Ketika membicarakan dunia akademik, satu hal yang tak bisa dilewatkan adalah integritas. Namun, ironisnya, kecurangan akademik justru menjadi fenomena yang masih marak terjadi di berbagai kampus, baik di Indonesia maupun Malaysia. Artikel berjudul "Spirituality Beyond Religiosity: Understanding Perceptions of Academic Cheating in Indonesia and Malaysia" yang diteliti oleh Jamaluddin dkk (2024) dalam Jurnal Psikologi oleh Universitas Gadjah Mada, mencoba menyoroti hubungan antara spiritualitas dan persepsi mahasiswa terhadap kecurangan akademik.
Penelitian ini tidak main-main. Sebanyak 2.800 mahasiswa dari 17 institusi akademik di Indonesia dan Malaysia dilibatkan untuk menggali lebih dalam bagaimana spiritualitas seseorang bisa memengaruhi sikap mereka terhadap kecurangan akademik. Dalam kajian ini, peneliti membedakan dua konsep yang sering kali dianggap sama: religiositas dan spiritualitas.
Religiositas berkaitan dengan praktik keagamaan seseorang—bagaimana mereka menjalankan ibadah dan menaati aturan agama. Sementara itu, spiritualitas lebih luas cakupannya. Hal ini bukan sekadar soal ibadah, tetapi lebih pada bagaimana seseorang memaknai hidup, memiliki kesadaran moral, dan hubungan dengan sesuatu yang lebih besar dari dirinya.
Nah, temuan menarik dari penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat spiritualitas yang lebih tinggi berkorelasi dengan pandangan yang lebih negatif terhadap kecurangan akademik. Artinya, mahasiswa yang memiliki pemahaman spiritual lebih dalam cenderung enggan melakukan kecurangan dalam dunia akademik. Tapi tunggu dulu, apakah ini berarti mahasiswa yang religius lebih jujur dibanding yang tidak? Tidak sesederhana itu.
Di Indonesia dan Malaysia, agama memang memiliki peran yang kuat dalam kehidupan sosial dan pendidikan. Namun, penelitian ini mengungkap fakta menarik: religiositas saja tidak cukup untuk menjamin seseorang akan menjauhi kecurangan akademik. Mahasiswa yang taat beribadah belum tentu lebih jujur dibanding mereka yang memiliki pemahaman spiritual yang lebih dalam. Dengan kata lain, seseorang bisa saja rajin beribadah tetapi tetap tergoda untuk berbuat curang dalam ujian.
Menariknya, penelitian ini juga menemukan bahwa mahasiswa Malaysia cenderung memiliki tingkat spiritualitas yang lebih tinggi dibandingkan mahasiswa Indonesia. Mengapa demikian? Faktor budaya, sistem pendidikan, serta lingkungan sosial bisa jadi memainkan peran besar dalam membentuk karakter mahasiswa di kedua negara ini. Namun, yang jelas, spiritualitas tetap menjadi faktor kunci yang berpengaruh terhadap integritas akademik.
Lantas, apa yang bisa kita pelajari dari penelitian ini? Institusi pendidikan harus mulai berpikir lebih jauh dalam membangun budaya akademik yang jujur dan berintegritas. Pendekatan berbasis hukuman bagi pelanggar memang penting, tetapi tidak cukup. Yang lebih krusial adalah bagaimana membentuk kesadaran moral mahasiswa agar mereka memahami bahwa kecurangan akademik bukan hanya soal melanggar aturan, tetapi juga soal nilai dan karakter.
Kurikulum pendidikan bisa dimodifikasi untuk memasukkan nilai-nilai spiritual yang lebih universal, sehingga mahasiswa tidak sekadar memahami aturan akademik, tetapi juga memiliki kesadaran intrinsik untuk berperilaku jujur. Peran dosen dan tenaga pendidik juga tidak bisa diabaikan. Dosen yang menjadi role model dalam bersikap etis, serta mendekati mahasiswa dengan pendekatan yang lebih personal, bisa membantu membangun lingkungan akademik yang lebih sehat.
Selain itu, mahasiswa sendiri harus diberdayakan untuk memahami dampak jangka panjang dari kecurangan akademik. Mencontek atau melakukan plagiarisme mungkin terlihat menguntungkan dalam jangka pendek, tetapi dalam jangka panjang, hal ini bisa merusak karakter dan kredibilitas seseorang. Oleh karena itu, membangun kesadaran spiritual yang lebih kuat di kalangan mahasiswa dapat menjadi strategi efektif dalam menekan angka kecurangan akademik.
Pada akhirnya, penelitian ini menjadi pengingat bahwa pendidikan bukan sekadar soal nilai atau ijazah, tetapi juga tentang membentuk karakter yang berintegritas. Dengan memahami bahwa spiritualitas bukan sekadar aspek keagamaan, tetapi juga refleksi dari kesadaran moral dan nilai-nilai kehidupan, kita dapat menciptakan lingkungan akademik yang lebih jujur dan bermakna.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.
Baca Juga
-
Sate Kacang dengan Twist Berbeda, Kuliner Jambi yang Bikin Ketagihan
-
Mengapa Empati terhadap Hewan Penting bagi Peradaban yang Lebih Beradab?
-
Mengapa Kecerdasan Emosional Lebih Penting dari IQ?
-
Saat Ambisi Menjadi Beban: Bagaimana Menjaganya Tetap Sehat?
-
Cinderella Complex: Saat Perempuan Takut Mandiri Tanpa Disadari
Artikel Terkait
-
Kurikulum Cinta Diperkenalkan Menteri Agama: Misi Pendidikan Berbasis Kasih Sayang untuk Masa Depan Bangsa
-
Percaya Nggak Sih, Kalau Kita Lebih Pintar dari AI?
-
Akses dan Keadilan Pendidikan
-
Sesumbar Bilang Netizen Ilmunya Masih Minim saat Bahas Bika Ambon, Tasyi Athasyia Lulusan Mana?
-
Pendidikan Gratis: Hak Anak atau Sekadar Janji Politik?
Kolom
-
Review Anime Silver Spoon, Realita Kehidupan di Sekolah Pertanian
-
Ulasan Novel Arkananta, Saat Kehangatan Keluarga Diuji oleh Rasa Kehilangan
-
Percaya Nggak Sih, Kalau Kita Lebih Pintar dari AI?
-
Review Sing Sing: Ketika Seni Menjadi Obat Luka di Balik Jeruji Besi
-
Review Mickey 17: Kala Manusia Bisa Diduplikat untuk Jalani Misi Berbahaya
Terkini
-
3 Rekomendasi Series Dibintangi Davina Karamoy, 'Culture Shock' Teranyar
-
3 Drama China Baru Maret 2025, Ada Drama Bai Lu dan Esther Yu
-
3 Drama Thailand yang Dibintangi Got Jirayu, Terbaru Ada Chom Chai Ayothaya
-
3 Novel ini Merupakan Medium atas Sebutan "Perempuan yang Melawan"
-
Saat Cinta Berubah Menjadi Luka dalam Lagu BAD dari PENTAGON