Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Delima Ubadiyah Mudrik
Buku Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda (dokumen pribadi/Delima)

Buku Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda (De Njai: Het Concubinaat di Nederlands-Indie) oleh Reggie Baay. Sebuah buku yang mengungkap kisah seorang perempuan Indonesia yang hidup bersama seorang pria Eropa pada masa penjajahan Belanda. Buku ini telah mendapatkan pujian karena keberaniannya mendobrak tabu seputar gundik.

Buku sejarah sosial ini menceritakan kisah Nyai (gundik pribumi) di balik layar penjajahan Belanda di Hindia Belanda. Nyai selalu diibaratkan sebagai alat yang bisa dipindahtangankan oleh pemiliknya. Selain itu, Nyai juga sering mengalami banyak kekerasan.

Pada kata pengantar, Reggie Baay mendedikasikan bukunya untuk Moenah. Moenah belum sempat menceritakan kisah hidupnya saat menjadi seorang ‘gundik’. Ketika tuan-tuan kolonial memasuki nusantara pada abad ke-16, perempuan pribumi tidak hanya dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga, namun kebutuhan biologis tuan-tuan Eropa membuat lahirnya pergundikan di antara mereka.

Buku ini tidak hanya mengkaji tentang sejarah, namun juga menjelaskan tentang konspirasi dan politik yang memperkuat hubungan antara tuan Eropa dan perempuan pribumi. Perjalanan dan kisah hidup seorang gundik, dijelaskan dengan terperinci. Reggie Baay membawa pembaca seakan-akan masuk ke dalam konflik batin perempuan pribumi pada masa itu.

Konflik Batin yang Dirasakan

Reggie Baay sedikit banyak menyinggung tentang cara perekrutan Serdadu Militer Kolonial. Tentara kolonial dikumpulkan tidak hanya dari tentara siap tempur saja, tetapi juga dari penjahat, orang miskin, kelompok petualang, dan warga sipil Eropa lainnya. Hal ini yang menyebabkan adanya ketidaksiapan mental dari sebagian Serdadu yang dikirim dari Eropa.

Hal ini kemudian membuka jendela berfikir saya, memposisikan apabila lahir pada masa peperangan. Sedangkan pada masa itu merupakan era paling mengerikan bagi semua yang terlibat. Tidak sedikit orang mencari tempat untuk melampiaskan ketakutannya, salah satunya dengan melakukan kegiatan seks; entah dengan memperkosa, menyewa jasa pelacur atau menjadikan perempuan pribumi sebagai gundik.

Konflik batin yang dituangkan dalam buku ini sangat kompleks. Bukan hanya para tentara yang mengalami kesulitan, para Nyai pun selalu dihadapkan dengan kemalangan. Sistem Kolonialisme telah merampas hak-hak yang dimiliki perempuan. Nyai tidak serta merta mempunyai kuasa akan tubuhnya sendiri. Penjajah tidak hanya merampas sari-sari Bumi Pertiwi, tapi juga merampas sari-sari tubuh para pribumi.

Tidak banyak yang dijelaskan mengenai latar belakang Nyai, namun Baay menyinggung sedikit tentang mayoritas Nyai yang berasal dari orang-orang miskin pribumi. Kemiskinan menjadi faktor ketidakberdayaan perempuan pribumi atas tubuhnya. Nyai selalu mendapatkan perlakuan kejam dari tuan Eropanya. Pada relasinya, Nyai sering mendapat julukan sebagai barang atau inventaris orang Eropa. Sedikit dari mereka yang bisa merasakan cinta dalam relasinya.

Munculnya Penyakit Menular Seksual

Kehidupan di barak Hindia-Belanda tidak hanya percampuran berbagai negara dan budaya yang berbeda, namun juga terdiri dari laki-laki dan perempuan yang tinggal bersama. Sampai pada akhirnya, tahun 1887 pemimpin KNIL memperbolehkan adanya kegiatan pergundikan di barak Hindia-Belanda. Para tentara yang miskin tidak memiliki uang lebih untuk mempekerjakan gundik, sehingga mereka sering melampiaskan hasrat seksualnya pada para pekerja seks.

Para perempuan pribumi dipekerjakan di barak tentara sebagai asisten serta pemuas nafsu para tentara Eropa. Membayangkan bagaimana para perempuan akhirnya ‘digilir’ oleh tentara-tentara Eropa tanpa melihat segi kemanusiaannya. Kegiatan seks ini telah menimbulkan banyak kerugian, salah satunya muncul penyakit menular seksual di Hindia-Belanda.

Mewabahnya penyakit menular seksual telah menyebabkan banyak kematian pada tentara-tentara Eropa dan gundik-gundik mereka. Pemerintah Kolonial kemudian menyadari kerugian yang dialami mereka. Kematian para tentara telah menambah faktor berkurangnya jumlah kekuatan mereka.

Ada banyak laki-laki dengan dorongan kebutuhan seks tinggi, namun sangat sedikit nyai Pribumi serta tidak tersedianya lokalisasi prostitusi di dekat barak. Hal tersebut memungkinkan kegiatan seks bebas dan mempermudah masuknya berbagai penyakit menular seksual ke dalam barak. Kemudian pada 1900-an, pergundikan dihapuskan.

Pertaruhan Nasib Nyai dan Anaknya

Kegiatan pergundikan tidak hanya merugikan antara kedua belah pihak, namun anak yang lahir dari percampuran dua ras ini mengalami banyak kesulitan dan diskriminasi. Para anak Nyai mengalami disorientasi, tidak diakui sebagai anak Eropa juga sebagai pribumi. Hal lain yang membuat saya teriris, perempuan pribumi yang memiliki anak dari Tuan Eropa harus rela tidak diakui keberadaannya. Bahkan para perempuan ini rela dipanggil sebagai Babu oleh anaknya.

Pada 1850 P. van Rees, Residen Batavia menuliskan laporan mengenai keadaan wilayahnya. Ia menyampaikan kedudukan anak-anak hasil pergundikan dengan jelas. Menurutnya nasib anak-anak Pribumi memang jauh dari keadaan yang membuat iri. Terlahir dari ayah Eropa dan tidak jarang dibesarkan di tengah hedonisme, namun mengalami kesulitan dalam menentukan karir. Berdasarkan prinsip politik mereka dilarang ikut serta dalam pemerintahan, bahkan pada jabatan-jabatan rendah.

Reggie Baay berhasil menggambarkan mengenai perbedaan strata antara Tuan Belanda dan perempuan pribumi. Sedikit yang saya dapatkan bahwa Reggie menjelaskan pula mengenai sudut pandang Nyai; positif dan negatif. Positifnya, bahwa seorang Nyai merupakan seorang yang tulus dan setia. Namun, negatifnya mereka adalah orang yang mudah dibodohi, malas dan penuh nafsu.

Dijabarkan pula faktor pendukung, konspirasi dan politik yang memfasilitasi hubungan antara Tuan Eropa dan perempuan Pribumi tetap berlangsung. Hubungan mereka tak lantas berjalan mulus. Perempuan pribumi berada pada posisi korban masyarakat Kolonial. Setelah membuktikan pelayanannya terhadap Tuan Eropa, dengan mudahnya perempuan Pribumi bisa langsung digantikan dengan kehadiran perempuan Eropa. Hal itu telah merampas segala hal yang dimilikinya, termasuk yang paling dicintainya yaitu anaknya. Kenyataan tersebut yang akhirnya menyebabkan para Nyai mengalami depresi.

Pada konteks perang Kemerdekaan Indonesia, Nyai atau para perempuan pribumi yang menikah dengan orang Eropa mengalami konflik kesetiaan yang fundamental. Harus ikut kemanakah ia? Apakah ia akan memilih suami Eropa dan anak-anaknya ataukah memilih saudara dan bangsanya? Pilihan ini menjadi sangat sulit pada saat itu.

Tidak sedikit perempuan Indonesia yang memutuskan untuk mengikuti suaminya ke Eropa mengalami kemalangan. Kehidupan perempuan Indonesia dihadapkan dengan kesunyian karena keberadaanya tidak menonjol di Eropa. Keterbatasan bahasa juga mengakibatkan kesulitan mereka untuk berinteraksi dengan warga Eropa lainnya.

Reggie Baay menulis buku ini secara detil, dengan gaya tulisan yang runut dan mendalam. Ia menghadirkan emosi dalam tulisan, seakan-akan informasi yang dibawanya memiliki nyawa. Dengan buku ini, Baay telah memberikan penghargaan terhadap perempuan-perempuan yang mengalami banyak kemalangan pada masa Kolonial. Tidak hanya itu, informasi yang dituangkannya bisa menjadi rujukan dan pelajaran bagi kita tentang kesetaraan dan hak asasi yang dipertaruhkan pendahulu kita.

Identitas Buku

Judul: Nyai & Pergundikan di Hindia Belanda 

Penulis: Reggie Baay 

Penerjemah: Siti Hertini Adiwoso 

Penerbit: Komunitas Bambu 

Tebal: 300 halaman

Delima Ubadiyah Mudrik

Baca Juga