Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Yayang Nanda Budiman
Ki Hadjar Dewantara dan istri. (Dewantara Magazine)

Kala kita mengamati apa yang terjadi di belakang, menyaksikan tapak jejak sejarah bangsa Indonesia, nama Ki Hadjar Dewantara terukir sebagai salah satu simbol dari perjuangan yang paling mendasar.

Tak hanya berjuang untuk kemerdekaan yang bersifat deklaratif dan eksistensial, bahkan lebih jauh dari itu: ialah kemerdekaan intelektual dan politik sebagai bangsa yang berdaulat dan berkarakter. 

Dalam peta pendidikan dan politik bangsa Indonesia, Ki Hadjar Dewantara tak ubahnya jarum kompas yang harus terus menuntun kita untuk menavigasi setiap tantangan dan dinamika yang dihadapi bangsa ini ke depan.

Namun, menapaki jalan terjal yang telah ditempuh olehnya bukanlah sebatas mengglorifikasi dan terlelap dalam romantisme masa lalu. 

Sebaliknya, ini adalah usaha untuk menerjemahkan kembali alam pikir Ki Hadjar Dewantara dalam konteks dunia yang terus bertransformasi, di mana pendidikan dan politik kerapkali teralienasi, bahkan tersegregasi.

Dari Ki Hadjar Dewantara semestinya kita belajar bahwa baik pendidikan maupun politik adalah dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan jika hendak membangun sebuah bangsa yang berkeadaban.

Melompat jauh ke belakang, keinginan Ki Hadjar untuk andil dalam dunia pendidikan bukanlah impian yang datang secara instan, melainkan melalui proses panjang, berliku bahkan curam.

Serupa yang diketahui khalayak, pergerakan Ki Hadjar dalam bidang politik dan jurnalistik mempunyai andil penting kala itu. Bersama dengan Douwes Dekker, ia aktif menulis di surat kabar De Express Bandung dan bahkan mendirikan organisasi bernama Indische Partij bersama Cipto Mangunkusumo dan Douwes Dekker. 

Seperti halnya banyak tokoh yang berjuang untuk kemerdekaan Indonesia, yang tak pernah ragu menghadapi badai risiko dari sikap politik mereka, tembok dingin dan teralis besi penjara menjadi bagian dari hidup Ki Hadjar Dewantara yang tak terpisahkan.

Bukan tanpa sebab, hal ini terjadi karena sikap, pendapat, dan tindakannya yang sering kali dirasa mengganggu kekuasaan Hindia Belanda kala itu. 

Sebagai seorang aktivis anti-kolonialisme, Ki Hadjar Dewantara memperlihatkan ketajaman berpikir, keteguhan dalam sikap dan keberanian yang luar biasa dalam melawan dominasi penjajah melalui pena, kertas dan tulisan-tulisannya.

Salah satu karya monumental dan kontroversinya yang menyebabkan ia ditangkap adalah buletin bertajuk “Als ik eens Nederlander was,” yang berarti “Jika Aku Seorang Belanda”.

Dalam tulisannya itu, beliau dengan tajam mengkritik kekejaman penjajah yang memungut biaya dari rakyat pribumi untuk merayakan 100 tahun kemerdekaan Belanda dari penjajahan Perancis. Puncaknya, ini memantik kemarahan luar biasa dari pemerintah kolonial, yang akhirnya mengakibatkan Ki Hadjar diasingkan ke Belanda. 

Merawat Peran Taman Siswa, Melawan Pemisahan Politik dan Pendidikan

Pada 3 Juli 1922, Ki Hadjar Dewantara mendirikan Taman Siswa, sebuah lembaga pendidikan yang mempopulerkan tiga prinsip dasar yang dikenal sebagai semboyan Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, dan Tut Wuri Handayani.

Selain itu, beliau juga mencetuskan lima asas pendidikan yang dikenal hingga saat ini dengan nama Panca Dharma yang terdiri dari asas kodrat alam, kemerdekaan, kebudayaan, kebangsaan, dan kemanusiaan. 

Dominasi unsur pendidikan dan kebudayaan yang dipisahkan dengan tegas dari aspek politik dalam ingatan kolektif bangsa terhadap Ki Hadjar Dewantara diyakini sebagian pihak sebagai salah satu alasan mengapa aktivitas politiknya tidak menjadi tema yang tak kalah penting dari narasi sejarah bangsa Indonesia. 

Menyikapi adanya pemisahan antara politik dan pendidikan yang terjadi kala itu, dapat diasumsikan bahwa Ki Hadjar Dewantara memahami politik, pendidikan, dan kebudayaan yang diberlakukan oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai bentuk disparitas dalam pendistribusian sumber daya dan kekuasaan, di mana penduduk bumiputra selalu dieksekusi dan ditempatkan sebagai kelompok termarjinalkan.

Oleh karena itu, dalam konteks kesadaran berbangsa, diperlukan tindakan untuk mendistribusikan kekuasaan dan sumber daya secara merata, agar rakyat dapat diposisikan layaknya subjek yang setara. Dalam hal ini, Ki Hadjar Dewantara memilih untuk andil terlibat dalam perubahan melalui aktivisme dalam bidang pendidikan, kebudayaan, dan intelektual. 

Narasi besar historiografi Indonesia dan memori kolektif bangsa tentang Ki Hadjar Dewantara  selama ini cenderung terbatas pada aspek pendidikan dan kebudayaan, terutama yang berhubungan dengan Taman Siswa, seolah-olah itu menjadi pemisah dari kesadaran dan kegiatan politik kebangsaannya. 

Padahal, tidak sedikit bukti yang dapat diterjemahkan bahwa Ki Hadjar Dewantara mendirikan Taman Siswa bukan hanya sebagai lembaga pengajaran dan pendidikan, tetapi juga sebagai representasi dari jati diri merdeka yang tumbuh dari kesadaran bangsa Indonesia. 

Merekam Perjuangan Ki Hadjar Dewantara dalam Lensa Bangsa Kita Saat Ini

Dari perspektif Indonesia saat ini, pemikiran dan tindakan Ki Hadjar Dewantara tak hanya dinilai relevan, tetapi juga sangat penting untuk menelusuri kembali semangat dan filosofi yang dapat membantu kita untuk keluar dari jurang keterpurukan yang sering kali terasa seperti ketidakberdayaan. 

Bagi Ki Hadjar Dewantara, keberhasilan dan pencapaian dalam politik bukanlah semata-mata untuk memerintah atau berkuasa, melainkan untuk menggapai kebebasan yang luhur dan bertanggung jawab sebagai bagian dari kebudayaan.

Keutuhan cipta, rasa, dan karsa dianggapnya sebagai “buah budi dan hasil perjuangan hidup manusia” yang senantiasa menghadirkan kebahagiaan, apapun keadaan yang dihadapi. 

Di tengah ketegangan yang sedang berlangsung saat ini, terutama pasca Pemilu 2024, semangat Ki Hadjar Dewantara untuk membangun masyarakat yang berdaulat dan merdeka secara intelektual dan politik sangat relevan.

Bagaimanapun, saat ini, kita memerlukan ekosistem pendidikan yang tak hanya berkutat pada angka atau teori nir-aplikatif, tetapi juga yang membentuk karakter bangsa.

Pendidikan yang mengajarkan pentingnya berdialog, membangun sikap kritis, penghormatan terhadap segala bentuk perbedaan, dan upaya memperjuangkan keadilan sejak dalam pikiran. 

Politik Indonesia dewasa ini memerlukan sosok pemimpin yang dapat mengambil teladan dan filosofi Ki Hadjar Dewantara. Pemimpin yang tidak selalu berkutat pada sikap pragmatis bahkan oportunis kepentingan politik jangka pendek, tetapi yang mampu memberikan teladan yang baik, menggerakan semangat kolektif, dan mendorong rakyat untuk bergerak ke arah yang lebih baik.

Demokrasi tidak hanya soal memilih pemimpin, tetapi perihal bagaimana kita semua andil dalam proses pembangunan bangsa yang adil dalam proses pembangunan bangsa. 

Ki Hadjar Dewantara mengajarkan kita satu hal yang penting: perjuangan politik yang sejati adalah perjuangan untuk membebaskan rakyat dari kebodohan, ketidakpahaman terhadap hak dan kewajiban serta ketidakmampuan mereka untuk berpikir kritis mengenai kondisi bangsa.

Maka dari itu, untuk membangun Indonesia yang lebih baik, kita perlu menelusuri kembali semangat perjuangan Ki Hadjar Dewantara dan menjadikannya landasan dalam menata ulang iklim politik yang bener-benar berpihak pada kepentingan rakyat.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Yayang Nanda Budiman