Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Sherly Azizah
Ilustrasi ujian (Pexels/cottonbro studio)

Ramai di media sosial, Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) Seleksi Nasional Berdasarkan Tes (SNBT) 2025, yang berlangsung sejak 23 April hingga 3 Mei 2025, menjadi panggung harapan bagi 860.975 peserta untuk memperebutkan 259.564 kursi di perguruan tinggi negeri (PTN) di Indonesia.

Angka ini menunjukkan persaingan ketat, setiap peserta harus berjuang mati-matian untuk meraih mimpinya. Namun, di balik semangat kompetisi ini, sorotan publik justru tertuju pada serangkaian kecurangan yang terdeteksi hanya dalam dua hari pertama pelaksanaan ujian, 23-24 April 2025. Fenomena ini bukan sekadar pelanggaran aturan, melainkan cerminan krisis integritas yang mengguncang dunia pendidikan.

Panitia Seleksi Nasional Penerimaan Mahasiswa Baru (SNPMB) melaporkan berbagai modus kecurangan yang begitu canggih sekaligus mencengangkan. Mulai dari kamera mikro yang disembunyikan di behel, kuku, ikat pinggang, hingga kancing baju, hingga penggunaan mini wireless headset dan modem yang dimasukkan ke dalam telinga.

Alat-alat ini, yang lolos dari deteksi metal detector, menunjukkan betapa jauhnya usaha peserta untuk mengakali sistem. Di Tasikmalaya, seorang peserta bahkan kedapatan membawa kamera kecil yang terhubung dengan baterai dan modem, seolah-olah ujian ini adalah misi spionase, bukan tes akademik. Kreativitas teknologi yang seharusnya menjadi alat inovasi justru disalahgunakan untuk tujuan yang merugikan.

Tidak hanya teknologi, beberapa peserta juga memanfaatkan trik manipulasi identitas. Di Universitas Sumatera Utara, tujuh orang joki dari luar daerah tertangkap basah menggunakan identitas peserta asli.

Sementara itu, di Universitas Negeri Jakarta (UNJ), empat peserta menyamar sebagai tunarungu untuk memanfaatkan alat bantu dengar palsu yang ditanam di telinga. Modus ini bukan hanya soal kecerdikan, tetapi juga menyinggung isu sensitif terkait disabilitas.

Tindakan ini mencoreng nilai-nilai inklusivitas yang seharusnya dijunjung dalam dunia pendidikan, sekaligus menunjukkan betapa rendahnya moral beberapa oknum demi lolos seleksi.

Selain itu, ada pula peserta yang merekam layar desktop ujian menggunakan ponsel atau aplikasi recording, bahkan menggunakan remote desktop agar soal dikerjakan oleh pihak lain di luar lokasi ujian.

Beberapa di antaranya nekat menempelkan ponsel di sepatu atau badan untuk berkomunikasi selama ujian. Tindakan ini menunjukkan adanya jaringan kecurangan yang terorganisasi, yang tidak hanya melibatkan peserta, tetapi juga pihak luar yang memfasilitasi.

Pertanyaannya, bagaimana sistem pengawasan UTBK yang dianggap canggih masih bisa ditembus oleh modus-modus ini? Apakah ini soal kelengahan panitia, atau memang kecurangan telah berevolusi lebih cepat daripada teknologi pengawasan?

Kecurangan dalam UTBK SNBT 2025 ini bukan sekadar pelanggaran teknis, tetapi juga pertanda adanya masalah yang lebih dalam: hilangnya nilai kejujuran dalam sistem pendidikan kita.

Pendidikan seharusnya menjadi wadah untuk membentuk karakter dan integritas, bukan ajang untuk menang dengan cara curang. Ketika peserta rela menggunakan joki, menyamar, atau memanfaatkan teknologi untuk menipu, ini menunjukkan bahwa tekanan untuk masuk PTN telah melampaui batas rasional.

Persaingan yang ketat, dipadukan dengan ekspektasi sosial dan stigma kegagalan, mendorong sebagian peserta untuk memilih jalan pintas, meski itu berarti mengorbankan prinsip moral.

Namun, di tengah kekecewaan ini, ada pelajaran berharga yang bisa diambil. Kejadian ini harus menjadi cambuk bagi semua pemangku kepentingan pendidikan—pemerintah, institusi, hingga masyarakat—untuk memperbaiki sistem.

Panitia SNPMB perlu meningkatkan teknologi pengawasan, seperti penggunaan AI untuk mendeteksi anomali selama ujian atau pemeriksaan fisik yang lebih ketat tanpa melanggar privasi.

Di sisi lain, pendidikan karakter harus lebih ditekankan sejak dini, agar siswa memahami bahwa keberhasilan sejati tidak diukur dari kelulusan semata, tetapi dari proses yang jujur dan bermartabat. Orang tua dan guru juga perlu berperan dalam menanamkan nilai integritas, bukan hanya mengejar prestasi akademik.

UTBK SNBT 2025 bukan hanya tentang siapa yang lolos atau gagal, tetapi tentang bagaimana kita sebagai bangsa mendefinisikan pendidikan. Kecurangan yang terungkap adalah cerminan dari tantangan besar yang harus segera diatasi.

Mari jadikan momen ini sebagai titik balik untuk membangun sistem pendidikan yang tidak hanya menghasilkan lulusan cerdas, tetapi juga manusia yang berintegritas. Sebab, tanpa kejujuran, gelar sarjana hanyalah selembar kertas kosong yang tak bermakna.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Sherly Azizah