Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Naufal Mamduh
Ilustrasi nongkrong bersama teman (Freepik/pressfoto)

“Ada yang bilang, tongkrongan adalah tempat terbaik untuk mengeluarkan analisis sotoy, supaya bisa disaring teman dekat sebelum dibantai publik.”

Kalimat itu dilontarkan komedian Benidictus Siregar lewat akun X-nya. Di antara tumpukan konten "ndakik-ndakik" yang kadang terlalu spaneng dan sok serius di linimasa, ajakan Benidictus terasa seperti teguran hangat: nongkronglah, biar nggak jadi netizen yang kebanyakan gaya tapi kurang saringan.

Fenomena ini bukan sekadar guyonan. Survei tahunan Microsoft bertajuk Digital Civility Index (DCI) tahun 2021  menempatkan warganet Indonesia di posisi paling tidak sopan se-Asia Tenggara. Di bawah Singapura, Malaysia, bahkan Thailand. Ironisnya, skor buruk Indonesia justru disumbang mayoritas oleh kalangan dewasa, bukan remaja.

Tongkrongan vs Timeline

Di tongkrongan, kita bebas mengeluarkan opini setengah matang, lalu ditertawakan, dibantah, atau malah disetujui. Tapi di media sosial, opini yang sama bisa dipelintir, disalahpahami, lalu dibakar hidup-hidup oleh netizen lain.

Di sinilah tongkrongan berperan sebagai ruang publik ala Jurgen Habermas alias versi yang lebih santai, berasap kopi, dan penuh tawa.

Seperti kedai kopi di Eropa abad ke-18 yang digambarkan Habermas, tongkrongan kita juga bisa menjadi ruang diskusi demokratis. Bukan untuk debat kusir, tapi untuk mengasah logika, menyaring ide, dan belajar mendengar.

Sayangnya, ruang seperti ini makin ditinggalkan. Banyak yang lebih suka mencurahkan isi pikiran langsung ke media sosial, tanpa filter, tanpa dialog.

Akibatnya, media sosial berubah menjadi arena pertarungan ego, bukan tempat bertukar pikiran. Itulah mengapa netizen Indonesia makin hari makin tampak keras, kasar, dan kadang kejam.

Bahaya Hiperealitas Media Sosial 

Sosiolog Jean Baudrillard pernah menyebut, di era media, kita hidup dalam hiperealitas. Dunia digital adalah dunia yang kita ciptakan sendiri, diisi dengan tanda-tanda yang meniru kenyataan, tapi akhirnya justru menggantikannya.

Kita tidak lagi berbicara soal realita, tapi simulasi dari realita. Postingan media sosial kita bukan lagi cerminan hidup, tapi pertunjukan.

Kita jadi mudah percaya hoaks karena simulasi itu terasa lebih “nyata” daripada fakta. Kita menyebarkan kebencian karena merasa sedang melawan “musuh”, padahal hanya sedang mengutuk bayangan dari opini yang kita sendiri tidak pahami.

Hoaks dan penipuan, ujaran kebencian, serta diskriminasi menjadi risiko terbesar yang dihadapi netizen Indonesia, menurut laporan Microsoft. Bahkan hampir separuh responden mengaku pernah terlibat dalam perundungan digital.

Simulasi ini membutakan kita. Kita jadi lupa bahwa di balik akun X yang kita hina ada manusia yang mungkin sedang sedih, sedang lelah, atau bahkan sedang berusaha bertahan hidup.

Nongkrong Bukan Sekadar Ngopi

Karena itu, mari rayakan tongkrongan bukan hanya sebagai tempat ngopi dan ketawa-ketiwi. Tapi sebagai pelarian dari kepalsuan dunia maya.

Sebagai ruang publik yang jujur, yang memberi tempat bagi kita untuk salah, lalu diperbaiki. Tempat kita bisa bilang, “menurutku begini,” dan teman kita akan bilang, “ya tapi coba pikirin lagi deh,” tanpa harus memviralkan kebodohan kita ke seluruh negeri.

Tongkrongan juga bisa jadi tempat kita belajar sopan santun digital. Kalau ada teman nyebarin hoaks, langsung dilurusin. Kalau ada yang kebanyakan gaya, langsung disadarkan. Dan kalau ada yang sok tahu, tinggal diketawain bareng-bareng.

Kita mungkin tidak bisa mengubah fenomena ini dalam semalam. Tapi kita bisa mulai dari hal kecil: kurangi ngetik, perbanyak ngobrol.

Ketimbang bikin konten ndakik-ndakik yang spaneng, lebih baik nongkrong dan debat kecil sambil ngopi. Karena sebelum pendapatmu jadi bahan cemooh satu negara, biarkan dulu dia jadi bahan ketawa satu tongkrongan.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Naufal Mamduh