Menyadur buku digital 'Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia' karya Hardjana HP, PT Gramedia Widiasarana Indonesia disebutkan bahwa Raden Mas Suwardi Suryaningrat adalah putera Pangeran Suryaningrat dari keturunan Adipati Paku Alam III Yogyakarta, dan ibunya seorang puteri keraton keturunan Sunan Kalijaga.
Meskipun tinggal di Paku Alaman tanpa canggung Suwardi kecil yang priyayi tulen tersebut suka bermain dengan anak-anak kampung di sekitar keraton sehingga beliau bisa menyaksikan dan merasakan secara langsung tentang bagaimana suka duka kehidupan mereka di masa penjajahan.
Keberaniannya terhadap anak-anak keturunan Belanda tampak ketika beliau dan teman-temannya berkelahi dengan para sinyo yang suka mempermainkan dan merendahkan martabat pribumi. Memori tersebut akan menjadi sebuah pengalaman empatik yang sangat berharga bagi perjalanan sejarahnya kelak.
Di Stovia atau Sekolah Dokter Jawa di Batavia (Jakarta) yang diskriminatif dalam menerapkan aturan pemakaian seragam sekolah bagi pelajar pribumi, Raden Mas Suwardi Suryaningrat memiliki kesempatan untuk bergaul dengan pemuda dari berbagai daerah sehingga pikiran beliau menjadi berkembang.
Tidak tamat di sekolah tersebut beliau berpindah-pindah pekerjaan, dari pabrik gula hingga apotek meskipun akhirnya dipecat karena tidak disiplin. Penyebabnya, di saat yang sama beliau juga sibuk dengan menulis karangan untuk beberapa media penerbitan surat kabar yang salah satunya adalah De Expres Bandung.
Rupanya De Expres Bandung telah menjadi pilihan ideal baginya sehingga beliau memutuskan untuk tetap menulis di sini, di rumah kedua yang bisa menampung gagasan kritisnya dalam menyuarakan isu-isu tentang kebebasan dan kemerdekaan yang menjadi cita-cita rakyat Indonesia.
Bersama Dr. Cipto Mangunkusumo, dan blasteran Belanda-Jawa Douwes Dekker mereka bertiga mendirikan Indische Partij. Dengan semboyan 'rawe-rawe rantas malang-malang putung' segala rintangan dan peristiwa yang menyinggung harga diri bangsa Indonesia akan segera dilawan dan dibabat habis melalui aksi nyata.
Hasilnya, ketajaman ujung pena dapat melukai rezim penguasa. Terbukti dengan tersebarnya 5000 selebaran berisi kritik keras, sindiran, dan kecaman terhadap pemerintah Hindia Belanda yang terus mengalir dari tetesan tinta mereka telah sanggup membasuh luka rakyat Indonesia yang hidup sengsara di negerinya sendiri.
Pemerintah Hindia Belanda kepanasan dan memutuskan untuk segera membalas perlawanan tersebut dengan menjatuhkan sanksi setimpal. Akibatnya, mereka bertiga bersama istri Raden Mas Suwardi Suryaningrat dideportasi dari Indonesia dan harus menjalani hukuman pembuangan di negeri Belanda.
Kilas balik sejarah diawali ketika Sutartinah sang istri menyarankan agar beliau mengabdi kepada bangsa dan negara lewat jalur pendidikan saja. Saran tersebut diterima oleh Raden Mas Suwardi Suryaningrat dengan mengikuti pendidikan sekolah guru di negeri Belanda hingga lulus.
Setelah mereka berempat kembali ke Indonesia, Raden Mas Suwardi Suryaningrat mencurahkan seluruh tenaga dan pikirannya untuk pendidikan dengan mendirikan Perguruan Taman Siswa yang mengajarkan tentang ilmu pengetahuan; serta kecintaan terhadap tanah air, alam, dan budaya Indonesia.
Raden Mas Suwardi Suryaningrat menjadi seorang guru dan dipanggil dengan nama legendaris Ki Hajar Dewantara. Sejajar dengan Ki Muhammad Said, Ki Suratman, Ki Harun Alrasyid, Ki Nayoko, Ki Suprapto, dan pengajar lain dengan sebutan Ki, yang merupakan nomenklatur khusus bagi pengajar di Perguruan Taman Siswa.
Ki Hajar Dewantara adalah pengagum Maria Montessori dari Italia dan Rabindranath Tagore dari India. Maria Montessori mengatakan bahwa anak-anak dapat mendidik dirinya sendiri sesuai tuntutan lingkungan, dan seorang guru wajib mengarahkan mereka.
Rabindranath Tagore mengatakan bahwa manusia itu bebas dan merdeka sehingga jangan terikat apapun kecuali oleh alam dan zaman yang terus berkembang. Ciptakan apa saja, jangan jadi peniru atau pengikut, dan sumbangkan karya untuk kedamaian dunia.
Perguruan Taman Siswa memberikan kepercayaan kepada anak didiknya agar bisa mengembangkan segenap potensi dan bakatnya secara proaktif, berani, dan berwawasan masa depan di bawah pengasuhan para pamong belajar atau guru yang bertugas mengarahkan mereka dengan bersandar kepada ajaran:
"Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani."
Artinya seorang pemimpin atau guru memiliki tugas berat karena jika mereka berada di garda depan harus sanggup menjadi teladan yang baik, jika berada di tengah harus sanggup menjadi penggerak, dan jika berada di garis belakang harus mampu menjadi pendorong atau pengarah bagi anak-anak didiknya.
Pemerintah Hindia Belanda mulai cemas setelah mengetahui bahwa murid di Taman Siswa juga belajar tentang strategi merebut kemerdekaan sehingga mereka mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar, sebuah peraturan yang dicabut kembali setelah diprotes oleh Ki Hajar Dewantara bersama tokoh pergerakan kemerdekaan dan adanya dukungan dari rakyat.
Dua belas tahun kemudian Pemerintah Jepang membubarkan SMP Taman Siswa di Yogyakarta ketika minat dari 3000 anak-anak pribumi yang belajar di tempat ini menunjukkan peningkatan signifikan tetapi dengan terbuka mereka mengijinkan pendirian Sekolah Kejuruan sehingga aktivitas pendidikan terus berjalan.
Kiprah politik dan aktivitas pendidikan yang dijalani oleh Ki Hajar Dewantara pada masa ini semakin tampak harmonis. Ketika pemerintah Jepang membentuk Pusat Tenaga Rakyat atau Putera, beliau sedang menduduki kursi pimpinan yang posisinya setara dengan Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta, dan KH Mas Mansur.
Saat proklamasi digaungkan pada tanggal 17 Agustus 1945, Ki Hajar Dewantara diangkat menjadi Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan Republik Indonesia pertama. Bapak Pendidikan Indonesia disematkan untuk menghormati jasa beliau, dan 2 Mei tanggal kelahirannya ditetapkan sebagai Hari Pendidikan.
Pascaproklamasi Perguruan Taman Siswa terus berkembang pesat ditandai dengan berdirinya Taman Indria atau Sekolah Dasar, Taman Dewasa atau Sekolah Menengah Pertama, Taman Madya atau Sekolah Menengah Atas, dan Sarjana Wiyata untuk Perguruan Tinggi.
Selamat membaca, semoga bermanfaat
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Clue Kemandirian Finansial di Balik Terputusnya 'Galak Gampil'
-
Mengubah Imajinasi Menjadi Cuan di Buku 'Kreativitas dalam Mainan Kardus'
-
Uji Taktual Baca Al-Qur'an Braille di 'Syiar Ramadhan Distra' Malang 2025
-
'Psikologi Keluarga', Rekomendasi bagi Pewaris Karakter Sistem Sosial
-
'Psikologi Kognitif' tentang Bagaimana Ingatan Manusia Bekerja
Artikel Terkait
-
Menemukan Kembali Semangat Politik Ki Hadjar Dewantara di Era digital
-
Ki Hajar Dewantara dan Tantangan Literasi Gen Z: Sebuah Refleksi Kritis
-
Jembatan Penghubung Dunia Pendidikan dan Politik
-
Merdeka Belajar sebelum Merdeka: Politik Pendidikan ala Tamansiswa
-
Aktivisme Ki Hadjar Dewantara dalam Peta Politik dan Pendidikan Bangsa
Kolom
-
Collective Moral Injury, Ketika Negara Durhaka pada Warganya
-
Kecelakaan di Perlintasan Kereta Api Jadi Alarm Penting Taat Berlalu Lintas
-
Blaka Suta: Kejujuran dalam Daily Life dan Hukum Tabur Tuai Lintas Generasi
-
Ketika Seni Menjadi Musuh Otoritarianisme
-
Menemukan Kembali Semangat Politik Ki Hadjar Dewantara di Era digital
Terkini
-
Persebaya Surabaya Siap Tempur Lawan Persija, Paul Munster: Saatnya Sprint!
-
NCT Wish Jalankan Misi Pengakuan Cinta yang Unik di Teaser MV Lagu 'Poppop'
-
A Good Girl's Guide to Murder, Investigasi Kasus Pembunuhan oleh Siswi SMA
-
Ada BoboiBoy, Kartun-kartun Malaysia Turut Dukung Film Jumbo
-
Analisis Timnas U-17 vs Afghanistan: Garuda Muda Sempat Kehilangan Identitas Penyerangan