Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Suhendrik Nur
Ilustrasi Pria (Pexels/Lalesh)

Ada satu momen dalam hidup ketika kita merenung sambil menyeruput kopi hitam pahit, menatap hujan yang turun dengan elegannya, dan bertanya: Ini semua buat apa, sih? Hidup terasa seperti skrip film yang ditulis asal-asalan, tetapi anehnya kita tetap harus memainkannya dengan serius. Inilah absurditas hidup_ketika segala sesuatu terasa tidak masuk akal, tetapi kita tetap harus berjalan terus.

Hidup Itu seperti Menonton Film Tanpa Subtitle

Pernah menonton film asing tanpa subtitle? Kita bisa menangkap sedikit-sedikit dari ekspresi pemainnya, mungkin sesekali menebak-nebak dari nada bicaranya, tetapi ujung-ujungnya kita tetap tidak paham. Begitu juga hidup, kita lahir, tumbuh, jatuh cinta, patah hati, bekerja keras, lalu akhirnya berpulang tanpa benar-benar tahu makna besar di balik semua ini. Kita hanya bisa menebak-nebak arti keberadaan kita di dunia, tetapi apakah tebakan kita benar? Entahlah.

Mungkin Tuhan di atas sana sedang tertawa kecil melihat kita sibuk mencari makna dalam setiap kejadian. Kita sibuk membaca tanda-tanda semesta, tetapi akhirnya menyadari bahwa semesta ini ternyata tidak begitu peduli. Alam tetap berjalan sesuai aturannya, tanpa memedulikan apakah kita sedang bahagia, putus asa, atau hanya ingin rebahan seharian.

Kita Semua Badut di Sirkus Semesta

Absurdnya hidup bukan berarti segalanya sia-sia, justru di sinilah letak keindahannya. Kita ini seperti badut di sirkus semesta, yang harus tetap tampil meskipun kadang merasa tidak lucu. Kita tertawa, menangis, berpura-pura paham instruksi hidup yang sering kali tidak masuk akal. Lucunya, semua orang juga sama clueless-nya, hanya saja beberapa lebih pandai menyembunyikannya.

Misalnya, seseorang terlihat sukses dengan pekerjaannya yang bergaji tinggi, tetapi diam-diam dia iri pada kehidupan sederhana temannya yang bebas dari tekanan kantor. Sementara temannya yang hidup santai malah ingin memiliki gaji besar agar bisa membeli rumah. Akhirnya, kita semua menjalani hidup dengan perasaan ingin menjadi orang lain, padahal orang lain pun belum tentu bahagia dengan hidupnya sendiri.

Mencari Makna? Temukan Sendiri!

Albert Camus, bapak filsafat absurdisme, pernah bilang bahwa hidup ini tidak punya makna bawaan, tetapi kita bisa menciptakan makna sendiri. Mau hidup untuk mengejar karier? Silakan. Mau hidup untuk menikmati kopi tiap pagi sambil merenungkan arti keberadaan semut di meja? Boleh juga. Yang jelas, tidak ada satu aturan mutlak tentang bagaimana cara hidup yang benar, jadi lebih baik kita jalani saja dengan gaya masing-masing.

Makna hidup itu ibarat tugas kelompok di sekolah_tidak ada yang benar-benar mengerjakannya dengan serius, tetapi pada akhirnya semua tetap lulus. Kita bisa memilih untuk menghabiskan waktu dengan mencari jawaban atas segala pertanyaan filosofis, atau cukup menikmati perjalanan dengan sedikit canda tawa.

Menertawakan Absurdnya Hidup

Kadang kita harus mundur sejenak dan menertawakan semua absurditas yang terjadi. Seperti ketika kita sudah berusaha keras, tetapi ujung-ujungnya tetap gagal. Atau ketika kita sibuk memikirkan omongan orang, padahal orang itu juga sebenarnya tidak peduli-peduli amat. Atau ketika kita mengejar sesuatu bertahun-tahun, lalu setelah mendapatkannya, kita malah bingung: Ini doang?

Pikirkan saja betapa absurdnya kehidupan sehari-hari. Kita bangun pagi, bergegas ke kantor, menghadapi kemacetan, bekerja seharian, pulang dengan kelelahan, lalu mengulanginya lagi keesokan harinya. Untuk apa? Supaya bisa menikmati akhir pekan yang hanya dua hari? Lucu, bukan? Kita mengorbankan lima hari demi dua hari. Ini seperti membeli satu porsi nasi goreng hanya untuk mendapatkan dua sendok gratis.

Berdamai dengan Absurditas

Daripada terlalu serius memikirkan hidup, mungkin kita bisa lebih santai dan menikmatinya. Berdamai dengan absurditas berarti menerima bahwa tidak semua hal harus masuk akal. Hidup itu bukan ujian matematika yang harus punya jawaban pasti. Kadang, kita hanya perlu mengalir bersama waktu dan menikmati apa yang ada.

Cobalah lebih sering tertawa. Tertawakan diri sendiri saat melakukan kesalahan konyol. Tertawakan betapa ribetnya birokrasi yang tidak masuk akal. Tertawakan ekspektasi masyarakat yang sering kali bertolak belakang dengan kenyataan. Kita tidak harus selalu menjadi orang yang serius, karena toh, pada akhirnya, tidak ada yang benar-benar tahu apa yang sedang terjadi dalam hidup ini.

Plot Twist: Mungkin Ini Semua Hanya Simulasi

Dan di akhir semua renungan ini, mari kita hadirkan satu plot twist yang bisa membuat kita makin tersenyum kecut: bagaimana kalau hidup yang absurd ini ternyata hanya simulasi? Ya, semacam permainan canggih buatan makhluk superpintar yang sedang bosan di dimensi lain. Mungkin setiap keputusan kita hanyalah kode. Setiap momen sedih, lucu, atau membingungkan hanyalah hasil dari eksperimen algoritma.

Tiba-tiba semua mulai masuk akal_kenapa kadang kita merasa seperti "karakter tambahan" dalam hidup orang lain, atau mengapa hidup terasa seperti déjà vu yang berulang-ulang. Bisa jadi, kita ini hanya bagian dari level permainan, dan saat kita benar-benar merasa paham tentang hidup... eh, gamenya di-reset.

Tapi, ya sudahlah. Bahkan kalau hidup ini cuma simulasi pun, selama kita masih bisa menyeruput kopi panas, menikmati hujan, dan tertawa bodoh bersama absurditas sehari-hari, bukankah itu juga sebuah bentuk kemenangan?

Cheers untuk kehidupan yang absurd ini_baik yang nyata maupun hanya virtual!

Suhendrik Nur