Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini membuat pernyataan menarik saat memimpin kegiatan tanam padi serentak di Ogan Ilir, Sumatra Selatan. Ia menyebut ada pihak yang mengatakan dirinya dibohongi oleh menteri-menterinya. Konteksnya: soal kondisi ekonomi Indonesia.
Ia langsung menambahkan bahwa kondisi ekonomi Indonesia saat ini “kuat dan akan lebih kuat lagi.”
Pernyataan ini tentu saja langsung jadi sorotan. Bukan hanya karena diucapkan seorang kepala negara, tapi juga karena kontras dengan realitas ekonomi yang dirasakan banyak rakyat Indonesia hari-hari ini.
Pertama-tama, mari kita jujur dulu: ucapan “ekonomi Indonesia baik-baik saja” memang enak didengar. Menenangkan. Tapi, apakah benar demikian?
Salah satu menteri—yang identitasnya tak disebutkan secara gamblang— menyampaikan kepada Presiden bahwa kondisi ekonomi Indonesia hanya terlihat bagus di atas kertas. Tapi realitas di lapangan? Jauh dari itu.
Presiden Prabowo justru menganggap dirinya dibohongi jika dikatakan ekonomi Indonesia hanya terlihat bagus di permukaan. Ia yakin ekonomi Indonesia baik-baik saja dan akan semakin kuat. Di sinilah letak masalahnya.
Kalau ekonomi memang sedang baik-baik saja, mengapa masih banyak pekerja yang kena PHK massal? Mengapa daya beli masyarakat terus menurun? Mengapa pengangguran terbuka masih tinggi, terutama di kalangan anak muda?
Badan Pusat Statistik (BPS) sendiri mencatat tingkat pengangguran per Februari 2025 mengalami peningkatan sebesar 0,15 persen dibanding tahun lalu. Belum lagi nilai tukar rupiah yang terus melemah terhadap dolar, menyentuh angka lebih dari Rp16.500/USD per April 2025.
Di sisi lain, investor asing—yang biasanya jadi indikator kepercayaan terhadap perekonomian—mulai menunjukkan tanda-tanda mundur.
Beberapa proyek besar terpaksa ditunda, sementara modal asing lebih memilih parkir di negara-negara yang dinilai lebih stabil secara politik dan hukum. Bahkan pada kuartal pertama 2025, aliran modal asing mengalami net outflow hingga triliunan rupiah.
Narasi bahwa ekonomi baik-baik saja justru bisa berbahaya. Bukan hanya karena bisa jadi delusional, tapi juga karena mengabaikan alarm ekonomi yang sudah bunyi sejak lama.
Sektor UMKM—yang katanya tulang punggung ekonomi nasional—masih kesulitan mengakses pembiayaan murah. Kredit usaha kecil menengah stagnan. Belum lagi berbagai regulasi yang tumpang tindih antara pusat dan daerah yang bikin pelaku usaha bingung dan frustrasi. Kalau ekonomi baik, mengapa iklim usahanya tidak kondusif?
Dan jangan lupa, perang dagang global antara Amerika dan negara-negara mitranya bisa berdampak serius ke neraca perdagangan Indonesia. Ketergantungan terhadap barang impor, ditambah lemahnya ekspor non-komoditas, membuat kita makin rentan. Apalagi saat ini, surplus neraca perdagangan kita terus menipis.
Ekonomi yang sehat bukan sekadar soal pertumbuhan PDB atau angka inflasi yang rendah. Tapi juga soal pemerataan, akses pekerjaan, dan ketahanan rumah tangga.
Kalau rakyat masih susah beli sembako, anak muda susah cari kerja, dan UMKM kembang-kempis, maka ada yang salah dengan narasi “semuanya baik-baik saja.”
Dalam situasi seperti ini, masyarakat justru berharap Presiden punya sensitivitas tinggi terhadap keluhan di bawah.
Bukannya merasa dibohongi, Presiden seharusnya bertanya: Apa yang saya lewatkan? Apa yang belum dikatakan para menteri saya? Karena bisa jadi, para pembisik itu hanya menyampaikan apa yang ingin didengar, bukan apa yang sebenarnya terjadi.
Kritik terhadap narasi “ekonomi baik-baik saja” bukan berarti membenci pemerintah. Justru sebaliknya: karena peduli. Karena kita ingin Presiden memimpin dengan kesadaran penuh bahwa kondisi lapangan tidak semanis laporan.
Kita ingin pemimpin yang tidak cepat puas dengan pujian, dan berani membuka mata terhadap suara minor.
Presiden yakin ekonomi kita kuat, tapi rakyat masih kesulitan. Menurut kamu, di mana letak masalahnya? Kebijakan, eksekusi, atau cara kita membaca data?
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Influencer vs Aparat Negara: Siapa yang Lebih Berkuasa di Era Digital?
-
Purbaya Yudhi Sadewa dan Rp200 Triliun: Antara Kebijakan Berani dan Blunder
-
Bumerang Komunikasi: Ketika Video Pemerintah di Bioskop Dianggap Gangguan
-
TNI dan Batas Peran dalam Ranah Sipil: Dari Barak ke Timeline
-
Politik Ketakutan: Membungkam Kritik dengan Label Pidana
Artikel Terkait
-
Ribuan Buruh Geruduk Gedung DPR saat Peringatan May Day 2025
-
Hadiri Peringatan May Day di Monas, Presiden Prabowo Sapa Ratusan Ribu Buruh
-
Presiden Prabowo Siap Hadir di May Day 2025, Momen Bersejarah: Wujud Perhatian dan Keberpihakan
-
Potret Jokowi Lapor Sendiri Tudingan Ijazah Palsu ke Polda Metro Jaya
-
Menkeu hingga Mensos Merapat ke Istana, Bahas Lebih Lanjut Sekolah Rakyat
Kolom
-
Saat Podcast Jadi Pilihan Belajar, Apa yang Hilang dari Televisi?
-
Antara Guru dan Chatbot: Wajah Baru Pendidikan di Era AI
-
Influencer vs Aparat Negara: Siapa yang Lebih Berkuasa di Era Digital?
-
Bebas Pajak Bagi Pekerja Rp10 Juta ke Bawah: Kado Manis atau Ilusi?
-
Ketika Nilai Jadi Segalanya, Apa Kabar Kreativitas Anak?
Terkini
-
5 Prompt AI Viral: Ubah Fotomu Jadi Anime, Bareng Idol K-Pop, Sampai Action Figure
-
Demo Ojol 17 September: Sebagian Driver Menolak Ikut, Curiga Ditunggangi Kepentingan Politik
-
SKCK Mati Lama Bisa Diperpanjang? Ini Penjelasan Lengkap dan Ketentuannya
-
Diadaptasi dari Light Novel, Anime Victoria of Many Faces Kini Diproduksi
-
Quality Time Nggak Harus Mahal! 5 Game HP Buat Bonding Sama Pacar