Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Sherly Azizah
Potret Presiden Prabowo Subianto (instagram/prabowo)

Pagi ini, ketika membuka Instagram, saya dikejutkan oleh unggahan dari akun suaradotcom pada (23/1/2025) yang menyampaikan klaim Presiden Prabowo Subianto.

Ia mengumumkan bahwa Presiden Prabowo Subianto melakukan pemangkasan anggaran perjalanan dinas yang berhasil menghemat Rp20 triliun.

Selain itu, Presiden Prabowo juga meminta para menteri di Kabinet Merah Putih untuk berhemat dan menghindari pemborosan pada acara seremonial.

Sekilas, kebijakan ini terdengar seperti langkah brilian. Namun, apakah ini benar-benar menjadi solusi struktural, atau hanya sekadar kebijakan simbolik?

Rp20 Triliun: Efisiensi atau Angka Kosmetik?

Dalam pidatonya, Prabowo menyebut bahwa penghematan ini dapat dialokasikan untuk memperbaiki ribuan sekolah. Sebagai masyarakat yang selalu mendambakan pendidikan berkualitas, pernyataan ini tentu membangkitkan harapan.

Tapi mari kita realistis, apakah angka Rp20 triliun benar-benar akan langsung berimbas pada pembangunan infrastruktur pendidikan?

Sayangnya, sejarah kerap menunjukkan bahwa alokasi dana seringkali terhambat birokrasi atau malah "menghilang" dalam pelaksanaannya. Di sinilah kritik utama muncul, transparansi dan eksekusi adalah tantangan yang lebih besar daripada sekadar penghematan.

Membatasi Seremonial, Efek Positif atau Negatif?

Langkah untuk meminimalisir perayaan seremonial juga mengundang perdebatan. Di satu sisi, mengurangi acara yang bersifat seremonial memang bisa mencerminkan efisiensi.

Namun, di sisi lain, tradisi dan simbolisme dalam seremonial sering menjadi bagian penting dalam menjaga moralitas, semangat, dan solidaritas di kalangan birokrasi dan masyarakat.

Ketika semua dibuat minimalis, akankah hal ini menciptakan rasa kebersamaan atau malah mengurangi kehangatan dalam institusi pemerintahan?

Bagaimana dengan Prioritas Lain?

Meski pemangkasan anggaran perjalanan dinas menjadi headline, ada pertanyaan besar yang patut diajukan, apakah ini adalah prioritas utama?

Dengan tantangan besar seperti kemiskinan, kesehatan, dan ketahanan pangan, kebijakan ini terlihat seperti menangani masalah pinggiran daripada menyentuh akar persoalan.

Contohnya, laporan Bank Dunia (2024) menyebutkan bahwa tingkat stunting di Indonesia masih berada di angka 21,6 persen. Bukankah anggaran besar seperti Rp20 triliun lebih relevan untuk intervensi nutrisi atau pembangunan pusat kesehatan di daerah terpencil?

Loyalitas Menteri, Hemat atau Terancam?

Selain pemangkasan anggaran, Prabowo juga menekankan pentingnya loyalitas dari para menteri. Sebagai seorang pemimpin, ia tentu berhak meminta loyalitas dari kabinetnya.

Namun, loyalitas semacam apa yang diharapkan? Loyalitas untuk bekerja keras demi rakyat, atau sekadar kepatuhan tanpa kritik?

Dalam demokrasi yang sehat, perbedaan pendapat dan diskusi kritis justru menjadi kekuatan, bukan ancaman. Jika loyalitas hanya dimaknai sebagai "ikut tanpa bertanya," maka kita sedang menuju pada pola otoritarianisme gaya baru.

Pemangkasan vs Reformasi

Langkah Prabowo untuk memotong anggaran adalah langkah pragmatis, namun ini bukanlah reformasi. Reformasi berarti menciptakan sistem yang lebih efisien, transparan, dan akuntabel.

Pemangkasan hanya menyelesaikan masalah di permukaan, sementara akar masalah seperti korupsi, inefisiensi birokrasi, dan pemborosan tetap tidak tersentuh.

Langkah Prabowo untuk menghemat Rp20 triliun patut diapresiasi sebagai upaya efisiensi, tetapi tidak boleh berhenti di situ. Kebijakan ini harus diikuti dengan transparansi penggunaan dana, prioritas yang jelas, dan reformasi struktural.

Tanpa itu, Rp20 triliun hanya akan menjadi headline menarik tanpa dampak nyata bagi masyarakat. Sebagai rakyat, kita perlu terus mengawasi dan mengkritisi agar kebijakan ini benar-benar menjadi solusi, bukan sekadar retorika.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Sherly Azizah