Pembelaan dan Pemecatan Guru: Dugaan Standar Ganda Menggerogoti Pendidikan

Hayuning Ratri Hapsari | Christina Natalia Setyawati
Pembelaan dan Pemecatan Guru: Dugaan Standar Ganda Menggerogoti Pendidikan
Ilustrasi guru (Pexels/Yan Krukau)

Belum lama ini ada kasus yang meledak di pemberitaan dan sosial media. Banyak masyarakat beradu opini menanggapi apa yang terjadi.

Salah satu kasus yang banyak mendapat sorotan publik belakangan adalah kasus pemecatan Ibu Novi sebagai vokalis band Sukatani yang sebelumnya mendapat banyak kecaman dari oknum karena mengkritik polisi dengan lagu Bayar-Bayar-Bayar disandingkan dengan kasus tersebarnya video syur Ibu Salsa yang juga seorang guru

Tidak hanya itu, kelanjutan kasus mereka bahkan semakin mengegerkan publik. Pasalnya ada perlakuan berbeda dari dua kasus yang sedikit banyak memiliki bobot keseriusan yang berbeda ini.

Sanksi yang diterima Ibu Novi adalah pemecatan dari pihak sekolah, sedangkan Ibu Salsa dibela oleh PGRI, lolos PPPK, dan dicap masih layak sebagai seorang guru.

Perbedaan perlakuan ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai standar ganda dalam perlindungan profesi guru dan apa yang sebenarnya menjadi prioritas PGRI.

Jika ditelaah, kasus guru Salsa, yang melibatkan konten pribadi yang seharusnya menjadi urusan pribadi, justru mendapat pembelaan dari oknum PGRI. Argumen yang dikemukakan cenderung menekankan pada privasi dan hak asasi individu.

Meskipun demikian, publik tentu memiliki pandangan beragam terhadap kasus semacam ini, terutama mengingat posisi guru sebagai teladan bagi generasi muda.

Berbeda dengan kasus guru dari Sukatani. Guru ini dipecat karena menyuarakan kritik terhadap kebijakan atau kondisi tertentu melalui sebuah lagu.

Tindakan ini jelas merupakan bentuk penyampaian pendapat dan kritik, yang seharusnya dilindungi dalam konteks demokrasi dan kebebasan berpendapat. Namun, alih-alih mendapatkan pembelaan, guru tersebut justru harus kehilangan pekerjaannya.

Lantas ada banyak pertanyaan yang timbul di masyarakat. Apakah PGRI lebih memprioritaskan perlindungan terhadap citra dan reputasi individu guru, bahkan dalam kasus yang melibatkan perilaku pribadi yang kontroversial, dibandingkan dengan membela hak guru untuk menyampaikan kritik terhadap sistem atau kebijakan yang dianggap kurang tepat?

Apakah standar moral dan etika yang diterapkan PGRI berbeda tergantung pada jenis kasus yang melibatkan guru? Mengapa kasus yang melibatkan "pelanggaran pribadi" justru dibela, sementara kritik yang disampaikan melalui jalur seni justru berujung pada pemecatan?

Apakah PGRI konsisten dalam memperjuangkan kebebasan berpendapat bagi anggotanya? Kasus guru Sukatani menunjukkan bahwa kritik yang disampaikan dengan cara tertentu justru bisa berakibat fatal, bertentangan dengan semangat kebebasan berpendapat yang seharusnya dijunjung tinggi?

Apakah perlakuan yang berbeda ini mencerminkan keadilan dan kesetaraan bagi semua anggota profesi guru? Apakah ada indikasi bahwa faktor lain, selain prinsip profesionalisme dan perlindungan, turut mempengaruhi sikap PGRI dalam menanggapi kasus-kasus ini?

"Sukatani kan mengkritik pemerintah, kalau yang satunya kan disukai pemerintah," ujar salah satu pengguna media sosial yang membahas masalah ini.

"Kalau punya malu mah ngundurin diri."

"Sila kelima Pancasila nggak guna kalau gini."

"Bingung melihat pendidikan di Indonesia sekarang. Lantas, gimana nasib rakyat Indonesia dengan tenaga pendidik yang seperti sekarang ini. Yang baik dipandang buruk, yang buruk malah dipandang baik. Keadilan susah banget didapat."

Perbedaan perlakuan ini tidak hanya merugikan guru yang dipecat karena menyuarakan kritik, tetapi juga dapat merusak kredibilitas PGRI sebagai organisasi yang seharusnya menjadi pelindung dan pembela seluruh guru tanpa pandang bulu.

Jika PGRI tidak mampu memberikan perlindungan yang setara bagi anggotanya, terutama dalam hal kebebasan berpendapat, maka peran dan fungsi organisasi ini perlu dipertanyakan kembali.

Sebagai masyarakat, kita perlu mendorong PGRI untuk lebih konsisten dalam memperjuangkan hak dan kepentingan seluruh guru, tanpa adanya standar ganda.

Kebebasan berpendapat dan hak untuk menyampaikan kritik adalah fondasi penting dalam membangun masyarakat yang demokratis dan berkeadilan.

PGRI seharusnya menjadi garda terdepan dalam melindungi hak-hak tersebut bagi seluruh anggotanya, bukan hanya bagi mereka yang terlibat dalam kasus yang dianggap lebih "sensitif" atau memiliki dampak citra yang lebih besar.

Sudah saatnya PGRI merefleksikan kembali prinsip-prinsip yang mereka pegang dan memastikan bahwa setiap guru mendapatkan perlakuan yang adil dan setara, serta hak untuk menyampaikan pendapatnya dilindungi tanpa adanya rasa takut akan pemecatan.

Hanya dengan demikian, PGRI dapat benar-benar menjadi organisasi yang kredibel dan mampu memperjuangkan kepentingan seluruh guru di Indonesia.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak