Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Fauzah Hs
Presiden Prabowo Subianto (Instagram/@prabowo)

Pernah nggak sih kamu dengar teman yang curhat begini: "Gue kerja full-time, tapi status gue masih outsourcing. Gaji pas-pasan, cuti susah, bonus gak jelas, tapi tuntutan kerja kayak karyawan tetap." Kalau kamu belum pernah dengar, mungkin kamu salah satu dari teman yang curhat itu.

Sekarang, muncul lagi janji manis dari Presiden Prabowo Subianto soal penghapusan sistem kerja outsourcing di Indonesia. Janji ini disampaikan langsung di hadapan sekitar 200.000 buruh yang memadati Monas, Jakarta, pada peringatan Hari Buruh Internasional, 1 Mei 2025.

Dalam pidatonya, Prabowo bilang akan cari cara untuk menghapusnya, dan bakal minta Dewan Kesejahteraan Nasional untuk mempelajari hal ini. Tapi di sisi lain, beliau juga bilang buruh harus realistis dan ikut menjaga kepentingan investor. Lah, jadi harus memilih antara nasib pekerja atau kenyamanan investor?

Masalahnya, ini bukan janji yang pertama. Bahkan bukan kedua. Janji menghapus outsourcing sudah kayak lagu lama yang diputar terus tiap musim pemilu.

Pada 2012, 2014, 2019... selalu ada momen ketika pemerintah bilang akan "meninjau ulang", "mengkaji", atau "menghapus secara bertahap" sistem kerja outsourcing. Tapi apa yang terjadi? Di lapangan, outsourcing masih berjaya. Bahkan makin meluas ke sektor-sektor yang sebenarnya nggak boleh di-outsourcing-kan.

Sekarang mari kita ajak akal sehat ikut duduk bareng. Outsourcing itu sebenarnya apa, sih?

Sederhananya, perusahaan nggak langsung merekrut karyawan, tapi lewat pihak ketiga. Perusahaan A butuh satpam, petugas kebersihan, bahkan call center. Tapi mereka nggak mau ribet ngurusin kontrak, gaji, dan segala tetek bengek ketenagakerjaan. Jadi mereka sewa perusahaan B buat nyediain karyawan. Dan perusahaan B inilah yang bayar gaji, tentukan kontrak, dan—sering kali—menyedot bagian besar dari hak si pekerja.

Bayangin kamu pesan makanan lewat ojek online. Harga makanan Rp50.000, tapi kamu cuma terima nasi sama sambel karena separuhnya dipotong buat ongkos kirim. Kurang lebih seperti itu nasib banyak pekerja outsourcing. Mereka kerja di satu tempat, disuruh loyal, tapi perlakuan kayak tamu tak diundang.

Menurut data dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), jumlah pekerja outsourcing di Indonesia terus meningkat dalam satu dekade terakhir. Bahkan di sektor strategis seperti perbankan dan pendidikan, outsourcing menjalar dengan alasan efisiensi biaya. Padahal, yang jadi korban jelas: para pekerja. Minim kepastian, rentan dipecat sepihak, tanpa jaminan sosial yang layak.

Hal yang bikin banyak orang geram adalah ironi dalam pernyataan Prabowo. Di satu sisi bilang ingin hapus outsourcing, di sisi lain minta buruh untuk tetap realistis dan jaga kepentingan investor. Ini kayak ngajak makan sehat sambil nyodorin gorengan. Nggak nyambung. Seolah-olah nasib jutaan buruh harus ditimbang-timbang dulu, jangan sampai bikin investor kabur. Padahal, buruh juga manusia, bukan variabel dalam rumus bisnis.

Jangan salah, buruh bukan anti-investor. Mereka juga sadar, tanpa perusahaan, nggak ada pekerjaan. Tapi yang diminta juga nggak muluk: kejelasan status kerja, upah yang layak, dan perlakuan yang adil. Masa sih, di era digital yang katanya penuh inovasi ini, kita masih bertahan dengan sistem kerja model kolonial?

Sekarang balik ke kita. Mungkin kamu belum masuk dunia kerja, atau baru mulai kerja freelance sambil ngampus. Tapi percayalah, sistem kayak gini bisa berpengaruh ke semua lini hidup kita. Gimana mau nabung kalau gaji tiap bulan beda-beda? Gimana mau ambil KPR kalau status kerja masih "kontrak vendor"? Gimana mau percaya sama pemerintah kalau tiap pidato isinya janji, tapi tiap tahun buruh tetap demo karena hal yang sama?

Maka wajar kalau banyak orang, terutama anak muda, mulai sinis. Mereka nggak apatis, cuma lelah berharap. Karena setiap kali janji penghapusan outsourcing diumbar, yang berubah cuma headline berita. Bukan nasib para pekerja.

Jadi, kalau pemerintah benar-benar serius, seharusnya kita nggak perlu nunggu Dewan Kesejahteraan Nasional kaji ulang. Bukankah data sudah ada? Bukankah keluhan buruh sudah disuarakan sejak lama? Bukankah kita sudah tahu siapa yang paling diuntungkan dari sistem ini?

Karena pada akhirnya, kita semua cuma ingin kerja yang manusiawi. Bukan yang bikin kita merasa jadi produk sewaan. Dan itu, bukan permintaan yang terlalu tinggi.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Fauzah Hs