Belum lama ini ada kasus yang meledak di pemberitaan dan sosial media. Banyak masyarakat beradu opini menanggapi apa yang terjadi.
Salah satu kasus yang banyak mendapat sorotan publik belakangan adalah kasus pemecatan Ibu Novi sebagai vokalis band Sukatani yang sebelumnya mendapat banyak kecaman dari oknum karena mengkritik polisi dengan lagu Bayar-Bayar-Bayar disandingkan dengan kasus tersebarnya video syur Ibu Salsa yang juga seorang guru.
Tidak hanya itu, kelanjutan kasus mereka bahkan semakin mengegerkan publik. Pasalnya ada perlakuan berbeda dari dua kasus yang sedikit banyak memiliki bobot keseriusan yang berbeda ini.
Sanksi yang diterima Ibu Novi adalah pemecatan dari pihak sekolah, sedangkan Ibu Salsa dibela oleh PGRI, lolos PPPK, dan dicap masih layak sebagai seorang guru.
Perbedaan perlakuan ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai standar ganda dalam perlindungan profesi guru dan apa yang sebenarnya menjadi prioritas PGRI.
Jika ditelaah, kasus guru Salsa, yang melibatkan konten pribadi yang seharusnya menjadi urusan pribadi, justru mendapat pembelaan dari oknum PGRI. Argumen yang dikemukakan cenderung menekankan pada privasi dan hak asasi individu.
Meskipun demikian, publik tentu memiliki pandangan beragam terhadap kasus semacam ini, terutama mengingat posisi guru sebagai teladan bagi generasi muda.
Berbeda dengan kasus guru dari Sukatani. Guru ini dipecat karena menyuarakan kritik terhadap kebijakan atau kondisi tertentu melalui sebuah lagu.
Tindakan ini jelas merupakan bentuk penyampaian pendapat dan kritik, yang seharusnya dilindungi dalam konteks demokrasi dan kebebasan berpendapat. Namun, alih-alih mendapatkan pembelaan, guru tersebut justru harus kehilangan pekerjaannya.
Lantas ada banyak pertanyaan yang timbul di masyarakat. Apakah PGRI lebih memprioritaskan perlindungan terhadap citra dan reputasi individu guru, bahkan dalam kasus yang melibatkan perilaku pribadi yang kontroversial, dibandingkan dengan membela hak guru untuk menyampaikan kritik terhadap sistem atau kebijakan yang dianggap kurang tepat?
Apakah standar moral dan etika yang diterapkan PGRI berbeda tergantung pada jenis kasus yang melibatkan guru? Mengapa kasus yang melibatkan "pelanggaran pribadi" justru dibela, sementara kritik yang disampaikan melalui jalur seni justru berujung pada pemecatan?
Apakah PGRI konsisten dalam memperjuangkan kebebasan berpendapat bagi anggotanya? Kasus guru Sukatani menunjukkan bahwa kritik yang disampaikan dengan cara tertentu justru bisa berakibat fatal, bertentangan dengan semangat kebebasan berpendapat yang seharusnya dijunjung tinggi?
Apakah perlakuan yang berbeda ini mencerminkan keadilan dan kesetaraan bagi semua anggota profesi guru? Apakah ada indikasi bahwa faktor lain, selain prinsip profesionalisme dan perlindungan, turut mempengaruhi sikap PGRI dalam menanggapi kasus-kasus ini?
"Sukatani kan mengkritik pemerintah, kalau yang satunya kan disukai pemerintah," ujar salah satu pengguna media sosial yang membahas masalah ini.
"Kalau punya malu mah ngundurin diri."
"Sila kelima Pancasila nggak guna kalau gini."
"Bingung melihat pendidikan di Indonesia sekarang. Lantas, gimana nasib rakyat Indonesia dengan tenaga pendidik yang seperti sekarang ini. Yang baik dipandang buruk, yang buruk malah dipandang baik. Keadilan susah banget didapat."
Perbedaan perlakuan ini tidak hanya merugikan guru yang dipecat karena menyuarakan kritik, tetapi juga dapat merusak kredibilitas PGRI sebagai organisasi yang seharusnya menjadi pelindung dan pembela seluruh guru tanpa pandang bulu.
Jika PGRI tidak mampu memberikan perlindungan yang setara bagi anggotanya, terutama dalam hal kebebasan berpendapat, maka peran dan fungsi organisasi ini perlu dipertanyakan kembali.
Sebagai masyarakat, kita perlu mendorong PGRI untuk lebih konsisten dalam memperjuangkan hak dan kepentingan seluruh guru, tanpa adanya standar ganda.
Kebebasan berpendapat dan hak untuk menyampaikan kritik adalah fondasi penting dalam membangun masyarakat yang demokratis dan berkeadilan.
PGRI seharusnya menjadi garda terdepan dalam melindungi hak-hak tersebut bagi seluruh anggotanya, bukan hanya bagi mereka yang terlibat dalam kasus yang dianggap lebih "sensitif" atau memiliki dampak citra yang lebih besar.
Sudah saatnya PGRI merefleksikan kembali prinsip-prinsip yang mereka pegang dan memastikan bahwa setiap guru mendapatkan perlakuan yang adil dan setara, serta hak untuk menyampaikan pendapatnya dilindungi tanpa adanya rasa takut akan pemecatan.
Hanya dengan demikian, PGRI dapat benar-benar menjadi organisasi yang kredibel dan mampu memperjuangkan kepentingan seluruh guru di Indonesia.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Pertambangan Nikel di Raja Ampat: Kronologi dan Bayangan Jangka Panjang
-
Menilik Program, Konten, dan Viralitas: Semakin Viral, Semakin Tak Bermoral
-
Kreatif! PPG Unila Latih Anak Panti Ar-Ra'uf Syahira Buat Lilin Aromaterapi
-
Menyoroti Perdebatan Urgensi Acara Wisuda TK-SMA: Menggeser Prioritas?
-
PPG Bahasa Indonesia Tumbuhkan Minat Literasi dengan Pembelajaran yang Asik
Artikel Terkait
-
NeutraDC Dukung Pendidikan Anak-anak Suku Tengger Bromo Lewat Bantuan Sarana Belajar Digital
-
Guru Sekolah Rakyat Wajib Punya Empati, Tes Khusus Ini Jadi Penentu Lolos Seleksi
-
Riwayat Pendidikan Buya Yahya: Raih Gelar Sarjana Psikologi, Dosen Rebutan Cium Tangan saat Wisuda
-
Seleksi Murid dan Rekrutmen Guru untuk Sekolah Rakyat Dimulai 1 April, Minat? Begini Syaratnya
-
Viral Bu Guru Salsa Ngaku Lolos PPPK Meski Belum Lulus Kuliah, Emang Bisa?
Kolom
-
Epilog Sendu Semangkuk Mie Ayam dan Segelas Es Teh di Bawah Hujan
-
Generasi Urban Minimalis: Kehidupan Simpel untuk Lawan Konsumerisme
-
Bandara Husein Sastranegara Ditutup, Wisata Bandung seperti Dibunuh Pelan-Pelan
-
Pekerja Lepas di Era Gig Economy: Eksploitasi Ganjil di Balik Nama Kebebasan Moneter
-
Mahar, Peran Gender, dan Krisis Kesetaraan dalam Pernikahan
Terkini
-
Piala AFF U-23: Indonesia Turunkan para Pemain Lokal, Vietnam Kejar Sejarah di Bumi Pertiwi
-
Drama Korea Splendid Days Umumkan Jajaran Pemeran Pendukung
-
Media Belanda Soroti Karir Mees Hilgers di Klub, Sebut Performanya Stagnan!
-
FIFA Tunjuk Jakarta Jadi Pusat Bola di Asia, Indonesia Bisa Diuntungkan?
-
Review Film Angel Pol: Ada Kritik Sosial di Antara Musik Dangdut Koplo