Pemerintah baru saja mengumumkan rencana penerapan skema pinjaman pendidikan alias student loan bagi mahasiswa yang kesulitan membayar biaya kuliah. Rencananya akan diluncurkan pada Agustus atau September 2025, dengan kolaborasi antara Kementerian Pendidikan Tinggi, LPDP, dan pihak perbankan.
Sekilas terdengar seperti solusi mulia demi membuka akses pendidikan yang lebih merata. Tapi... benarkah ini solusi, atau malah jebakan halus untuk memindahkan beban pendidikan dari negara ke pundak mahasiswa?
Mari kita bahas pelan-pelan.
Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, Stella Christie, menjelaskan bahwa mahasiswa hanya perlu mulai mencicil pinjaman jika sudah bekerja dan penghasilannya melebihi Rp54 juta per tahun.
Jadi, semacam sistem “bayar nanti ketika mampu”. Bahkan, pemerintah menjanjikan bunga ditanggung LPDP, plus ada asuransi untuk risiko gagal bayar.
Kedengarannya humanis, ya? Tapi tunggu dulu.
Skema seperti ini bukan hal baru di dunia. Negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Australia, dan Inggris sudah lebih dulu menerapkannya. Faktanya? Banyak mahasiswa justru terjebak dalam lingkaran utang pendidikan jangka panjang.
Di Amerika, total utang pendidikan mencapai lebih dari US$1,7 triliun. Ratusan ribu lulusan universitas hidup dengan bayang-bayang utang yang tidak kunjung lunas—bahkan setelah 10 hingga 20 tahun bekerja. Beberapa bahkan gagal beli rumah, menunda pernikahan, dan kesulitan memulai bisnis karena skor kredit buruk akibat student loan.
Apakah kita ingin mengimpor model kegagalan seperti itu ke Indonesia?
Sebelum buru-buru menawarkan solusi berupa pinjaman, pertanyaan mendasarnya adalah: kenapa biaya kuliah di Indonesia bisa mahal sekali? Apa yang membuat anak-anak bangsa harus membayar puluhan bahkan ratusan juta rupiah hanya untuk mendapatkan gelar sarjana?
Seharusnya, pemerintah fokus pada reformasi biaya pendidikan, peningkatan subsidi, dan penguatan kampus negeri. Bukan malah menyuruh mahasiswa “berutang dulu, bayar nanti.” Itu seperti memadamkan api dengan bensin.
Apalagi kita bicara tentang negara yang konstitusinya dengan lantang menyatakan bahwa pendidikan adalah hak setiap warga negara, bukan barang dagangan. Maka skema student loan berpotensi mengaburkan prinsip itu: dari hak menjadi beban utang.
Bayangkan kamu baru saja lulus, semangat mengejar karier, tapi langsung disambut notifikasi: “Cicilan student loan Anda sebesar RpX juta per bulan akan ditarik otomatis dari gaji Anda.”
Bukannya tenang, banyak lulusan justru tertekan. Beban utang pasca-kuliah bisa memengaruhi keputusan hidup mereka: memilih pekerjaan berdasarkan gaji semata, bukan passion; menunda mimpi melanjutkan kuliah; bahkan dalam kasus ekstrem, bisa berujung pada depresi dan frustrasi sosial.
Apakah ini harga yang harus dibayar demi mengejar gelar sarjana?
Skema ini juga menyimpan risiko memperlebar jurang antara yang mampu dan tidak. Mahasiswa dari keluarga kaya akan tetap melenggang bebas tanpa utang. Sementara yang miskin harus mengandalkan pinjaman dan hidup dalam bayang-bayang tagihan bertahun-tahun.
Padahal tujuan awal dari pendidikan adalah mengangkat orang miskin keluar dari lingkaran kemiskinan, bukan menjerumuskan mereka ke dalam utang.
Daripada menyodorkan utang, kenapa tidak memperkuat skema beasiswa yang adil dan inklusif, meningkatkan alokasi APBN untuk pendidikan tinggi, serta mendorong kebijakan pembatasan biaya kuliah yang transparan dan terkontrol?
Pendidikan adalah hak, bukan pinjaman. Tugas negara adalah menjamin akses pendidikan yang setara, bukan justru membuka pintu baru menuju jebakan finansial.
Student loan mungkin terdengar keren, tapi jika tidak dikawal dengan sangat hati-hati, ia bisa jadi bom waktu yang mengorbankan generasi masa depan.
Kita tidak butuh generasi sarjana yang pintar tapi terbebani utang. Kita butuh generasi muda yang merdeka—secara ilmu dan secara ekonomi.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Korupsi Rp984 Triliun: Kita Cuma Bisa Bilang 'Yaudahlah'?
-
Hilirisasi ala Gibran: Visi Besar atau Konten Kosong?
-
UTBK 2025: Ketika Kecurangan Ujian Lebih Canggih dari 'Bad Genius'
-
Negara Absen, Rakyat Disuruh Tanam Cabai: Solusi atau Pengalihan Isu?
-
Tren Kesenjangan Sosial di TikTok: Lucu, Tapi Bikin Mikir
Artikel Terkait
-
Kasus Ijazah Palsu Jokowi Bisa Seret Gibran, Roy Suryo Curigai Kejanggalan Riwayat Pendidikan Wapres
-
Sebelas Duabelas dengan Jokowi, Utang RI di Era Prabowo Diramal Kian Menggunung
-
TNI AL Akui Nunggak Biaya BBM ke Pertamina Triliunan Rupiah, Minta Diputihkan
-
Literasi Teknologi untuk Guru: Kunci Pendidikan Berkualitas
-
Pendidikan dan Karier Cak Lontong yang Diangkat Jadi Komisaris Ancol
Kolom
-
Kafe Bertebaran, Angkringan Bertahan: Kisah Ketahanan Budaya di Jogja
-
Wisuda TK hingga SMA: Mencipta Kenangan Terakhir atau Sekadar Gengsi?
-
Kisah Mbah Tupon dan Pelajaran Kewaspadaan dari Ulah Mafia Tanah
-
Tawa Pahit di TikTok: Kesenjangan Sosial dalam Bingkai Humor
-
Korupsi Rp984 Triliun: Kita Cuma Bisa Bilang 'Yaudahlah'?
Terkini
-
Jay Idzes Kian Dekat ke Klub Inter Milan, Segera Gabung Musim Depan?
-
Ulasan Novel Rasuk: Iri Hati, Amarah, dan Penyesalan yang Terlambat
-
BRI Liga 1: Tyronne del Pino Tak Gentar dengan Rekor Unbeaten Malut United
-
Rilis Teaser Poster, Drama Korea Good Boy Siap Tayang 31 Mei di JTBC!
-
Sinopsis Drama China Our Generation, Dibintangi Zhao Jin Mai dan Zhang Ling He