Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Ahmad Miftahul Farohi
Museum Dewantara Kirti Griya (kebudayaan.jogjakota.go.id)

Ketika mendengar nama Ki Hadjar Dewantara, pikiran kita langsung tertuju pada sosok pejuang pendidikan yang meninggalkan warisan pemikiran luar biasa. Namun, tidak banyak yang benar-benar memahami bahwa perjuangan beliau tidak hanya di ranah pendidikan, tapi juga di wilayah politik kebangsaan.

Ki Hadjar adalah seorang intelektual sekaligus aktivis politik yang menyadari bahwa pendidikan dan politik tidak bisa dipisahkan jika ingin membangun bangsa yang merdeka seutuhnya.

Kini, lebih dari satu abad sejak ia menyuarakan kritik terhadap penjajahan Belanda, kita perlu merefleksikan kembali relevansi perjuangan politik Ki Hadjar dalam kacamata Indonesia masa kini—khususnya dalam konteks pendidikan nasional yang sedang berubah cepat.

Dua Sisi dari Koin yang Sama

Ki Hadjar Dewantara menyadari sejak awal bahwa pendidikan adalah alat politik paling dahsyat untuk membebaskan bangsa dari kebodohan dan penjajahan.

Ia pernah menulis kritik tajam berjudul Als Ik een Nederlander Was (Seandainya Aku Seorang Belanda), yang mengguncang pemerintah kolonial karena dinilai terlalu berani dan politis. Akibatnya, ia diasingkan ke Belanda.

Namun justru dari pengasingan itu, semangat nasionalismenya tumbuh makin kuat, dan ia semakin yakin bahwa perjuangan lewat pendidikan tak bisa dilepaskan dari perjuangan politik.

Dengan mendirikan Taman Siswa pada tahun 1922, Ki Hadjar tidak hanya menciptakan sekolah, tapi membangun pondasi gerakan pendidikan yang merdeka dan membebaskan.

Bagi beliau, pendidikan bukan semata soal baca tulis atau nilai akademik, melainkan sebuah proses penyadaran rakyat terhadap hak-haknya sebagai manusia dan warga negara. Pendidikan harus mencetak manusia yang berpikir kritis, mandiri, dan punya kesadaran sosial serta politik.

Sudahkah Kita Merdeka dalam Pendidikan?

Kalau kita tarik ke situasi Indonesia hari ini, semangat politik pendidikan ala Ki Hadjar justru makin penting untuk digemakan. Meski Indonesia sudah merdeka secara administratif dan formal, sistem pendidikan kita belum sepenuhnya merdeka dalam arti yang dimaksud Ki Hadjar.

Akses pendidikan masih timpang, kualitasnya belum merata, dan pendekatan pembelajaran kerap kali mekanistis dan terpusat pada hasil, bukan proses atau makna.

Di era digital dan globalisasi ini, pendidikan justru makin diarahkan ke pasar. Anak-anak didorong untuk jadi “mesin nilai”, bukan manusia merdeka yang berpikir kritis dan peka terhadap lingkungan sosialnya.

Sekolah-sekolah elite tumbuh pesat di perkotaan, sementara anak-anak di pelosok harus berjalan berkilo-kilo demi mengenyam pendidikan dasar. Kesenjangan ini menunjukkan bahwa pendidikan masih menjadi alat reproduksi ketimpangan, bukan alat pembebasan seperti yang diperjuangkan Ki Hadjar.

Hal yang lebih memprihatinkan, ruang-ruang kebebasan berpikir di sekolah juga semakin sempit. Diskusi kritis dianggap mengganggu ketertiban, dan siswa lebih banyak diarahkan untuk menerima, bukan mempertanyakan.

Padahal, dalam kacamata Ki Hadjar, pendidikan yang baik justru mendorong murid untuk aktif bertanya, berdialog, dan berani berbeda pendapat.

Dewantara Politika di Abad 21

Kita butuh “Dewantara Politika” versi baru—sebuah gerakan pendidikan yang tidak apatis terhadap persoalan bangsa. Guru-guru sebagai ujung tombak pendidikan harus punya kesadaran politik yang tinggi: sadar bahwa mereka bukan hanya penyampai materi, tapi pembentuk masa depan bangsa.

Mereka perlu diberdayakan, dilibatkan dalam kebijakan, dan tidak dibebani dengan administrasi yang menggerus semangat mendidik.

Kurikulum juga harus memberi ruang bagi siswa untuk mengenal hak asasi manusia, memahami demokrasi, dan peka terhadap isu-isu sosial di sekitarnya. Pendidikan tidak boleh tercerabut dari realitas kehidupan. Ia harus kembali menjadi jembatan antara pengetahuan dan keberdayaan.

Negara pun punya tanggung jawab besar dalam menciptakan kebijakan pendidikan yang adil dan berpihak pada rakyat kecil. Jangan sampai pendidikan hanya menjadi privilege bagi kalangan atas.

Semangat Ki Hadjar menuntut adanya politik pendidikan yang inklusif, adil, dan membebaskan dari segala bentuk penindasan—baik struktural maupun kultural.

Menghidupkan Kembali Api Perjuangan Ki Hadjar

Refleksi terhadap perjuangan politik Ki Hadjar Dewantara bukan sekadar nostalgia sejarah, tapi ajakan untuk bertindak. Pendidikan dan politik adalah dua hal yang harus berjalan berdampingan demi menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera.

Jika saat ini pendidikan masih membelenggu, maka kita semua—guru, siswa, orang tua, dan pembuat kebijakan—harus menjadi bagian dari perjuangan baru.

Ki Hadjar pernah berkata, “Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani”—sebuah prinsip yang bukan hanya untuk guru, tapi juga untuk pemimpin bangsa. Semangat ini harus terus hidup agar Indonesia tidak hanya merdeka secara geografis, tetapi juga merdeka dalam pikiran, jiwa, dan cita-cita.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Ahmad Miftahul Farohi

Baca Juga