Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Yayang Nanda Budiman
Ilustrasi media sosial (Pexels.com/fauxels)

Fenomena “Kabur Aja Dulu” kini menjadi diskursus hangat di Indonesia. Berdasarkan data dari Google Trends, tangar #KaburAjaDulu mulai mengalami eskalasi signifikan sejak awal Februari 2025. Banyak kaum muda berpendidikan memutuskan untuk meninggalkan tanah air dan mencari arah masa depan dan kehidupan di luar negeri.

Tagar yang tengah memuncaki trend media sosial saat ini merupakan gambaran dari rasa frustasi, kekecewaan, dan kekesalan dari berbagai pihak terhadap sistem yang dianggap tidak mampu menjaminkan harapan untuk memperoleh kehidupan yang layak di masa depan. 

Tidak sedikit para perantau asal Indonesia yang kini menetap di sejumlah negara seperti Singapura, Jepang, Amerika Serikat hingga negara daratan Eropa lainnya, memanfaatkan tagar tersebut untuk mengabadikan berbagai aktivitas mereka sehari-hari melalui unggahan konten di akun media sosial pribadinya.

Tagar yang semula diperuntukkan sebagai bentuk protes publik akibat buruknya tata kelola negara, #KaburAjaDulu telah bertransformasi menjadi platform bagi netizen untuk saling tukar-tambah informasi mengenai tips hidup di luar negeri, lowongan pekerjaan, beasiswa, biaya hidup, kursus bahasa hingga berbagi pengalaman hidup dan berkarier selama di luar negeri. 

Menelusuri Akar Fenomena #KaburAjaDulu

Di tengah gelombang informasi menghantam benak mereka, tidak sedikit anak muda yang mulai menyadari disparitas global menyangkut kualitas hidup di sejumlah negara, yang meliputi perbedaan dalam akses dan kualitas pendidikan, jaminan kesehatan, ketersediaan lapangan kerja, termasuk dinamika sosial-politik, praktik korupsi yang mengakar, penegakan hukum yang tidak adil, hingga iklim demokrasi yang kian suram. 

Sejumlah cara untuk “kabur” dan meninggalkan tanah air, yang sering direkomendasikan oleh para influencer atau konten kreator antara lain dengan mencari pekerjaan atau mendaftarkan beasiswa kuliah.

Berbagai negara yang banyak direkomendasikan sebagai tujuan “kabur” adalah Jepang, Korea Selatan, Australia, Amerika Serikat hingga Jerman. Negara-negara ini masih menjadi pilihan favorit karena menawarkan peluang kerja dan kesejahteraan yang lebih baik.

Tak hanya di Indonesia, fenomena serupa juga sempat mencuat di Amerika Serikat, terutama pada akhir tahun lalu, ketika Donald Trump memperoleh kemenangan Pilpres AS pada November 2024. 

Merujuk data yang diperoleh dari Lembaga Analisis Media Sosial Drone Emprit, #KaburAjaDulu menjadi viral usai sebuah cuitan di media sosial X memperoleh ribuan tanggapan.

Salah satu akun X, yaitu @amourXexa, mulai menyerukan tagar tersebut sebagai representatif bentuk protes terhadap kebijakan pemerintah yang dirasa merugikan masyarakat.

Tagar ini kian populer sejak 6 Februari 2025 dan memperoleh lebih dari 4 ribuan mention dari berbagai kalangan dengan persentase usia pengguna diantara 19-29 tahun, yang mencapai 50,81% dari mayoritas interaksi, diikuti 30% user di bawah 18 tahun, dan sisanya di atas 29 tahun.  

Serupa itu, sebuah lembaga riset internasional, YouGov, mempublikasikan hasil survei yang fokus mengkaji fenomena #KaburAjaDulu yang sempat viral dan menjadi perdebatan di berbagai jenis platform media sosial di Indonesia. Survei yang dilakukan pada 24-27 Februari 2025 ini merekam respons publik terhadap trend tersebut.

Hasilnya, 41% generasi Z (1996-2009) mempunyai keinginan atau sedang mempertimbangkan untuk pindah keluar negeri. Angka ini diprediksi lebih tinggi jika dikomparasikan dengan generasi lainnya seperti Milenial (1981-1996) mencapai 32%, Gen X (1965-1980) dengan 26%, dan sisanya Baby Boomers (1946-1964) memperoleh 12%. 

Dalam hasil survei tersebut, YouGov mencatat bahwa keinginan untuk pindah ke luar negeri sangat dipengaruhi oleh status pernikahan dan latar belakang profesional. Secara umum, mereka yang belum menikah lebih terbuka untuk memutuskan berpindah ke luar negeri dibandingkan mereka yang telah menikah.

Edward Hutasoit, General manager YouGov Indonesia, mengatakan bahwa keinginan masyarakat, khususnya anak muda, untuk pindah ke luar negeri tidak hanya dipengaruhi oleh kebutuhan untuk alasan pendidikan, tetapi juga oleh peluang berkarier. 

Benang Kusut Masalah di Tanah Air, Mengapa #KaburAjaDulu Menjadi Solusi? 

Fenomena yang tengah terjadi juga tak lepas kaitannya dengan kondisi sistem pendidikan Indonesia dengan biaya yang tak terjangkau, rendahnya ketersediaan lapangan kerja hingga sistem pengupahan yang dirasa masih tak manusiawi.

Penilaian ini berkembang menjadi pandangan bahwa peluang untuk memperoleh pekerjaan di dalam negeri kian sulit bahkan sempit.

Kondisi yang terjadi semakin diperkeruh setelah pemerintah mengambil kebijakan untuk mengefisiensikan anggaran, yang akhirnya menyebabkan tidak sedikit perusahaan yang bergantung pada kerja sama dengan pemerintah terpaksa harus memangkas komposisi tenaga kerja mereka. 

Fenomena #KaburAjaDulu juga tidak lepas kaitannya dari sikap pemerintah yang membangun porsi kabinet yang gemuk tanpa disertai dengan arah program yang jelas. Puncaknya, publik kian pesimis mengamati kondisi yang terjadi, terutama di kalangan generasi muda.

Alih-alih menciptakan 19 juta lapangan kerja seperti yang Prabowo-Gibran sampaikan dalam kampanyenya, pemerintah justru kontraproduktif dengan cara memperbesar porsi kabinet dengan anggaran yang tak sedikit. 

Di sisi lain, Indonesia juga masih menghadapi tantangan serius terkait dengan standar upah minimum yang dirasa semakin tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat kita saat ini.

Laporan Velocity Global 2024 mencatat bahwa Indonesia termasuk ke dalam salah satu negara dengan upah minimum terendah di dunia, yaitu sekitar Rp2,08 juta/bulan. Rendahnya standar upah minimum ini, ditambah dengan terus meningkatnya harga kebutuhan hidup, membuat keadaan masyarakat kian terjepit. 

Selain masalah standar upah yang dirasa tak lagi relevan, berdasarkan data yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2024, terdapat sekitar 7,1 juta orang yang berusia di atas 15 tahun termasuk dalam angkatan kerja dalam keadaan menganggur.

Di sisi lain, Indonesia juga tengah menghadapi gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal di sejumlah perusahaan. Dari Januari-Juni 2024, misalnya, tercatat 101.536 pekerja diterpa PHK.

Di era modern ini, memperoleh pekerjaan tampaknya lebih sulit ketimbang untuk mencari sebatang jarum di antara tumpukan jerami sekalipun.

Menurut data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) per Februari 2024, sebanyak 3,6 juta orang dari kalangan Gen Z berusia 15-24 tahun tercatat dalam kondisi menganggur.

Total pengangguran terbuka di Indonesia mencapai 7,2 juta orang, dengan Gen Z berkontribusi menyumbang data sekitar 50,29% dari keseluruhan angka pengangguran terbuka. 

Berbeda dari negara di luar Indonesia yang cenderung mengaplikasikan sistem rekrutmen kerja yang sangat terbuka dan inklusif terhadap segala jenis latar belakang pelamar kerja,  dalam konteks Indonesia, batasan usia kerja sering diterapkan di berbagai sektor baik di perusahaan swasta maupun di institusi pemerintahan.

Akibatnya, praktik diskriminasi berbasis usia (ageisme) yang terjadi dalam proses rekrutmen tenaga kerja di Indonesia telah menjadi budaya mengakar yang sulit untuk dibongkar.

Alhasil, dengan iklim ketenagakerjaan seperti ini, masyarakat yang mempunyai keahlian, keinginan untuk berkembang tapi terkendala oleh faktor usia, tak sedikit dari mereka akhirnya memutuskan untuk mengadu nasib dan meninggalkan tanah kelahiran mereka sendiri. 

Kabur Aja Dulu dan Sinyal Terjadinya Brain Drain

Selain menyangkut fenomena sosial yang tengah bergejolak di Indonesia, seruan tagar #KaburAjaDulu juga kerap dihubungkan dengan istilah “Brain Drain”, yang menggambarkan perpindahan tenaga terampil, berpendidikan tinggi dan profesional lainnya dari negara asal mereka ke negara lain.

Umumnya, mereka memutuskan negara tujuan yang menawarkan kondisi hidup dan pekerjaan yang lebih baik, gaji yang lebih manusiawi dan berkecukupan, fasilitas dan akses pendidikan yang terjangkau dan lengkap, hingga peluang pengembangan karier yang lebih luas untuk digapai.

Akibatnya, menurut hasil studi dari World Bank, kondisi brain drain dapat berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi negara asalnya sebagai akibat hilangnya sumber daya manusia yang berkualitas.

Selain itu, sebuah riset di bidang psikologi memperlihatkan bahwa migrasi ini sering kali dirangsang oleh ketidakpuasan individu terhadap keadaan politik, ekonomi atau sosial yang mereka alami di negara asalnya. 

Fenomena ini semakin nampak jelas terlihat ketika media Kompas mengungkapkan fakta bahwa sejak tahun 2023, banyak Warga Negara Indonesia (WNI) yang berada dalam usia produktif memutuskan untuk pindah ke Singapura.

Tak hanya dari kalangan pekerja, sekitar 1.000 mahasiswa berusia 23-25 tahun setiap tahunnya memutuskan untuk melepaskan status kewarganegaraannya dan berpindah menjadi Warga Negara Singapura.

Hal serupa juga tercatat oleh Direktorat Jenderal Imigrasi Kemenkumham, sejak 2019-2022, tercatat sebanyak 3.912 Warga Negara Indonesia (WNI) telah beralih status kewarganegaraan menjadi Warga Negara Singapura.

Bahkan, menurut laporan Human Flights and Brain Drain Index tahun 2024 yang dipublikasikan oleh The Global Economy, Indonesia saat ini menempati peringkat ke-88 dari 175 negara dalam hal fenomena Brain Drain ini. 

Setelah diselidiki lebih dalam, alasan utama dibalik kepindahan status kewarganegaraan mereka diantaranya tak luput dari ketersediaan kesempatan kerja yang luas, infrastruktur dan fasilitas pelayanan publik yang lebih memadai, hingga keinginan mereka untuk memperoleh pendidikan yang lebih berkualitas.

Bahkan lebih kompleks dari alasan itu, faktor lain yang berperan kuat mengapa mereka memutuskan untuk “Kabur Aja Dulu” adalah sistem pemerintahan negara lain yang dirasa lebih mengakomodasi dan menghormati hak-hak mereka sebagai manusia, warga negara maupun pekerja. 

Dampak jangka panjang, semakin banyak individu potensial yang pergi meninggalkan tanah air mereka dan menciptakan kekosongan tenaga kerja berkualitas dan di sejumlah sektor krusial.

Mengingat fenomena brain drain yang kian nyata terjadi di Indonesia, sudah saatnya pemerintah serius menangani masalah ini, bukan justru menanggapinya dengan narasi arogan seperti mencap tidak cinta tanah air, dan memaksa mereka untuk tidak kembali ke negara asalnya.

Pembenahan harus dilakukan, karena faktor politik, ekonomi, dan sosial menjadi pendorong utama mengapa “Kabur Aja Dulu” dan memutuskan hidup di luar negeri kini menjadi solusi. 

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Yayang Nanda Budiman