Media, baik cetak maupun elektronik, adalah jantung informasi dan pusat pembentukan opini publik. Dalam proses ini, pekerja kata—penulis opini, kolumnis, cerpenis, hingga penggagas sastra—menjadi aktor utama yang menghidupkan narasi, memperluas cakrawala berpikir, dan memancing diskusi intelektual.
Ironisnya, penghargaan terhadap mereka kian pudar. Banyak media yang kini enggan memberikan honorarium yang layak, bahkan ada yang sama sekali tidak menyediakan kompensasi bagi karya yang diterbitkan. Alasan utamanya sering kali klasik: keterbatasan finansial.
Fenomena ini menghadirkan paradoks. Di satu sisi, media membutuhkan pekerja kata untuk menjaga keberlanjutan dan kualitas konten. Namun di sisi lain, mereka sering abai terhadap kebutuhan dasar para penulis. Akibatnya, banyak pekerja kata, terutama yang menjadikan menulis sebagai profesi utama, terpaksa mencari sumber penghasilan lain. Mereka yang tetap bertahan sering kali harus menurunkan standar kualitas karya karena keterbatasan waktu dan energi yang terpecah oleh tuntutan hidup.
Padahal, tulisan yang tajam, kritis, dan menggigit lahir dari dedikasi penuh penulis. Jika pekerja kata tidak dihargai, yang tersisa hanyalah karya-karya yang dangkal dan terburu-buru. Dalam jangka panjang, ini bisa mengikis kredibilitas media itu sendiri. Pembaca mungkin tetap datang untuk mencari informasi, tetapi kepercayaan terhadap media yang tidak menghargai kontributor mereka akan memudar.
Masalah serupa juga terjadi di industri penerbitan buku. Jika dulu penulis dihargai dengan royalti dan dukungan penuh penerbit, kini banyak dari mereka harus menerbitkan karya secara mandiri, bahkan membayar sejumlah biaya.
Bagi penulis independen, ini menjadi beban berat, terutama karena mereka juga harus mempromosikan karya secara mandiri tanpa jaminan keuntungan. Hal ini berbeda dengan PNS seperti dosen atau guru, yang meskipun harus membayar untuk menerbitkan karya, masih mendapatkan kompensasi berupa angka kredit. Namun bagi penulis swasta, penghargaan finansial menjadi satu-satunya bentuk apresiasi yang nyata.
Dalam beberapa kasus, bahkan praktik yang lebih problematis muncul. Beberapa media cetak menawarkan jasa penerbitan tulisan dengan iming-iming sertifikat atau angka kredit, asalkan penulis membayar sejumlah uang. Meskipun sistem angka kredit kini sudah berubah, praktik seperti ini menodai integritas media dan menambah beban pekerja kata.
Lantas, bagaimana solusi untuk menghargai pekerja kata secara layak? Pertama, media harus merevisi paradigma mereka tentang pentingnya mendukung pekerja kata. Honorarium, meskipun kecil, adalah bentuk penghormatan terhadap karya dan tenaga yang mereka curahkan.
Kedua, kolaborasi dengan pihak-pihak eksternal seperti perusahaan atau lembaga pendukung literasi dapat menjadi salah satu cara untuk menopang aspek finansial. Program sponsorship atau dukungan pendanaan dapat dialokasikan untuk membiayai honorarium pekerja kata.
Selain itu, pemerintah juga dapat mengambil peran lebih besar dalam mendukung ekosistem literasi. Subsidi atau insentif pajak untuk media yang memberikan honorarium kepada kontributornya bisa menjadi salah satu jalan keluar. Ini tidak hanya mendukung pekerja kata tetapi juga memperkuat kualitas informasi yang beredar di masyarakat.
Pada akhirnya, penghargaan kepada pekerja kata bukan semata-mata tentang uang, tetapi tentang menjaga martabat profesi menulis. Media yang enggan berinvestasi pada pekerja kata akan kehilangan relevansi di mata publik.
Sebaliknya, media yang menghormati dan mendukung penulis akan terus menjadi mercusuar pengetahuan di tengah arus informasi yang semakin deras. Untuk itu, mari kita bersama menjaga agar nyala kreativitas tidak padam, demi media yang berkualitas dan masyarakat yang tercerahkan.
Artikel Terkait
-
Kelakar Prabowo Meminta Awak Media Keluar Ruangan Sebelum Rapat Tertutup: Yang Muda-muda Tunggu di Luar
-
Ada Fitur Mute dan Block, Media Sosial Nggak Selamanya Buruk, Kok!
-
Sering Jadi Perdebatan di Media Sosial, Kenapa Jakarta Bukan Jawa?
-
Pembatasan Media Sosial atau Peningkatan Literasi: Menakar Efektivitas Perlindungan Anak di Ruang Digital
-
Viral Audio Mirip Mendikti Ngamuk Soal Air, Satryo: Bukan Saya!
Kolom
-
Dunia yang Kompetitif Membutuhkan Lebih Banyak Empati, Siapa yang Setuju?
-
Hormati Fotografer, Dedikasi Mereka Lebih Berharga dari Sekadar Minta Foto
-
Sisi Gelap Self-Diagnosis di Era Digital
-
Scroll, Klik, Bandingkan: Jebakan Media Sosial, Fenomena yang Mengancam Mental Generasi Digital
-
Efisiensi Anggaran ala Prabowo, Langkah Nyata atau Sekadar Retorika?
Terkini
-
Pantai Pasir Padi, Persona Pantai Menghadap Laut Natuna di Pangkal Pinang
-
Novel 'Kafe Purnama Bayu', Kafe Kopi Impian yang Bisa Mengabulkan Keinginan
-
Ulasan Buku Karpet Terbang, Dongeng Animasi 3D yang Eye-Catching!
-
Ulasan Novel Athala: Menyingkap Rahasia Kelam Kehidupan Remaja
-
Tantang PSBS Biak Tanpa Gali Freitas, PSIS Semarang Krisis Juru Gedor?