Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Fauzah Hs
Menteri Komunikasi dan Digital, Meutya Hafid (Instagram/@meutya_hafid)

Baru-baru ini, Menteri Komunikasi dan Digital Republik Indonesia, Meutya Hafid, mengajak masyarakat Indonesia untuk mulai beralih dari kartu SIM fisik ke teknologi e-SIM.

Dalam pernyataannya pada Sabtu, 12 April 2025, ia menyebut bahwa e-SIM adalah "solusi masa depan" yang dinilai mampu memberikan perlindungan ganda terhadap berbagai kejahatan digital seperti spam, phishing, hingga judi online.

Lebih jauh, teknologi e-SIM ini disebut akan terintegrasi dengan sistem digital dan pendaftaran biometrik, yang diklaim bisa menekan penyalahgunaan data pribadi serta menutup celah pemakaian banyak nomor dalam satu NIK untuk penipuan.

Sekilas, ajakan tersebut memang terdengar futuristik dan ambisius. Tidak salah memang jika pemerintah ingin melangkah ke arah digitalisasi yang lebih aman dan efisien. Namun pertanyaannya adalah: apakah ini benar-benar saat yang tepat untuk melakukan migrasi ke e-SIM secara masif?

Masyarakat tentu tidak menolak kemajuan teknologi. Tapi permasalahannya, Indonesia belum memiliki infrastruktur yang merata dan siap untuk menopang kebijakan tersebut.

Teknologi e-SIM sejauh ini hanya kompatibel dengan sejumlah perangkat smartphone tertentu—yang bisa dikatakan harganya tidak ramah di kantong mayoritas masyarakat. iPhone terbaru, Samsung Galaxy seri flagship, dan beberapa ponsel dari merek besar lainnya mungkin sudah mendukung e-SIM.

Namun bagaimana dengan jutaan pengguna ponsel kelas menengah dan bawah yang masih menggunakan perangkat dengan fitur standar? Teknologi secanggih apa pun tidak akan berarti jika hanya bisa dinikmati oleh sebagian kecil populasi.

Di sinilah kritik publik mulai menguat. Banyak yang merasa bahwa ajakan migrasi ke e-SIM seperti melempar langkah besar di saat kaki belum siap melangkah.

Lebih jauh, masyarakat mempertanyakan mengapa pemerintah seolah begitu bersemangat dengan wacana e-SIM, sementara masih banyak hal mendasar yang perlu dibenahi dalam ekosistem digital kita.

Salah satunya adalah sistem keamanan digital nasional yang masih banyak celahnya. Kasus-kasus kebocoran data yang melibatkan lembaga pemerintahan sendiri menjadi ironi tersendiri. Belum lagi situs-situs resmi instansi negara yang masih rentan diretas, tanpa sistem berlapis yang mumpuni untuk melindungi data jutaan warga.

Masalah lain yang tak kalah penting adalah soal akses. Hingga saat ini, jaringan internet cepat seperti 5G belum bisa dinikmati secara merata di seluruh Indonesia. Di banyak wilayah pelosok dan perbatasan, koneksi internet masih lambat, tidak stabil, dan mahal.

Belum lagi minimnya ketersediaan infrastruktur dasar seperti menara BTS, listrik stabil, dan perangkat pendukung. Maka menjadi wajar jika publik menilai migrasi ke e-SIM bukan hanya belum waktunya, tapi juga kurang tepat sasaran jika belum dibarengi pemerataan akses dan infrastruktur.

Maka dari itu, tidak sedikit masyarakat yang merasa pemerintah—dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Digital—perlu mengatur ulang skala prioritasnya.

Jika benar ingin membenahi ekosistem digital Indonesia, yang perlu dibangun lebih dulu adalah fondasinya: sistem keamanan yang kuat dan transparan, pemerataan akses internet cepat dan murah, serta edukasi digital yang menyeluruh, bukan sekadar ajakan pindah ke teknologi baru yang belum semua orang bisa nikmati.

Tidak salah memang jika e-SIM disebut sebagai teknologi masa depan. Tapi masa depan itu harus dicapai dengan kesiapan menyeluruh, bukan hanya di atas kertas. Jika tidak hati-hati, kebijakan ini justru bisa memperlebar jurang kesenjangan digital antara yang “melek teknologi” dan yang “tertinggal koneksi.”

Teknologi boleh melesat ke depan, tapi kebijakan harus tetap berpijak pada realitas. Karena itu, sebelum bicara soal e-SIM dan digitalisasi tingkat tinggi, mungkin pemerintah perlu kembali bertanya pada dirinya sendiri: apakah masyarakat sudah siap? Dan yang lebih penting: apakah pemerintah sudah benar-benar siap?

Kalau menurutmu sendiri, apa kita memang sudah siap migrasi ke e-SIM? Atau sebaiknya pemerintah bereskan PR-nya dulu?

Fauzah Hs