Dalam budaya yang telah lama membentuk pola pikir perempuan, ada satu fenomena psikologis yang sering kali luput dari perhatian yaitu cinderella complex. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Colette Dowling untuk menggambarkan ketergantungan emosional perempuan pada figur laki-laki yang mereka anggap sebagai penyelamat. Dalam realitas kehidupan modern, sindrom ini masih relevan, terutama dalam konteks karier dan kemandirian perempuan.
Sebuah penelitian dari Hilwa dkk (2024) dalam Jurnal Psikologi Gunadarma mengupas lebih dalam mengenai cinderella complex di kalangan perempuan Indonesia. Studi ini menggambarkan bagaimana perempuan yang memiliki sindrom ini cenderung mengalami ketakutan tersembunyi terhadap kemandirian. Mereka merasa lebih nyaman ketika ada seseorang yang bisa mereka andalkan, sering kali pasangan laki-laki, untuk menopang kehidupan mereka. Sikap ini tidak selalu muncul dalam bentuk yang eksplisit, tetapi sering kali tercermin dalam keputusan-keputusan kecil sehari-hari, seperti preferensi terhadap pasangan yang lebih dominan atau keengganan mengambil peran kepemimpinan.
Dalam penelitian ini, ditemukan bahwa faktor budaya dan pola asuh berkontribusi besar dalam membentuk cinderella complex pada perempuan. Sejak kecil, banyak perempuan diajarkan untuk menjadi lembut, penurut, dan mengutamakan kehidupan rumah tangga daripada pencapaian pribadi. Stereotip ini tanpa disadari membentuk pola pikir bahwa kebahagiaan dan keamanan mereka bergantung pada kehadiran laki-laki dalam hidup mereka. Akibatnya, banyak perempuan yang merasa cemas ketika harus mengambil keputusan besar sendiri, terutama dalam aspek finansial dan profesional.
Namun, di sisi lain, penelitian ini juga mengungkap bahwa tidak semua perempuan dengan cinderella complex benar-benar bergantung pada laki-laki dalam arti harfiah. Banyak dari mereka yang secara ekonomi mandiri, tetapi masih menyimpan ketakutan akan tanggung jawab penuh atas kehidupan mereka sendiri. Ada semacam ketidaksiapan mental untuk benar-benar berdiri sendiri, meskipun dalam praktiknya mereka mampu.
Fenomena ini menjadi tantangan tersendiri dalam pemberdayaan perempuan. Kampanye tentang kemandirian perempuan semakin marak, tetapi masih banyak perempuan yang secara psikologis merasa lebih nyaman dalam peran yang lebih pasif. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan tidak hanya bisa dilakukan melalui kebijakan atau dorongan ekonomi semata, tetapi juga harus menyentuh aspek psikologis yang lebih mendalam.
Cinderella complex bukanlah sesuatu yang harus dipandang sebagai kelemahan semata, tetapi sebagai hasil dari proses sosial dan budaya yang telah berlangsung selama bertahun-tahun. Dengan memahami bahwa ketergantungan ini bersifat konstruksi sosial, perempuan dapat mulai merefleksikan sejauh mana pola pikir ini memengaruhi kehidupan mereka. Kesadaran adalah langkah pertama menuju perubahan, dan dengan mendekonstruksi pola pikir lama ini, perempuan bisa lebih berani mengambil kendali penuh atas hidup mereka tanpa ketakutan yang tidak perlu.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.
Baca Juga
-
Sate Kacang dengan Twist Berbeda, Kuliner Jambi yang Bikin Ketagihan
-
Mengapa Empati terhadap Hewan Penting bagi Peradaban yang Lebih Beradab?
-
Mengapa Kecerdasan Emosional Lebih Penting dari IQ?
-
Kecurangan Akademik, Masalah Moral atau Kurangnya Kesadaran Spiritual?
-
Saat Ambisi Menjadi Beban: Bagaimana Menjaganya Tetap Sehat?
Artikel Terkait
-
Bersuara Melalui Karya: Bagaimana Perempuan Menggunakan Seni untuk Perubahan
-
3 Novel ini Merupakan Medium atas Sebutan "Perempuan yang Melawan"
-
Perempuan yang Menunggu di Lorong Menuju Laut: Harapan di Tengah Ancaman
-
Dorong Perubahan Berkelanjutan, Ini Kiat Pemberdayaan Perempuan di Indonesia
-
Melihat Tantangan Kesehatan Kaum Hawa di Hari Perempuan Internasional 2025: Dari Jantung, Hormon, hingga Penuaan
Kolom
-
Review Anime Silver Spoon, Realita Kehidupan di Sekolah Pertanian
-
Ulasan Novel Arkananta, Saat Kehangatan Keluarga Diuji oleh Rasa Kehilangan
-
Percaya Nggak Sih, Kalau Kita Lebih Pintar dari AI?
-
Review Sing Sing: Ketika Seni Menjadi Obat Luka di Balik Jeruji Besi
-
Review Mickey 17: Kala Manusia Bisa Diduplikat untuk Jalani Misi Berbahaya
Terkini
-
3 Rekomendasi Series Dibintangi Davina Karamoy, 'Culture Shock' Teranyar
-
3 Drama China Baru Maret 2025, Ada Drama Bai Lu dan Esther Yu
-
3 Drama Thailand yang Dibintangi Got Jirayu, Terbaru Ada Chom Chai Ayothaya
-
3 Novel ini Merupakan Medium atas Sebutan "Perempuan yang Melawan"
-
Saat Cinta Berubah Menjadi Luka dalam Lagu BAD dari PENTAGON