberantasan Korupsi?

Kegagalan negara dalam memberantas korupsi bukanlah persoalan teknis semata, melainkan persoalan komitmen politik dan moralitas penguasa.

Dalam banyak kasus, aparat penegak hukum kerap terjebak dalam lingkaran kompromi. Ini menjadi dilema akut ketika yang seharusnya menegakkan hukum malah bermain-main dengan hukum itu sendiri. Korupsi akhirnya tidak lagi dipandang sebagai ancaman besar, melainkan sebagai "kewajaran sistemik".

Lihatlah bagaimana fasilitas mewah kerap ditemukan di dalam penjara khusus narapidana korupsi. Sebuah ironi besar ketika narapidana kasus narkoba harus rela tidur di atas lantai beralaskan tikar usang, sementara narapidana korupsi duduk nyaman di sofa empuk dengan televisi layar datar.

Fenomena ini mencerminkan bagaimana negara secara tidak langsung membedakan antara kejahatan "kelas bawah" dan kejahatan "kelas atas." Padahal, daya rusak korupsi jauh lebih masif dibandingkan tindak pidana lainnya.

Korupsi sebagai Krisis Kepercayaan Publik

Korupsi, dalam dimensinya yang paling destruktif, adalah bentuk pengkhianatan terhadap kepercayaan rakyat. Ketika pejabat publik, yang seharusnya menjadi pengemban amanah, justru menyalahgunakan wewenangnya untuk memperkaya diri sendiri, maka yang dirusak bukan hanya sistem ekonomi, tetapi juga psikologi sosial bangsa.

Ketidakpercayaan yang lahir akibat korupsi berdampak jauh lebih panjang daripada sekadar hilangnya uang negara; ia menciptakan apatisme massal yang perlahan membunuh semangat kolektif untuk memperbaiki bangsa.

Dalam konteks ini, publik tidak hanya menuntut hukuman yang berat, tetapi juga keteladanan dari para pemimpin. Sayangnya, keteladanan itu seperti burung langka yang sulit ditemukan di hutan belantara politik Indonesia.

Kita lebih sering menyaksikan para pemimpin ini sibuk mencari alasan pembenaran daripada menawarkan solusi yang konkret.

Mengais Harapan dalam Kegelapan

Meski gelap, selalu ada celah harapan. Gerakan masyarakat sipil, organisasi antikorupsi, hingga individu-individu dengan integritas tinggi masih menjadi lilin kecil di tengah malam pekat.

Harapan ini tidak boleh padam. Di tengah frustasi yang meluas, rakyat perlu terus menyuarakan aspirasi mereka, menuntut keadilan, dan mendesak perubahan.

Namun, mari kita jujur pada diri sendiri: perubahan besar tidak mungkin terjadi hanya dengan retorika. Ia membutuhkan keberanian kolektif untuk menabrak sistem yang korup. Butuh nyali besar untuk melawan arus, bahkan ketika arus itu begitu deras dan penuh ancaman.

Pada akhirnya, bangsa ini harus memutuskan: apakah korupsi akan terus menjadi bagian dari “budaya nasional” yang memalukan, atau kita akan mengakhiri ironi ini dan menulis ulang narasi kita sebagai bangsa yang bermartabat?

Keputusan itu ada di tangan kita, rakyat, dan mereka yang duduk di kursi kekuasaan. Jika tidak sekarang, kapan lagi? Sebab, setiap kompromi yang diberikan kepada koruptor adalah batu nisan lain untuk keadilan di negeri ini.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Yayang Nanda Budiman