Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | inaya khoir
Ilustrasi Berburu Baju Lebaran (Pexels.com/PNW Production)

Ramadhan hampir usai dan ldulftri tinggal menghitung hari. Pusat perbelanjaan kian ramai dikunjungi orang-orang berburu baju Lebaran. Pengiriman barang dari marketplace overload karena pesanan yang membludak. Tren baju Lebaran 2025 terlihat makin beragam dengan banyaknya pilihan desain, warna, dan bahan yang lebih modern serta nyaman. Perpaduan antara busana tradisional seperti gamis, baju kurung, tunik, dan kebaya dengan elemen-elemen kontemporer seperti motif etnik, brokat, ataupun desain minimalis cukup menjadi pilihan banyak orang di Lebaran 2025 ini.

Lebaran dan baju baru, sejak lama telah menjadi satu kesatuan yang sulit untuk dipisahkan. Dalam beberapa tahun terkahir, tren baju Lebaran makin beragam dan menarik, didorong oleh keinginan masyarakat untuk tampil maksimal di hari kemenangan. Fenomena ini menjadi tanda bahwa konsumerisme telah menjadi bagian tak terpisahkan dari tradisi menyambut Lebaran. Bukan lagi sekadar memenuhi kebutuhan, membeli baju Lebaran menjelma status  dan prestise seseorang yang dipicu oleh tren yang bergulir cepat di media sosial. Bagi sebagian kecil masyarakat, euforia berburu baju Lebaran bahkan mampu mengalahkan esensi spiritual Idulfitri itu sendiri.

Konsumerisme merupakan budaya yang menempatkan dan mengutamakan konsumsi barang ataupun jasa sebagai simbol status sosial dan kebahagiaan. Dalam konteks tren baju Lebaran 2025, konsumerisme tercermin dalam pola belanja yang seringkali bukan dipicu atas dasar kebutuhan, melainkan oleh tekanan sosial dari berbagai pihak. Media sosial memainkan peran signifikan dalam membentuk tren dan menciptakan Fear of Missing Out (FOMO) yang mendorong seseorang untuk membeli baju Lebaran yang sedang viral meskipun tidak sesuai dengan kebutuhan. Akibatnya, esensi kesederhanaan dan kebersamaan yang seharusnya menjadi inti perayaan Idulfitri seringkali terdistraksi oleh keinginan untuk memenuhi standar konsumsi yang terus meningkat, salah satunya adalah melalui tren baju lebaran.

Maraknya platform belanja daring yang menawarkan berbagai promo dan layanan pengiriman yang cepat, membuat konsumerisme masyarakat menjelang Lebaran seperti tanpa penghalang. Kita dengan mudah dapat membeli baju Lebaran hanya dengan beberapa kali "klik" tanpa harus pergi keluar rumah. Hal ini tentu saja makin memunculkan perasaan urgensi dan ketergantungan pada tren yang cepat berubah yang juga menciptakan pola konsumsi yang tidak sehat. Situasi ini juga didukung dengan taktik pemasaran para produsen dan ritailer baju Lebaran yang dengan agresif menggaet para influencer untuk mempromosikan baju Lebaran yang mereka jual. Hal ini tentu saja makin meyakinkan para konsumen untuk segera membeli baju Lebaran agar bisa memiliki baju Lebaran sama dengan influencer idola mereka.

Konsumerisme dalam tren baju Lebaran 2025 telah menjelma menjadi sebuah fenomena yang membentuk perilaku masyarakat dalam menyambut hari kemenangan. Bukan lagi sebagai sebuah simbol kebersihan dan semangat baru, membeli baju Lebaran telah bergeser menjadi ajang untuk menunjukkan status sosial di mana seseorang akan merasa harus memiliki baju Lebaran terbaru, termahal, dan sesuai dengan tren agar dianggap berhasil atau dihormati oleh orang lain. Pergeseran makna ini menunjukkan adanya perubahan nilai dalam masyarakat. Kebahagiaan seringkali dikaitkan dengan kepemilikan materi, termasuk dalam hal berpakaian. Nilai-nilai spiritual dan kebersamaan yang seharusnya menjadi inti dari perayaan Idulfitri seolah terpinggirkan dengan obsesi terhadap kepemilikan baju Lebaran paling baru.

Dengan berlarut-larutnya tren baju Lebaran tiap tahunnya, penting untuk merenungi kembali sejauh mana konsumerisme telah berpengaruh terhadap perayaan Idulfitri. Konsumerisme perlahan telah mengikis esensi perayaan Idulfitri dan menggantikannya dengan persaingan untuk tampil paling stunning dengan baju Lebaran baru. Oleh karena itu, penting untuk mengkritisi fenomena konsumerisme berkedok memeriahkan perayaan Idulfitri dengan mengembalikan esensi Idulfitri yang penuh dengan nailai-nilai spiritual, kesederhanaan, dan kebersamaan.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.

inaya khoir