
Kasus dugaan korupsi yang menyeret PT Pertamina kembali menampar wajah kepercayaan publik. Dilansir Suara.com, kejaksaan Agung mengungkap bahwa praktik korupsi di tubuh perusahaan ini diduga menyebabkan kerugian negara mencapai Rp193,7 triliun. Angka yang begitu besar, melebihi banyak anggaran kementerian dalam setahun.
Modusnya pun terstruktur: mulai dari pengaturan produksi kilang, manipulasi tender impor minyak, hingga praktik blending BBM yang diduga merugikan konsumen.
Bukan sekali ini publik menyaksikan skandal besar dari institusi yang seharusnya menjadi tulang punggung ekonomi negara. Jiwasraya, Asabri, BLBI, dan kini Pertamina, seolah menjadi bukti bahwa korupsi bukan sekadar kejahatan, tetapi penyakit sistemik yang terus berulang.
Setiap kali kasus besar mencuat, narasinya serupa: janji perbaikan, perombakan manajemen, penguatan pengawasan. Namun, tetap saja ada celah yang dimanfaatkan segelintir orang untuk memperkaya diri.
Masalahnya, bukan hanya uang negara yang terkuras. Setiap skandal korupsi yang terungkap perlahan meluruhkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan institusi negara.
Klarifikasi dan janji perbaikan kini hanya terdengar seperti pengulangan tanpa substansi. Wajar jika banyak yang merasa skeptis, bahkan sinis, terhadap setiap pernyataan resmi.
Tidak sedikit kritik tajam yang beredar di media sosial yang mencerminkan betapa rendahnya tingkat kepercayaan publik terhadap klarifikasi yang diberikan.
Skeptisisme semacam ini menunjukkan bahwa banyak orang tidak lagi melihat pernyataan resmi sebagai sesuatu yang bisa langsung diyakini, melainkan sebagai sekadar formalitas yang belum tentu mencerminkan kenyataan.
Namun, yang lebih mengkhawatirkan bukan hanya korupsi itu sendiri, tetapi bagaimana masyarakat mulai merasa kebal dan terbiasa. Seolah-olah kasus-kasus ini hanyalah bagian dari siklus yang akan terus berulang.
Reaksi publik mungkin tetap marah, tetapi apakah kemarahan ini cukup untuk mendorong perubahan? Atau justru hanya menjadi riuh rendah sesaat yang segera tenggelam oleh isu lain?
Seharusnya, tidak ada ruang untuk toleransi terhadap korupsi. Setiap kasus yang terungkap harus menjadi alarm bagi semua pihak, bahwa kejahatan ini tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga menciptakan generasi yang semakin apatis terhadap moralitas dan integritas.
Sebab, jika korupsi terus dianggap sebagai "nasib buruk" yang harus diterima, maka yang sebenarnya dirampas bukan hanya uang negara, tetapi juga harapan akan masa depan yang lebih bersih.
CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Ketika Pekerjaan Sulit Dicari, tapi Janji Politik Mudah Diberi
-
Review Novel 'Kotak Pandora': Saat Hidup Hanya soal Bertahan
-
Review Novel 'Totto-chan': Bukan Sekolah Biasa, Tapi Rumah Kedua Anak-anak
-
Benarkah 'Kerja Apa Aja yang Penting Halal' Tak Lagi Relevan?
-
Review Novel 'Jane Eyre': Ketika Perempuan Bicara soal Harga Diri
Artikel Terkait
-
Daftar Korupsi Terbesar BUMN, UU Baru Bikin Pemberantasan Rasuah Makin Sulit?
-
Kejagung Sudah Periksa 7 Saksi Terkait Dugaan Korupsi Tata Kelola Minyak Mentah Pertamina
-
Kejagung Dalami Aliran Uang Dugaan Korupsi Pertamina Patra Niaga kepada Miss Indonesia 2010
-
Terungkap di Sidang Hasto! Satpam Ungkap Pertemuan Rahasia dengan Harun Masiku di Masjid Cut Mutia
-
Kejagung Amankan Ratusan Miliar Rupiah dari Pencucian Uang Korupsi Sawit PT Duta Palma Grup
Kolom
-
Sudah Saatnya Promotor Konser Hargai Penggemar K-Pop sebagai Konsumen
-
Underemployment Generasi Muda: Bekerja tapi Belum Sejahtera
-
Dari Jaga Perairan ke Tanam Kedelai: Apa Kabar Mandat TNI AL?
-
AI Masuk ke Kurikulum, Peluang atau Masalah?
-
Conscientious tapi Terluka, Saat Ketekunan Justru Menjadi Beban Kerja
Terkini
-
5 Karakter Utama dalam Film My Daughter is a Zombie yang Dibintangi Jo Jung Suk
-
Bikin Salting! Highway 1009 Jadi Bukti Ketulusan Cinta ENHYPEN untuk ENGENE
-
Reborn Rich Dikonfirmasi Lanjut Season 2, Masih Dibintangi Song Joong Ki?
-
Pasar Klojen Malang, Tempat Belanja dan Surga Kuliner yang Wajib Dikunjungi
-
Tenang Walau Kalah dari Marc Marquez, Alex Marquez Ingat Kisah Dovizioso