Dulu, waktu kecil, orang tua kita sering bilang, “Nak, rajin belajar biar jadi orang.” Lalu kita percaya. Kita belajar keras, ujian nasional pakai rumus yang cuma bisa dihafal, bukan dipahami.
Kita masuk kuliah, skripsi setengah mati, lulus dapat ijazah. Dengan penuh harap, kita melangkah ke dunia kerja, hanya untuk disambut oleh Google Form yang isinya: “Upload portofolio dan contoh hasil kerja.” Ijazah? O, itu cuma formalitas.
Sekarang, mari kita tengok realita. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada 2024, jumlah penganggur bergelar sarjana masih sebanyak 842.378 orang. Ini sudah turun dari 981 ribu pada 2020, tapi tetap saja: delapan ratus ribu lebih manusia berpendidikan tinggi, tapi tidak punya pekerjaan tetap.
Sementara itu, di sisi lain, AI malah promosi jabatan. Bisa bikin artikel, bisa ngoding, bisa desain, bisa bikin presentasi, bahkan bisa ngelawak (meskipun agak garing). Jadi, pertanyaannya bukan lagi: AI bisa apa? Tapi: kita ini masih bisa apa?
Sarjana Belajar 4 Tahun, AI Cuma Butuh Satu Prompt
Bayangkan: kamu kuliah Teknik Informatika, 4 tahun belajar coding, debug sampai nangis darah. Tapi sekarang ada AI model yang bisa bikin skrip Python, Java, sampai C++ hanya dalam hitungan detik.
Kamu kuliah Ilmu Komunikasi, belajar teori komunikasi massal, bikin skripsi 100 halaman tentang framing berita. Tapi sekarang, AI bisa bikin artikel clickbait lengkap dengan SEO dan tone sesuai target pasar. Rasanya kayak ngalahin Thanos pakai Infinity Stone, lalu disalip AI yang cuma pakai keyboard.
Sistem Pendidikan Masih Ngajar PowerPoint, Dunia Sudah Bicara Prompt Engineering
Kurikulum pendidikan kita masih ngajar bikin presentasi pakai PowerPoint dengan transisi cetar. Padahal, di luar sana, orang-orang sudah bikin pitch deck startup pakai Notion dan pakai AI buat generate narasi investasinya.
Anak kuliahan bikin makalah pakai Word manual, AI di luar sana sudah jadi ghostwriter buku motivasi. Bukannya kita kurang pintar, tapi kita kurang disiapkan menghadapi masa depan. Sistem pendidikan kita terlalu lambat, kayak update sistem operasi yang datangnya pas perangkat udah rusak.
Narasi Lama Sudah Kedaluwarsa
Selama ini kita percaya bahwa pendidikan tinggi adalah jalan keluar dari kemiskinan. Tapi sekarang, realitanya: sarjana bersaing bukan cuma dengan sesama manusia, tapi juga dengan mesin.
Dan mesin itu? Tidak rewel, tidak cuti, tidak minta THR, dan bisa kerja 24 jam. Sementara kita? Baru dikasih kerjaan revisi dua kali, sudah mulai buka lowongan stress healing.
Jadi, Apa Kelebihan Kita Dibanding AI?
Orang sering bilang, “Tenang, AI nggak punya empati, nggak bisa mikir out of the box.” Tapi makin ke sini, AI udah bisa bikin puisi cinta, skrip podcast, bahkan jawab curhatan netizen dengan kata-kata yang lebih menenangkan dibanding dosen pembimbing skripsi.
Kalau manusia cuma ngandelin hafalan dan kemampuan teknis standar, ya maaf, kita bakal keok. Yang perlu kita punya sekarang adalah:
- Kemampuan beradaptasi
- Kritis dan kreatif (yang asli, bukan hasil plagiat)
- Kolaborasi dan empati yang nggak bisa diprogram
Hari Pendidikan Nasional, Selebrasi atau Alarm?
Tanggal 2 Mei selalu dirayakan dengan pidato, upacara, dan ucapan manis. Tapi di luar seremoni itu, seharusnya Hari Pendidikan Nasional jadi waktu untuk bertanya keras:
“Pendidikan kita ini lagi nyiapin manusia buat hidup di masa depan, atau nyiapin manusia buat nyari kerja pakai surat lamaran 2007?”
Kalau kita terus-terusan pakai sistem pendidikan lama di zaman yang baru, maka bukan AI yang salah, kitalah yang lalai.
Sarjana Bukan Musuh AI, Tapi Harus Belajar Bareng
AI bukan musuh. Tapi dia juga bukan juru selamat. Dia cuma alat, pintar, cepat, dan murah. Kalau kita nggak belajar pakai, ya kita bakal jadi korbannya.
Di masa depan, yang bertahan bukan yang IPK-nya tinggi, bukan yang hafal teori komunikasi Lasswell, bukan juga yang bisa ngoding tanpa error. Yang bertahan adalah yang bisa belajar ulang, belajar cepat, dan nggak gengsi belajar dari AI.
Pendidikan kita harus mulai geser dari sekadar cetak lulusan, jadi tempat lahirnya pemecah masalah, pencipta peluang, dan pembelajar seumur hidup.
Hari Pendidikan Nasional seharusnya bukan cuma selebrasi, tapi juga alarm, Bahwa kalau AI bisa baca, tulis, ngoding, dan kita masih sibuk nunggu revisi dari dosen pembimbing, maka kita sedang kalah, bahkan sebelum ikut lomba.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
Artikel Terkait
-
Sekolah Bocor di Negeri 'Prioritas Pendidikan': Kapan Janji Jadi Kenyataan?
-
Hardiknas, Askrindo Gelar Pelatihan Bagi Pendidik Anak Berkebutuhan Khusus
-
Gratis! Koleksi Twibbon Hardiknas 2025 Terlengkap, Download & Bagikan Sekarang
-
Sarjana Jadi Sopir, Diploma Jadi PRT: Ironi Pendidikan Tinggi di Tengah Krisis Lapangan Kerja!
-
Peringati Hardiknas, Pemprov DKI Tebus 381 Ijazah yang Tertahan karena Tunggakan Biaya Sekolah
Kolom
-
Sekolah Bocor di Negeri 'Prioritas Pendidikan': Kapan Janji Jadi Kenyataan?
-
RUU Polri: Kebebasan Ruang Digital Terancam? Revisi Kontroversial yang Bikin Warganet Resah!
-
Dari Medan Tempur ke Obat-obatan: Kontroversi Rencana Pabrik Farmasi TNI
-
Sejuta Anak Punya Cerita: Menjadikan Pendidikan sebagai Hak, Bukan Impian
-
Pendidikan Indonesia 2025: Antara Harapan Baru dan Tantangan Lama
Terkini
-
Tinggalkan IST setelah 14 Tahun, Jeong Eun Ji Apink Gabung Agensi Billions
-
Cerita di Balik Kemenangan Alex Marquez di GP Jerez 2025, Penuh Lika-liku
-
Sudirman Cup 2025: Line Up Indonesia vs Korea Selatan di Babak Semifinal
-
Review Anime Goblin Slayer Season 2, Pembantaian Goblin Semakin Sadis
-
Review Film Pink Floyd at Pompeii - MCMLXXII: Kembalinya Suara Legendaris