Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Alfino Hatta
Ilustrasi krisis air. (unsplash.com/@yusrilalim)

Krisis air, baik akibat kekeringan maupun perubahan pola cuaca ekstrem, telah menjadi salah satu tantangan terbesar yang dihadapi oleh masyarakat global saat ini.

Di Indonesia, negara kepulauan dengan keragaman geografis yang unik, dampak krisis air semakin nyata dan memengaruhi berbagai aspek kehidupan, termasuk pendidikan anak-anak.

Di wilayah pedesaan dan pesisir yang rentan terhadap dampak perubahan iklim, anak-anak dipaksa meninggalkan sekolah untuk membantu keluarga mereka menghadapi krisis ini.

Fenomena ini tidak hanya mencerminkan ketidakadilan akses terhadap sumber daya alam, tetapi juga menunjukkan urgensi dalam mengelola sumber daya air secara adil dan berkelanjutan.

Indonesia: Kekeringan yang Mengancam Masa Depan Pendidikan

Di beberapa wilayah Indonesia, seperti Nusa Tenggara Timur (NTT), Nusa Tenggara Barat (NTB), dan sebagian Jawa Timur, kekeringan parah telah menyebabkan krisis kemanusiaan yang memprihatinkan.

Menurut laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) tahun 2023, sekitar 3,5 juta orang di wilayah tersebut menghadapi kelangkaan air bersih, dengan dampak paling buruk dirasakan oleh masyarakat pedesaan dan penggembala.

Kekeringan yang berkepanjangan tidak hanya mengancam ketahanan pangan, tetapi juga memaksa keluarga untuk membuat pilihan sulit antara bertahan hidup atau melanjutkan pendidikan anak-anak mereka.

Maria Sinta (40), seorang ibu dari tiga anak di Desa Oebobo, NTT, mengungkapkan bahwa keluarganya harus bergantung pada satu sumur bor yang sering kali kehabisan air selama musim kemarau.

"Saya ingin anak-anak saya tetap bersekolah, tapi mereka harus membantu mengambil air setiap hari. Jaraknya jauh, dan waktu mereka habis untuk itu," katanya dengan nada penuh keprihatinan.

Yohanes Kadek (12), salah satu anak Maria, terpaksa meninggalkan bangku sekolah karena tanggung jawab mengumpulkan air untuk keluarga. Setiap pagi, ia harus berjalan sejauh 5 kilometer untuk mendapatkan air bersih dari sumber yang semakin langka.

"Kalau tidak ambil air, kami tidak bisa minum atau masak. Sekolah pun jadi tidak penting lagi," ujarnya. Selain Yohanes, ribuan anak lainnya di daerah yang sama mengalami nasib serupa.

Menurut catatan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), lebih dari 80.000 siswa di wilayah NTT dan NTB terdampak kekeringan, dengan sekitar 15.000 siswa putus sekolah secara nasional pada tahun 2023. Namun, angka sebenarnya diperkirakan lebih tinggi, terutama di daerah pedesaan yang sulit dijangkau.

Aktivis lokal, Andi Rahmat, menyoroti dampak jangka panjang dari fenomena ini.

"Kita berisiko kehilangan generasi muda yang tidak memiliki akses ke pendidikan berkualitas," katanya.

"Anak-anak yang seharusnya belajar di sekolah malah menjadi pekerja rumah tangga atau penggembala ternak. Ini akan memperburuk siklus kemiskinan di masa depan."

Lebih lanjut, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melaporkan bahwa kekeringan di wilayah tersebut diperparah oleh deforestasi dan perubahan pola curah hujan akibat perubahan iklim.

Tanah yang kering dan tandus tidak mampu menyerap air hujan dengan baik, sehingga menyebabkan air cepat hilang tanpa memberikan manfaat jangka panjang bagi masyarakat.

Indonesia: Laut yang Tak Lagi Bersahabat

Sementara itu, di wilayah pesisir Indonesia, anak-anak seperti Farid (15) dan Fikri (12) menghadapi tantangan yang berbeda namun memiliki akar masalah yang sama: krisis air dan perubahan pola cuaca ekstrem.

Di Kampung Nelayan Sukaraja, Lampung, misalnya, anak-anak terpaksa meninggalkan sekolah untuk membantu keluarga mereka menghadapi kesulitan ekonomi yang disebabkan oleh perubahan pola laut.

Farid, misalnya, bekerja sebagai buruh angkut di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Gudang Lelang di Bandar Lampung. Setiap hari, ia mengangkut keranjang-keranjang ikan seberat 30-35 kg.

Upah yang ia peroleh, sekitar Rp25 ribu per hari, digunakan untuk membantu keluarganya membeli kebutuhan pokok seperti beras dan minyak goreng, serta membiayai uang jajan adiknya yang masih sekolah. Meskipun demikian, upah tersebut jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarganya.

Sementara itu, Fikri yang seharusnya duduk di bangku kelas tiga SD kini bekerja sebagai nelayan payang di Kampung Nelayan Sukaraja. Setiap pagi, ia mengarungi laut bersama para nelayan dewasa.

"Makan saja susah, makanya saya berhenti sekolah. Cari uang saja di laut," ungkapnya.

Dengan upah harian sekitar Rp30-40 ribu, Fikri membantu keluarganya memenuhi kebutuhan dasar. Namun, pekerjaan ini tidak hanya menguras tenaga fisik, tetapi juga menempatkannya dalam risiko kecelakaan di laut yang dapat berakibat fatal.

Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Lampung tahun 2023, sekitar 15.965 pelajar di provinsi tersebut putus sekolah antara Januari dan Juni 2023.

Anak-anak di kawasan pesisir menyumbang angka yang signifikan, dengan banyak di antaranya terpaksa bekerja di sektor perikanan untuk membantu keluarga mereka.

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melaporkan bahwa perubahan pola cuaca ekstrem, seperti badai dan gelombang laut yang tidak terprediksi, telah mempersulit aktivitas nelayan tradisional. Hal ini mengakibatkan penurunan hasil tangkapan yang drastis, sehingga keluarga nelayan semakin terjepit secara ekonomi.

Akar Masalah: Krisis Iklim dan Ketidakadilan Akses Air

Krisis air—baik kekurangan maupun perubahan pola—memiliki hubungan erat dengan perubahan iklim. Di NTT dan NTB, kekeringan berkepanjangan telah menghancurkan mata pencaharian para petani dan penggembala.

Tanaman yang gagal tumbuh dan ternak yang mati kelaparan berarti kehilangan sumber penghidupan utama bagi keluarga-keluarga ini.

Di wilayah pesisir, nelayan menghadapi tantangan berbeda namun dengan akar masalah yang sama. Sono, seorang nakhoda kapal, menjelaskan bagaimana cuaca yang semakin sulit diprediksi memengaruhi hasil tangkapan.

"Kalau dahulu paling lama 5-7 hari melaut, sekarang harus 12 hari. Jadi, operasionalnya tambah, bahan bakar pun ikut tambah," keluhnya.

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melaporkan bahwa peningkatan suhu air laut memicu kerusakan terumbu karang, yang mengakibatkan ikan-ikan mencari habitat baru.

"Ketika terumbu karang rusak, otomatis biota laut, termasuk ikan, pergi mencari lingkungan yang sesuai untuk hidup. Makanya, nelayan harus melaut lebih jauh," jelas Mohammad Ashari Dwiputra, ahli kelautan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Selain itu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menyoroti bahwa perempuan dan anak perempuan adalah kelompok yang paling terdampak ketika krisis air melanda daerah miskin dan pedesaan.

Mereka sering kali memiliki tanggung jawab utama dalam pengumpulan air di daerah miskin. Selain itu, kurangnya sanitasi yang aman merupakan salah satu faktor penyebab anak perempuan putus sekolah, karena mereka sering merasa tidak nyaman atau malu saat menstruasi tanpa fasilitas yang memadai.

Solusi untuk Masa Depan

Untuk mengatasi krisis ini, diperlukan pendekatan komprehensif yang melibatkan kerja sama lintas sektor. Beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan antara lain:

1. Peningkatan Akses Air Bersih: 

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) telah meluncurkan program penyediaan air bersih untuk daerah pedesaan dan pesisir melalui pembangunan waduk, embung, dan jaringan distribusi air bersih. Program ini bertujuan untuk memastikan bahwa masyarakat memiliki akses terhadap air bersih yang memadai.

Selain itu, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk membangun sumur bor dan sistem penampungan air hujan di daerah yang rawan kekeringan.

2. Restorasi Ekosistem dan Pengelolaan Sumber Daya Alam: 

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bekerja sama dengan organisasi internasional untuk melaksanakan program restorasi ekosistem, seperti rehabilitasi hutan mangrove dan terumbu karang.

Restorasi ini tidak hanya membantu menjaga ketersediaan air, tetapi juga melindungi garis pantai dari erosi dan banjir rob. Selain itu, program ini juga bertujuan untuk meningkatkan produktivitas perikanan di wilayah pesisir.

3. Pendidikan dan Kesadaran Publik: 

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) telah mengintegrasikan pendidikan tentang pentingnya air bersih dan sanitasi ke dalam kurikulum sekolah.

Selain itu, kampanye publik dilakukan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang cara menggunakan air secara bijak. Program ini mencakup pelatihan kepada guru, siswa, dan masyarakat umum tentang pentingnya menjaga kelestarian lingkungan.

4. Jaring Pengaman Sosial: 

Kementerian Sosial (Kemensos) menyediakan program bantuan sosial untuk keluarga miskin yang terdampak krisis air. Bantuan ini mencakup subsidi pendidikan, pangan, dan pelatihan keterampilan untuk membuka lapangan pekerjaan alternatif.

Program ini bertujuan untuk mengurangi tekanan ekonomi yang dialami oleh keluarga miskin, sehingga anak-anak mereka dapat kembali melanjutkan pendidikan.

5. Penguatan Kolaborasi Antarlembaga: 

Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) memimpin koordinasi antarlembaga untuk mengatasi tantangan krisis air di wilayah pesisir.

Melalui pendekatan holistik yang melibatkan pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga penelitian, dan masyarakat lokal, pemerintah berusaha untuk memastikan bahwa kebijakan yang diambil tidak hanya berfokus pada mitigasi jangka pendek, tetapi juga pada solusi jangka panjang yang berkelanjutan.

Krisis air bukan hanya masalah lingkungan, tetapi juga masalah sosial yang memengaruhi pendidikan, kesehatan, dan masa depan generasi muda.

Di NTT, NTB, dan wilayah pesisir Indonesia lainnya, anak-anak dipaksa meninggalkan sekolah untuk membantu keluarga mereka menghadapi krisis ini.

Tanpa solusi yang cepat dan komprehensif, kita berisiko kehilangan satu generasi penuh yang tidak memiliki akses ke pendidikan berkualitas.

Air, sebagai sumber kehidupan, harus dikelola dengan bijak dan adil agar tidak menjadi sumber konflik, melainkan sumber perdamaian dan kesejahteraan bagi semua.

Melalui upaya kolektif dari semua pemangku kepentingan, Indonesia masih memiliki kesempatan untuk mengurangi dampak krisis air dan melindungi masa depan anak-anak sebagai generasi penerus bangsa. Namun, waktu untuk bertindak adalah sekarang—sebelum kerusakan menjadi permanen.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Alfino Hatta