Kritik adalah senjata ampuh untuk perubahan, tetapi tanpa arah yang jelas, ia hanya menjadi keluhan kosong. Pada 26 April 2025, sebuah diskusi di kanal YouTube menjadi panggung bagi seorang remaja yang memprotes larangan perpisahan sekolah, menganggapnya tidak adil. Respons yang muncul bukan sekadar bantahan, melainkan pelajaran berharga: kritik itu penting, tetapi jangan asal mengkritik. Protes remaja itu, meski polos, salah sasaran. Alih-alih menyoroti larangan, seharusnya ia menggugat sistem yang membiarkan pungutan perpisahan menjadi beban berat bagi keluarga.
Remaja itu mengeluhkan larangan wisuda, tetapi fakta yang terungkap justru lebih pelik. Biaya perpisahan mencapai sekitar 1,2 juta rupiah—angka yang fantastis bagi beberapa keluarga yang tinggal di bantaran sungai. Kritiknya terhadap larangan sekolah mengabaikan inti masalah: budaya pungutan yang merajalela. Sekolah, yang sering jadi kambing hitam, sebenarnya terjebak dalam tekanan sosial dan ekonomi. Guru dan kepala sekolah menghadapi bullying jika memungut biaya, tetapi tanpa pungutan, acara perpisahan sulit terlaksana. Di sinilah kritik yang asal-asalan gagal—ia tidak menyentuh akar masalah, yaitu kelemahan sistem pendidikan.
Pentingnya kritik yang terarah terlihat ketika diskusi beralih pada pemerintah. Sistem pendidikan yang tidak tegas melarang pungutan menciptakan lingkaran setan: sekolah terpaksa memungut biaya, orang tua terbebani, dan siswa seperti remaja itu merasa dirugikan. Kritik seharusnya menyasar kebijakan yang gagal menjaga integritas pendidikan, bukan hanya larangan perpisahan. Dengan mengarahkan suara pada pemerintah, remaja itu bisa mendorong perubahan nyata, seperti pengawasan ketat terhadap pungutan atau subsidi untuk acara sekolah. Kritik yang konstruktif adalah yang menawarkan solusi, bukan sekadar melampiaskan kekecewaan.
Namun, diskusi ini juga mengungkap sisi lain: budaya sosial yang memperumit kritik. Ibu remaja itu, dengan penuh keikhlasan, menyebut perpisahan penting untuk “mental anak”, meski keluarganya hidup dalam keterbatasan. Sikap ini mencerminkan tekanan sosial yang mendorong orang tua untuk mengorbankan kebutuhan dasar demi gengsi. Ketika ditanya apakah uang 1,2 juta lebih baik untuk kuliah atau perpisahan, ibunya ragu-ragu, menunjukkan betapa sulitnya melepaskan diri dari norma sosial. Kritik yang bijak juga harus menyasar budaya ini—mengapa kita memprioritaskan momen sesaat ketimbang investasi jangka panjang?
Realitas kehidupan keluarga di bantaran sungai menjadi pengingat bahwa kritik harus berpijak pada empati. Protes remaja itu mungkin lahir dari keinginan merayakan momen berharga, tetapi ia tidak melihat beban yang ditanggung keluarganya. Kritik yang asal-asalan sering kali buta terhadap konteks seperti ini. Sebaliknya, kritik yang konstruktif memahami bahwa solusi tidak selalu sederhana. Misalnya, mengusulkan perpisahan mandiri bersama teman, tanpa melibatkan sekolah, bisa jadi jalan tengah. Ini menunjukkan bahwa kritik yang baik tidak hanya menunjukkan masalah, tetapi juga membuka pintu untuk solusi praktis.
Diskusi ini juga mengajarkan bahwa kritik harus disertai literasi. Remaja itu, dan banyak dari kita, sering terjebak dalam emosi tanpa memahami sistem di balik masalah. Dunia maya, tempat diskusi ini berlangsung, mempercepat penyebaran kritik, tetapi juga risiko kritik yang dangkal. Postingan di X atau komentar di YouTube bisa memicu perubahan, tetapi hanya jika terarah dan berdasarkan fakta. Literasi tentang sistem pendidikan, hak siswa, dan realitas ekonomi keluarga adalah kunci agar kritik tidak jadi bumerang yang justru memperkeruh suasana.
Kisah ini adalah panggilan untuk mengasah seni mengkritik. Kritik itu penting, tetapi tanpa arah, ia hanya menambah kebisingan. Dari remaja yang protes hingga keluarga di bantaran sungai, kita belajar bahwa suara kita berharga jika diarahkan pada akar masalah: kebijakan yang lemah, budaya gengsi, dan prioritas yang salah. Kritik yang konstruktif bukan hanya tentang berbicara, tetapi tentang mendengar, memahami, dan menawarkan solusi. Maukah kita belajar mengkritik dengan bijak, atau terus terjebak dalam keluhan tanpa tujuan?
Baca Juga
-
Gen Z Lebih Pilih Sehat Mental Dibanding IPK Cumlaude, Salahkah?
-
Gen Alpha Beda dari Kita! Pola Asuh Zilenial Ubah Segalanya
-
Hormat Bukan Berarti Setuju! Gen Z dan Keberanian Berdialog
-
Ketika Karnaval Jadi Derita! Sound Horeg dan Dampak Nyata untuk Kesehatan
-
AXIS Nation Cup! Tempat Mimpi-Mimpi Liar Pemuda Indonesia Meledak
Artikel Terkait
-
10 Mobil Bekas buat Keluarga: Harga di Bawah Rp100 Juta, Muat Banyak Orang
-
Berapa Biaya Haji Furoda? Inul Daratista Rela Nabung demi Bisa ke Tanah Suci tanpa Antre
-
Menyoroti Perdebatan Urgensi Acara Wisuda TK-SMA: Menggeser Prioritas?
-
DBD Mengintai! Tasya Kamila Ajak Orang Tua Lakukan Hal Ini untuk Lindungi Keluarga
-
Sering Alami Perubahan Mood yang Drastis, Syifa Hadju Ungkap Penyebabnya
Kolom
-
Membongkar Sesat Pikir: Ikhlas Demi Surga Bukan Alasan Menggampangkan Hak Guru
-
Merah Putih: One For All Animasi yang Bikin Netizen Geleng-Geleng
-
Gaya Hedonisme Generasi Z: Antara Santai dan Tantangan di Era Digital
-
OpenAI Bikin Sejarah Lagi: GPT-5 Tidak Hanya Cerdas, Tapi Juga Empatik?
-
Merah Putih One For All: Propaganda Politik Berkedok Animasi Anak?
Terkini
-
Skuat Garuda Muda, Piala Dunia U-17 dan Gelaran Piala Kemerdekaan yang Tak Tepat Kualitas
-
Teknologi Filter Air Sungai UMPR Bantu Tekan Stunting di Pulang Pisau
-
5 Inspirasi Mix and Match Outfit Netral ala Pimtha: Simple, Stylish, dan Anti Ribet
-
BRI Super League: Beckham Putra Sumringah Persib Bandung Tunjukkan Kualitas Juara
-
Resmi Tayang, Zach Cregger Tuai Pujian Kritikus Berkat Kesuksesan Weapons