Kapan terakhir kali Anda menebang pohon? Mungkin pertanyaan ini terdengar sederhana, tetapi pada Hari Hutan Sedunia, pertanyaan tersebut memiliki makna yang mendalam.
Hari Hutan Sedunia mengingatkan kita akan pentingnya ekosistem hutan—kumpulan pepohonan yang bukan hanya sekadar elemen alam, tetapi juga pelindung kehidupan di Bumi.
Hutan menyediakan air bersih, menopang tanaman pangan, menjadi sumber obat-obatan berharga, dan melindungi keanekaragaman hayati. Di Indonesia, hutan yang membentang dari Sabang hingga Merauke adalah anugerah alam yang menjadi identitas bangsa.
Namun, ironisnya, meskipun hutan memiliki peran vital, laju kerusakannya justru semakin memprihatinkan. Berdasarkan analisis Greenpeace, sejak 1990 hingga 2015, Indonesia telah kehilangan 24 juta hektar hutan, terutama akibat perluasan industri perkebunan sawit, industri kertas, dan penebangan liar.
Ancaman terbesar saat ini adalah deforestasi di Papua, di mana antara 2015-2018 saja, 130.000 hektar hutan telah dibabat untuk perkebunan sawit.
Deforestasi tidak hanya merusak ekosistem, tetapi juga memperburuk krisis iklim global. Menurut laporan Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) tahun 2024, emisi gas rumah kaca akibat hilangnya tutupan hutan tropis selama 2015-2017 meningkat hingga 63% dibandingkan rata-rata 14 tahun sebelumnya. Dalam konteks ini, hutan adalah harapan terakhir kita untuk mengatasi krisis iklim yang semakin mendesak.
Hutan: Pelindung Kehidupan yang Terancam
Hutan bukan hanya kumpulan pohon, tetapi juga sistem ekologis kompleks yang melindungi planet ini. Hutan berfungsi sebagai penyerap karbon, mencegah banjir, melindungi tanah dari erosi, dan menyediakan air bersih bagi manusia.
Selain itu, hutan adalah rumah bagi 80% spesies terestrial di dunia, termasuk satwa ikonik seperti Gajah Sumatera, Harimau Sumatera, dan Orangutan. Namun, para ilmuwan memperingatkan bahwa Orangutan dapat punah pada tahun 2030 jika deforestasi terus berlanjut.
Kerusakan hutan juga berdampak langsung pada kehidupan manusia. Di Indonesia, bencana ekologis seperti banjir, tanah longsor, dan kebakaran hutan semakin sering terjadi.
Sebagai contoh, kebakaran hutan di Riau pada awal tahun ini telah membakar hampir 2.000 hektar lahan, menyebabkan ribuan warga tercekik asap dan terserang Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), terutama bayi dan balita.
Para ilmuwan memperingatkan bahwa kita hanya punya waktu 12 tahun untuk mempertahankan suhu bumi pada 1,5 derajat Celsius demi menyelamatkan diri dari dampak terburuk perubahan iklim.
Solusi paling efektif ada di depan mata: menghentikan deforestasi dan memulihkan ekosistem hutan yang rusak. Sekarang. Ya, mulai sekarang.
Data dan Fakta tentang Deforestasi Global
Data kehilangan tutupan pohon tahun 2017 menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Tahun tersebut mencatat tingkat kehilangan tutupan pohon tertinggi kedua, sedikit menurun dibandingkan tahun 2016.
Hal ini menunjukkan bahwa berbagai upaya untuk meredam deforestasi hutan tropis selama satu dekade terakhir belum menunjukkan hasil signifikan. Dalam dua tahun terakhir saja, kawasan hutan seluas Vietnam di daerah tropis habis dibabat.
Selain merugikan keanekaragaman hayati dan menyalahi hak serta mata pencaharian masyarakat setempat, deforestasi skala besar sangat berbahaya bagi iklim global.
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa hutan memiliki peran yang lebih besar dalam menekan perubahan iklim daripada yang pernah kita ketahui.
Selain menangkap dan menyimpan karbon, hutan memengaruhi kecepatan angin, pola hujan, dan kimia atmosfer. Singkat kata, bumi semakin panas dan kering karena deforestasi.
Menurut laporan World Resources Institute (WRI) tahun 2024, kebakaran hutan di tahun 2023 membakar sekitar 6,687 juta hektar hutan global, melepaskan 6,687 megaton karbon dioksida ke atmosfer.
Data awal 2024 menunjukkan situasi belum membaik, dengan lonjakan kebakaran hutan di Amazon, Peru, Rusia timur, Kanada, dan Alaska.
Tantangan Utama dalam Perlindungan Hutan
Penyebab utama deforestasi bukanlah rahasia. Pembukaan lahan terus dilakukan untuk produksi komoditas seperti kedelai, daging sapi, minyak kelapa sawit, dan bahan bakar hayati.
Meskipun ratusan perusahaan telah berkomitmen untuk menghapuskan deforestasi dari rantai pasokan mereka pada tahun 2020, permintaan global atas komoditas ini terus meningkat. Akses jalan menuju hutan semakin terbuka, membuat hutan rentan terhadap kebakaran dan konversi untuk kepentingan lain.
Sebagian besar penebangan dan konversi hutan yang dilakukan ditetapkan sebagai kegiatan ilegal oleh undang-undang dan peraturan negara produsen. Namun, praktik ilegal dan korupsi masih merajalela di berbagai negara dengan hutan tropis.
Selain itu, pembunuhan terhadap Masyarakat Adat sering terjadi saat mereka berusaha melindungi hutan. Ditambah lagi, hak tanah mereka sering kali tidak diakui, padahal mereka berperan besar dalam perlindungan tutupan hutan.
Situasi ini mirip dengan adegan kereta api yang lepas kendali di film-film. Permintaan global atas komoditas layaknya tuas gas yang telah ditekan hingga kereta berjalan kencang, sementara penegakan hukum dan pengelolaan adat layaknya rem yang berhenti bekerja.
Untuk mencegah kecelakaan parah, kita harus mengambil alih kemudi, membuang bata yang menahan pedal gas, dan mengaktifkan rem darurat.
Solusi untuk Menghentikan Deforestasi
Meskipun tantangannya besar, solusi untuk menghentikan deforestasi sudah ada di depan mata. Berikut adalah beberapa strategi yang dapat diterapkan:
1. Penegakan Hukum yang Kuat
Brasil berhasil mengurangi deforestasi skala besar di Amazon sebesar 80% pada periode 2004-2012 melalui penegakan hukum yang ketat, perluasan kawasan lindung, dan pengakuan wilayah adat. Pendekatan ini dapat direplikasi di negara-negara lain.
2. Transparansi dan Teknologi
Sistem pengawasan deforestasi menggunakan satelit telah membantu Brasil memantau aktivitas ilegal secara real-time. Alat penginderaan jauh juga digunakan di Peru untuk mendeteksi deforestasi dan meresponsnya dengan cepat.
3. Kerja Sama Internasional
Kerja sama internasional terkait penegakan hukum dapat menciptakan insentif domestik untuk mendorong perubahan di sektor kehutanan. Contohnya, Indonesia menjadi negara pertama yang menerima izin untuk mengekspor kayu legal ke Uni Eropa, memberikan akses ke pasar internasional yang menguntungkan.
4. Pemberdayaan Masyarakat Adat
Masyarakat Adat memiliki peran penting dalam perlindungan hutan. Hutan yang dikelola oleh masyarakat adat di Amazon terbukti efektif dengan tingkat deforestasi berkurang hingga 83% dibandingkan wilayah lain.
5. Pendanaan REDD+
Skema REDD+ (Penurunan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan) didukung oleh Perjanjian Paris untuk mendorong negara-negara kaya membayar negara-negara berkembang yang membatasi deforestasi.
Namun, volume pendanaan yang tersedia masih terlalu kecil dibandingkan dengan dana yang dikucurkan untuk investasi pertanian dan sektor lainnya yang membahayakan hutan.
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Bagi kita yang tinggal di kota besar, jauh dari hutan, apa yang bisa dilakukan untuk melindunginya?
1. Menanam Pohon
Mulailah dengan menanam berbagai tanaman atau pohon di sekitar lingkungan Anda untuk mengurangi polusi dan menciptakan udara segar.
2. Mendukung Gerakan Konservasi
Bergabunglah dalam kegiatan seperti TuaiTumbuhBersama dan menjadi PenjagaHutan bersama organisasi seperti Greenpeace untuk menghentikan perusahaan perusak hutan, menuntut pertanggungjawaban mereka, dan mendorong pemerintah memenuhi komitmennya melindungi hutan dan gambut yang tersisa.
3. Meningkatkan Kesadaran
Edukasi masyarakat tentang pentingnya hutan dan dampak deforestasi terhadap krisis iklim sangat penting untuk membangun dukungan kolektif.
4. Menggunakan Produk Berkelanjutan
Konsumen dapat memilih produk yang bersertifikat ramah lingkungan, seperti minyak kelapa sawit bersertifikat RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil), untuk mengurangi tekanan terhadap hutan.
5. Advokasi Kebijakan Publik
Dorong pemerintah untuk menerapkan kebijakan yang lebih ketat terkait perlindungan hutan, restorasi ekosistem, dan penegakan hukum terhadap ekosistem hutan.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Kota Tenggelam: Bagaimana Perubahan Iklim Mengancam Daerah Pesisir?
-
Iklim Kian Krisis, Apakah Kita Sudah Terlambat untuk Bertindak?
-
Pariwisata Indonesia Berpotensi Besar, tapi Gagal Lindungi Anak dari Ancaman Eksploitasi Seksual
-
Mengenal Net Zero Emission dan Alasan Negara Harus Segera Mencapainya
-
Hak Anak dalam Akademi Sepak Bola dan Hal-hal yang Harus Diketahui Orang Tua
Artikel Terkait
-
Iklim Kian Krisis, Apakah Kita Sudah Terlambat untuk Bertindak?
-
Mengenal Net Zero Emission dan Alasan Negara Harus Segera Mencapainya
-
8 Jalur Tengkorak di Jawa yang Sering Makan Korban, Pemudik Wajib Tahu
-
Ujung Aspal Purwakarta, Wisata Hutan Pinus dengan Suasana Sejuk Menyegarkan
-
Respons Kejagung Soal Dugaan Korupsi Lingkungan 47 Korporasi Rugikan Negara Rp 437 Triliun
Kolom
-
Ramadan Tanpa Distraksi, Waktunya Puasa dari Gadget!
-
Kota Tenggelam: Bagaimana Perubahan Iklim Mengancam Daerah Pesisir?
-
Saling Berbagi di Ramadan: Mengapa Memberi Lebih Membahagiakan?
-
Lonjakan Harga Pangan di Ramadan 2025: Siapa yang Paling Dirugikan?
-
Tak Ada Salahnya Perkenalkan KBBI pada Anak seperti Belajar Bahasa Asing
Terkini
-
Tips Menentukan Parfum Pria Sesuai Usia: Dari Segar hingga Sophisticated
-
Nada Dering Keren Bebas Virus? Ini 8 Rekomendasi Situs Download Aman!
-
Mewah! 4 Serum dengan Ekstrak Gold untuk Kulit Lebih Kenyal dan Terawat
-
Sontek 4 Outfit Ngabuburit Kece ala Jun SEVENTEEN, Bikin Tampil Beda!
-
Bongkar Rahasia Cek Akun yang Berhenti Mengikuti di Instagram via ChatGPT