Perayaan Hari Kartini di Indonesia masih identik dengan perayaan visual, belum sampai pada merayakan pemikiran. Di setiap lembaga pendidikan, lembaga ekonomi, sampai dengan lembaga pemerintahan, seringkali muncul foto (visual) Kartini bersanggul, tapi bukan kata-katanya, bukan kalimat perlawanannya. Barangkali hanya media seperti majalah maupun koran yang memberikan warna lain menyuarakan kembali gagasan dan pemikiran Kartini.
Saya membayangkan seandainya Kartini dulu tak membaca dan menulis, tentu kita hanya mengenali Kartini sebagai “trindil” atau seseorang yang lincah semata. Beruntung Kartini mengenali buku tak hanya dari orangtuanya, tapi juga kakaknya Sosrokartono seorang Sarjana pertama dari tanah Jawa. Sosro Kartono mengirimi Kartini Majalah dan buku berbahasa Belanda. Tak heran, bahasa Belanda Kartini pun begitu lincah ditopang buku, disamping dilatih saat ia sekolah.
Kartini juga menulis. Dari tulisan-tulisannya dengan aneka sahabat penanya, Stella maupun Nyonya Abendanon kita mendapati pemikiran-pemikiran Kartini. Melalui buku-buku itu pula Kartini semakin membuka cakrawala pemikirannya malang melintang ke dunia luar perempuan Jawa pada waktu itu.
Pemikirannya justru melampai zamannya. Ia resah, khawatir, dan memikirkan nasib kaumnya khususnya perempuan yang identik dengan belenggu tradisi di masa itu. Tradisi Jawa yang bukan hanya menganggap perempuan sebagai sosok kedua, tetapi juga dalam menempatkan tradisi yang sering kali meminggirkan perempuan. Pingitan hanya salah satu contoh, tradisi lain seperti sopan-santun, mitos perempuan keluar rumah, sampai dengan kebiasaan seolah diatur dan tidak boleh melampaui batas.
Melalui buku-buku yang ia baca, Kartini berkelana berkelana dan mengimajinasikan Eropa. Eropa dalam bayangan Kartini di kala itu penuh dengan kemajuan, penuh dengan ketakjuban. Akan tetapi, Kartini pun harus menahan egonya saat berhadapan dengan keputusan Ayahnya. Kartini harus dinikahkan. Meski demikian, surat-suratnya kemudian menjadi representasi suara dan pemikirannya.
Kartini di masa lampau memang dipengaruhi oleh situasi politik, situasi keluarga, hingga dengan keadaan kolonialisme di masa lalu. Dengan lingkungan yang terbelakang di sekitarnya, hal ini pun mendorong Kartini meneriakkan suaranya kepada Eropa. Suaranya pun akhirnya di dengar, politik etis pun diwujudkan.
Literasi Kartini
Pemikiran dan etos literasi Kartini tidak bisa dilepaskan dari peranan keluarga Kartini yang turut mendukung kala itu. Keluarga tentu saja menjadi faktor penting dalam mengisi pikiran kaum perempuan. Ayah Kartini turut mendukung anaknya dalam berliterasi kala itu, meski belum sepenuhnya berterima saat Kartini melakukan perlawanan terhadap tradisi (perempuan) Jawa kala itu. Dukungan itu juga datang dari Kakaknya Sosro Kartono yang mendukung penuh literasi adiknya.
Emansipasi yang dibawa Kartini tentu saja bukan sekadar ekspansi perempuan keluar publik sebagaimana yang terjadi sekarang ini, tetapi yang lebih penting adalah kesetaraan perempuan memperoleh pendidikan serta mendayagunakan kemampuannya itu untuk lebih maju dalam hal literasi (tulis-menulis) sebagai wujudnya. Kartini percaya melalui surat-surat yang ditulisnya pemikirannya akan di dengar.
Di keluarga Indonesia, rata-rata kebiasaan berliterasi sering dimunculkan oleh lelaki. Ibu sendiri, seolah berhenti tugasnya dalam mengasuh dan membina tradisi literer setelah anak bisa membaca. Padahal, perempuan bisa melakukan lebih banyak kegiatan untuk mendidik serta menumbuhkembangkan tradisi literer hingga anaknya dewasa. Selain mendongeng untuk anak, ibu juga bisa memberikan pendampingan serta mengarahkan bacaan anak-anak kita. Ibu juga bisa mendokumentasikan, merawat, serta mengapresiasi anak-anak saat mereka sudah bisa menyelesaikan membaca buku dan menceritakannya.
Pemikiran Kartini dan etos literasinya layak jadi teladan buat kaum perempuan Indonesia. Banyak sastrawan perempuan kita yang menyuarakan pemikirannya melalui karya yang ia tulis. Kartini tumbuh subur pemikirannya karena membaca buku dan menulis. Warisan pemikiran Kartini dan etos literasinya perlu dijaga dan dirawat, jangan sampai Kartini justru dimitoskan sebagai perempuan bersanggul yang hanya ramai di baliho dan ucapan : “Selamat hari Kartini semata”.
Baca Juga
-
Ki Hajar Dewantara: Dari Darah Ningrat hingga Perintis Pendidikan Rakyat
-
Akses dan Keadilan Pendidikan
-
Krisis Iklim dan Alpanya Tata Kota Indonesia Masa Depan
-
Beban Administrasi vs Fokus pada Murid: Dilema Guru di Era Kurikulum Merdeka
-
7 Kebiasaan Anak Indonesia Hebat dan Penguatan Pendidikan Karakter
Artikel Terkait
-
R.A. Kartini dalam Sorotan Psikologi Humanistik
-
Hari Kartini, Perempuan Naik Transportasi Umum di Jakarta Gratis
-
Perempuan Gratis Naik Transportasi Umum di Jakarta Hari Ini, dari LRT Hingga MRT
-
30 Quote Selamat Hari Kartini untuk Caption Media Sosial, Penuh Kata-kata Inspiratif!
-
20 Pantun Hari Kartini Terbaru, Bagikan Ucapan 21 April Anti-Mainstream!
Kolom
-
Ekonomi Bukan Cuma Soal Dapur: Menggugat Narasi Populis Elitis
-
Pijar Dewantara di Era Digital: Refleksi Politik Bangsa dari Mata Gen Z
-
R.A. Kartini dalam Sorotan Psikologi Humanistik
-
Momen Emas Film Jumbo, Animasi Lokal yang Nggak Boleh Dianggap Remeh!
-
Komdigi Sosialisasikan e-SIM sebagai Langkah Preventif Kejahatan Seluler
Terkini
-
Menguak Kekuatan Dragon di One Piece, Mungkinkah Buah Iblis Dewa Hujan?
-
4 Rekomendasi Brand Kebaya Lokal untuk Tampil Stand Out di Hari Kartini
-
Belajar Hangeul Saja Tak Cukup! Kenali Pola Rangkaian Bahasa Korea
-
4 Inspirasi OOTD Cute Style ala Joy RED VELVET yang Wajib Kamu Tiru
-
4 Drama China yang Diadaptasi dari Novel Zhu Yi, Ada The First Frost