Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Fauzah Hs
Ilustrasi cabai (Pixabay/Jill Wellington)

Presiden Prabowo Subianto kembali melemparkan ide untuk memperkuat ketahanan pangan nasional. Kali ini, sasarannya: cabai.

Dalam peluncuran program Gerakan Indonesia Menanam di Banyuasin, Sumatera Selatan, ia mengajak masyarakat menanam cabai sendiri di rumah. Alasannya? Supaya harga cabai tak lagi naik-turun seperti roller coaster.

Mengutip usulan dari Menko Pangan Zulkifli Hasan, Prabowo berkata: “Kalau satu keluarga punya 5 pot cabai, harga cabai tidak akan pernah mahal lagi.

Lucu ya? Kalau masalah sesederhana itu, kita tak butuh Kementerian Pertanian, tak perlu APBN triliunan, dan tak perlu importasi dari negara tetangga. Cukup kasih pot ke semua rumah, cabai tumbuh, harga turun, negara aman. Semua selesai di pekarangan!

Tapi sayangnya, dunia nyata tak seindah pot cabai imajiner itu.

Yang membuat pernyataan ini makin mencengangkan adalah... ini bukan pertama kali.

Sebelumnya, saat harga cabai melonjak, Prabowo juga sempat menyarankan masyarakat untuk mengurangi makan pedas. Serius. Bukannya memperbaiki rantai pasok atau menurunkan harga pupuk, masyarakat malah disarankan diet rasa.

Sekarang, babak selanjutnya adalah: “kalau cabai mahal, ya tanam sendiri.
Berarti kalau harga beras mahal, tanam padi di pot juga? Kalau harga daging mahal, pelihara sapi di balkon?

Saran ini bukan hanya dangkal, tapi juga menunjukkan kegagalan memahami akar persoalan pangan di Indonesia. Seolah-olah yang salah itu rakyat yang kurang kreatif, bukan negara yang tak becus menjaga stabilitas harga.

Harga cabai mahal bukan karena rakyat malas nanam. Tapi karena rantai distribusi yang amburadul, minimnya infrastruktur penyimpanan, buruknya manajemen stok, hingga tak adanya kontrol harga yang adil. Belum lagi soal pupuk mahal, subsidi yang tak tepat sasaran, cuaca ekstrem, dan impor yang serampangan.

Lalu, apakah semua itu bisa dibereskan dengan menanam lima pot cabai di rumah?
Tentu saja tidak.

Dan jangan lupa, tidak semua keluarga punya pekarangan. Di kota-kota besar, jangankan tanah untuk tanam, ruang buat jemur pakaian saja rebutan. Belum lagi bicara soal waktu, pengetahuan menanam, hama, musim tanam, dan produktivitas cabai yang tidak semanis status WhatsApp.

Ajakan tanam cabai ini juga terasa kontras dengan kondisi ekonomi yang sedang tidak baik-baik saja. Harga sembako naik, daya beli turun, dan pengangguran meningkat. Banyak keluarga bahkan sudah kesulitan membeli beras, minyak goreng, dan telur.

Dalam kondisi seperti ini, ketika rakyat butuh solusi nyata dari pemerintah, ajakan menanam cabai bisa terdengar seperti candaan yang tidak lucu. Apalagi datang dari Presiden. Rakyat butuh kebijakan, bukan sekadar imbauan.

Yang jadi soal besar adalah: ajakan ini seolah menunjukkan bahwa pemerintah kehabisan akal. Daripada membenahi sistem pangan dari hulu ke hilir, lebih mudah melempar ke rakyat.

Pak Presiden, rakyat butuh negara hadir dengan sistem pangan yang kokoh. Bukan hadir sebagai influencer urban farming dadakan.

Tanam cabai itu baik, iya. Tapi jangan dibesar-besarkan seolah itu solusi atas kegagalan negara menjaga harga bahan pokok tetap terjangkau.

Kenapa tidak fokus benahi kebocoran anggaran di sektor pertanian? Menguatkan koperasi petani? Memotong jalur distribusi yang membuat harga cabai naik 300% dari kebun ke pasar? Kenapa justru malah melempar slogan yang lebih cocok jadi caption Instagram?

Ketahanan pangan tidak dibangun dari lima pot cabai, tapi dari kebijakan yang adil, perencanaan yang matang, dan keberpihakan pada petani lokal.

Kalau rakyat diajak menanam cabai, maka negara harus menanam kepercayaan: bahwa pemerintah serius mengurus pangan, bukan cuma menanam narasi.

Jadi, Pak Presiden, cukup ya saran makan tak pedas atau tanam cabai sendiri. Rakyat sudah cukup pedas hidupnya.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Fauzah Hs