Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Rion Nofrianda
Ilustrasi karyawan sedang rapat di kantor (pexels/fauxels)

Di balik barisan rak toko yang tertata rapi, dan senyum ramah karyawan kasir yang tampak profesional, tersembunyi dunia yang jarang dilihat publik dunia penuh tekanan, dilema moral, dan pengorbanan pribadi yang tak henti-hentinya. Dunia itu adalah realitas para pekerja ritel, yang menjadi wajah depan industri konsumsi, namun sering kali diabaikan hakikat kemanusiaannya. Salah satu beban paling senyap namun menghancurkan di dunia kerja modern adalah tuntutan untuk seimbang bekerja sepenuh hati, tanpa mengorbankan keluarga. Tapi benarkah keseimbangan kerja-keluarga itu sebuah kemungkinan? Atau sekadar mitos manis yang terus dijual tanpa niat untuk diwujudkan?

Sebuah studi baru dari Jurnal Psikologi (Volume 12, Nomor 1, Maret 2025) mengangkat persoalan ini dengan sudut pandang yang menarik dan menohok. Ditulis oleh Nufaisah Andini Putri, Mohammad Nursalim Malay, dan Intan Islamia, penelitian ini menyelami interaksi kompleks antara kepribadian individu khususnya conscientiousness, tekanan beban kerja, dan peran atasan yang (seharusnya) mendukung kebutuhan keluarga bawahannya, yang dikenal sebagai Family Supportive Supervisor Behaviors (FSSB). Temuan mereka bukan hanya menambah literatur akademik, tetapi juga menyorot satu kegagalan sistemik: tempat kerja kita, khususnya di sektor ritel, kerap lupa bahwa para pekerjanya adalah manusia yang hidup dalam jaringan emosi, tanggung jawab sosial, dan kehidupan personal.

Mari kita mulai dari conscientiousness, sebuah sifat yang sering dipuja dalam dunia kerja. Dalam bahasa sehari-hari, ini berarti pekerja yang rajin, disiplin, teliti, dan bisa diandalkan. Bukankah ini impian setiap manajer? Namun ironisnya, dalam dunia kerja yang tak peduli, sifat mulia ini bisa menjadi hukuman.

Pekerja yang sangat conscientious cenderung mengambil lebih banyak tanggung jawab, rela mengorbankan waktu pribadi, dan merasa bersalah ketika gagal memenuhi target. Ketika beban kerja meningkat, mereka tidak protes mereka bekerja lebih keras. Namun seperti kata pepatah, “air yang tenang menghanyutkan” kita tak menyadari bahwa dalam diam, mereka menuju kelelahan, bahkan kehancuran emosional.

Studi ini menegaskan bahwa conscientiousness memang memiliki efek positif terhadap work-family balance tetapi hanya ketika ada dukungan dari atasan. Tanpa dukungan itu, tanggung jawab pribadi malah berubah menjadi jebakan yang membuat individu merasa gagal sebagai pekerja maupun sebagai anggota keluarga. Di sinilah perusahaan sering kali salah baca: mereka melihat karyawan yang "tahan banting", tapi tidak melihat luka yang tak tampak di permukaan.

Dalam kajian ini, beban kerja terbukti menjadi faktor destruktif yang paling konsisten dalam merusak work-family balance. Tidak mengejutkan, tetapi tetap menyakitkan. Dunia kerja modern, apalagi di sektor ritel, beroperasi seperti mesin yang terus mendorong output tanpa mempedulikan batas daya manusia.

Shift malam, kerja lembur, target yang tidak masuk akal—semua menjadi bagian dari rutinitas yang dijustifikasi atas nama efisiensi. Tapi pertanyaannya, efisiensi bagi siapa? Sementara para pekerja mengorbankan jam tidur dan makan malam bersama keluarga, pemilik saham menikmati hasilnya tanpa harus melihat mata anak yang menunggu ibunya pulang.

Penelitian ini menyajikan fakta telanjang: beban kerja merusak keseimbangan hidup, dan tak ada kompensasi psikologis yang bisa menggantikan waktu yang hilang. Yang lebih menyedihkan, FSSB bahkan tidak cukup kuat untuk memoderasi dampak beban kerja ini. Artinya, bahkan jika atasan peduli, jika sistem tetap menuntut terlalu banyak, dukungan emosional saja tidak cukup. Kita butuh restrukturisasi total dalam cara memandang dan mendesain pekerjaan.

Banyak perusahaan mempromosikan konsep supportive leadership, tetapi dalam praktiknya, supervisor sering berada di posisi sulit: mereka ditekan oleh atasan untuk mencapai target, sekaligus diminta memahami kondisi bawahan. Mereka dituntut menjadi jembatan antara humanitas dan produktivitas, tapi tanpa daya untuk memengaruhi struktur kerja yang membelenggu.

Penelitian ini menunjukkan bahwa FSSB secara signifikan memperkuat hubungan antara conscientiousness dan work-family balance. Artinya, jika atasan mampu memberikan fleksibilitas dan empati, pekerja yang bertanggung jawab akan lebih mudah menjaga keseimbangan hidup. Tapi mari kita jujur: berapa banyak atasan di industri ritel yang benar-benar punya kapasitas itu? Apakah mereka punya pelatihan? Apakah budaya organisasi memberi ruang untuk empati? Atau justru menekankan disiplin militeristik yang mematikan sisi manusiawi?

FSSB bukan hanya masalah niat baik individu. Ia adalah fungsi dari budaya perusahaan. Jika perusahaan tidak secara sistematis mendukung perilaku empatik dan fleksibel, maka supervisor pun hanya menjadi kepanjangan tangan dari sistem yang keras dan dingin. Maka tak heran jika dalam banyak kasus, FSSB hanya menjadi jargon tanpa jiwa.

Keseimbangan kerja-keluarga telah menjadi istilah populer di seminar HR dan strategi SDM. Tapi terlalu sering, konsep ini hanya menjadi pemanis kata, bukan komitmen nyata. Perusahaan bicara tentang “well-being” sembari menaikkan target harian. Mereka merayakan Hari Keluarga Nasional, tapi menolak cuti darurat saat anak karyawan sakit.

Inilah paradoks dunia kerja modern: di satu sisi memuja kinerja, di sisi lain menuntut empati. Padahal keduanya tidak akan pernah bertemu jika tidak ada reformasi struktural. Kita tidak bisa berharap pekerja mencapai work-family balance jika sistem kerja tetap dirancang untuk merampas waktu dan tenaga mereka. Kita tidak bisa meminta manusia menjadi seimbang dalam dunia kerja yang tidak adil.

Studi ini, meskipun berbasis pada data 317 karyawan ritel di Lampung, memiliki implikasi yang jauh lebih luas. Ia menunjukkan bahwa solusi keseimbangan bukan semata di tangan individu. Bukan hanya tentang “mengatur waktu lebih baik” atau “belajar manajemen stres” retorika individualistik seperti itu hanya mengalihkan tanggung jawab dari institusi ke pundak orang biasa.

Yang dibutuhkan adalah perubahan sistemik: desain kerja yang lebih manusiawi, target yang realistis, pelatihan supervisor yang menekankan empati dan fleksibilitas, serta budaya organisasi yang menghargai kehidupan pribadi sebagai bagian dari produktivitas.

Lebih dari itu, perlu ada keberanian untuk meredefinisi sukses di tempat kerja. Apakah sukses hanya tentang angka penjualan dan margin keuntungan? Atau juga tentang kualitas hidup, relasi keluarga yang sehat, dan kesehatan mental pekerja?

Pada akhirnya, studi ini mengingatkan kita bahwa setiap statistik adalah kisah nyata. Di balik angka signifikansi 0,000 dan 0,027, ada pekerja seperti Rina, yang memilih antara memenuhi target atau menemani anaknya ke dokter. Ada supervisor seperti Budi, yang ingin memberi cuti pada anak buahnya, tapi terhalang kebijakan yang kaku. Ada kehidupan yang terus bergulir, sering kali tanpa pengakuan.

Work-family balance bukan utopia. Ia bisa diwujudkan jika kita berhenti menjadikan efisiensi sebagai satu-satunya nilai. Jika kita mulai merancang tempat kerja bukan sebagai mesin produksi, tapi sebagai ruang kehidupan. Dan jika kita, baik sebagai manajer, pemilik usaha, atau pembuat kebijakan, mulai melihat para pekerja bukan sebagai sumber daya, tapi sebagai manusia seutuhnya.

Karena pada akhirnya, keberhasilan sejati bukan hanya tentang performa bisnis, tapi juga tentang berapa banyak orang yang bisa pulang ke rumah dengan utuh—secara fisik, mental, dan emosional.

Rion Nofrianda