Beberapa waktu lalu, saat kampanye politik sedang panas-panasnya, kita semua disuguhi janji yang terdengar begitu manis: pemerintah akan membuka 19 juta lapangan kerja.
Jumlah yang fantastis—bisa membuat orang yang sedang galau soal masa depan mendadak punya harapan. Seolah-olah begitu pemerintahan baru berjalan, semua orang akan punya pekerjaan, ekonomi akan menggeliat, dan pengangguran tinggal cerita lama.
Tapi realitasnya? Alih-alih membuka peluang kerja baru, yang terjadi justru sebaliknya: lapangan kerja yang sudah ada malah berguguran satu per satu.
Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) baru-baru ini merilis data resmi yang menyebutkan bahwa selama Januari hingga Februari 2025, sebanyak 18.610 pekerja terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Angka ini dilaporkan di laman resmi Satu Data Kemnaker—dan ini hanya yang dilaporkan. Artinya, angka sebenarnya bisa lebih tinggi, mengingat tidak semua perusahaan melaporkan kasus PHK secara terbuka.
Hal yang lebih mengejutkan lagi, angka ini melonjak tajam dibanding bulan sebelumnya. Pada Januari 2025, jumlah PHK yang tercatat "baru" 3.325 orang. Tapi hanya sebulan kemudian, jumlahnya meledak—lebih dari lima kali lipat. Kalau ini bukan krisis, lalu apa?
Berdasarkan data Kemnaker, Provinsi Jawa Tengah jadi daerah yang paling terdampak. Lebih dari 57% kasus PHK berasal dari provinsi ini, dengan jumlah pekerja yang dipecat mencapai 10.677 orang. Angka yang sangat tinggi, mengingat Jawa Tengah adalah salah satu pusat produksi dan industri padat karya.
Kalau kita bandingkan dengan janji politik yang pernah dilontarkan—yakni menciptakan 19 juta lapangan kerja—situasi ini terasa sangat kontradiktif. Bagaimana bisa membuka jutaan lapangan kerja, kalau justru puluhan ribu yang sudah bekerja malah kehilangan pekerjaannya?
Lebih ironis lagi, angka 18 ribu PHK dalam dua bulan ini nyaris menyamai angka lapangan kerja baru yang bisa diciptakan oleh program-program jangka pendek pemerintah.
Jika setiap dua bulan ada puluhan ribu pekerja yang kehilangan pekerjaan, maka janji 19 juta lapangan kerja akan sulit dicapai, kecuali hanya menjadi hiasan kampanye belaka.
Membaca angka 18.610 pekerja yang di-PHK mungkin terasa biasa jika hanya dilihat sebagai statistik. Tapi di balik setiap angka itu, ada keluarga yang kehilangan sumber penghidupan. Ada anak-anak yang mungkin harus berhenti sekolah. Ada utang yang tak bisa dibayar. Ada dapur yang tak lagi mengepul. Ada tekanan mental, depresi, bahkan kehilangan rasa percaya diri.
Dan semua ini terjadi di awal tahun, saat orang masih berharap memulai lembaran baru dengan semangat baru. Tapi realitanya, yang mereka dapat adalah surat pemutusan kerja.
Gelombang PHK yang terjadi di awal tahun ini bukan cuma sekadar angka. Ini adalah alarm keras yang seharusnya membangunkan pemerintah dari tidur panjangnya. Tapi sampai hari ini, belum ada penjelasan yang benar-benar memuaskan publik.
Jadi, wajar jika publik mulai bertanya—dengan nada curiga: Katanya mau buka 19 juta lapangan kerja, tapi kenapa yang ada justru malah hilang satu per satu?
Pertanyaan ini bukan sekadar kritik. Ini jeritan publik yang merasa dibohongi oleh janji-janji manis yang tidak pernah benar-benar ditepati.
Kalau pemerintah serius ingin membuka lapangan kerja, mestinya langkah pertama adalah menjaga agar pekerjaan yang sudah ada tidak hilang. Mencegah PHK massal lebih penting ketimbang membangun narasi palsu soal penambahan pekerjaan baru.
Rakyat sudah lelah dengan janji. Mereka butuh solusi, bukan retorika. Jika memang benar akan dibuka 19 juta lapangan kerja, tunjukkan sekarang. Mulai dari menyelamatkan mereka yang hampir kehilangan pekerjaan.
Karena untuk para pekerja yang kehilangan penghasilan, janji 19 juta lapangan kerja bukan lagi terdengar seperti harapan—tapi seperti lelucon pahit yang tak lucu sama sekali.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Dari Diary Rahasia ke Journaling Aesthetic: Evolusi Curhat Manusia
-
Standar Tinggi, Upah Minim: Benarkah Rakyat yang Tidak Kompeten?
-
Beras Oplosan Rp100 Triliun: Bukti Kegagalan Sistem Pangan Nasional
-
RJ untuk Penghinaan Presiden: Solusi Cerdas atau Bungkam Berkedok Damai?
-
Polisi Jadi Pahlawan Buruh? Kontroversi Penghargaan ITUC untuk Kapolri
Artikel Terkait
-
Drama Good Cop, Bad Cop dalam Politik: Presiden Pahlawan dan Pejabat Tumbal
-
Ungkap Pusat Investasi Telah Bergeser ke Luar Jakarta, Begini Kata Analis
-
Prabowo Bakal Hapus Kuota Impor, Ekonom Ingatkan Dampak yang Menakutkan
-
Trump Bikin Panas! Prabowo Siapkan Satgas Antisipasi Gelombang PHK di Indonesia
-
Pabrikan Otomotif Mulai Lakukan PHK Massal Dampak Kebijakan Tarif Impor Amerika
Kolom
-
Fenomena Fatherless: Krisis yang Mengintai Anak-Anak Indonesia, Dimulai dari Gerbang Sekolah
-
FOMO Tren Olahraga Gen Z: Sehat Beneran atau Sekadar Gaya di Media Sosial?
-
Swipe, Checkout, Nyesel: Budaya Konsumtif dan Minimnya Literasi Keuangan
-
Pacu Jalur Viral, Warisan Budaya Kita Terancam Dicuri?
-
Membaca Buku Jadi Syarat Lulus: Langkah Maju, Asal Tak Hanya Formalitas
Terkini
-
Severance Kantongi 27 Nominasi, Jadi Terbanyak di Emmy Awards 2025
-
4 Sheet Mask Murah Meriah untuk Mencerahkan Wajah, Harga di Bawah Rp4 Ribu!
-
Susul NMIXX hingga KiiiKiii, The Fact Music Awards Umumkan Line Up Kedua
-
Telat Gabung, Septian David Maulana Optimis Cepat Adaptasi di Malut United
-
Review Film Sorry, Baby: Kisah Trauma yang Dibungkus dengan Apik!