Scroll untuk membaca artikel
Sekar Anindyah Lamase | Sherly Azizah
Ilustrasi teknologi [pexels/Mateusz Dach]

Kesenjangan generasi dalam akses teknologi bukan cuma soal siapa punya smartphone terbaru, melainkan jurang pengalaman, kenyamanan, dan keberanian menghadapi dunia digital. Anak muda menari lincah di antara aplikasi dan notifikasi, tapi bagi kakek-nenek, tombol “klik” di layar bisa terasa seperti teka-teki Sphinx.

Dengan nada santai namun penuh empati, mari kita kupas mengapa generasi tua kerap tersesat di labirin teknologi, dan bagaimana kita bisa membangun jembatan untuk mereka.

Mengapa kesenjangan ini begitu lebar?

Dalam artikel berjudul Is the Digital Divide between Young and Elderly People Increasing? oleh Paul dan Stegbauer (2005), dijelaskan bahwa generasi tua menghadapi hambatan seperti kurangnya pengalaman teknologi, kecemasan terhadap perubahan, dan keterbatasan fisik, seperti penglihatan atau koordinasi tangan. Penelitian ini, tersedia secara open-access, menyoroti bahwa lansia sering merasa terintimidasi oleh teknologi karena mereka tidak tumbuh dengannya, berbeda dengan anak muda yang lahir dengan keyboard di tangan. Bayangkan teknologi sebagai bahasa asing: generasi muda adalah penutur asli, sementara generasi tua belajar dengan kamus tebal, penuh keraguan di setiap kata.

Bagi generasi muda—kita, para digital natives—teknologi adalah taman bermain tanpa batas. Kami menguasai WhatsApp sebelum bisa nyanyi lagu wajib, dan Zoom hanyalah soal klik “Join Meeting.” Tapi coba bayangkan nenek yang dulu menulis surat dengan mesin tik, kini diminta mengisi formulir online. Setiap ikon di layar baginya adalah hieroglif, setiap pembaruan aplikasi adalah badai yang mengacaukannya. Bukan karena mereka tak mau belajar, tapi karena teknologi sering terasa seperti klub eksklusif anak muda, dengan aturan tak tertulis yang sulit dipahami. Kesenjangan ini diperparah oleh sikap generasi tua yang kadang merasa, “Ini bukan dunia saya lagi,” seperti tamu yang salah masuk pesta.

Tapi, ada satir getir di sini: generasi muda, meski jago nge-tweet, sering lupa jadi guru yang baik. Kita mengeluh saat kakek salah pencet tombol, tapi jarang meluangkan waktu untuk menjelaskan dengan sabar. Padahal, Paul dan Stegbauer (2005) menekankan bahwa pendampingan sosial—seperti anak mengajari orang tua—adalah kunci untuk menutup jurang digital. Bayangkan betapa frustrasinya belajar berenang tanpa pelampung; begitulah generasi tua menghadapi teknologi tanpa panduan. Kita, anak muda, punya privilege digital, tapi juga tanggung jawab untuk berbagi. Alih-alih cuma tertawa saat nenek bingung pakai Instagram, coba ajari dia cara kirim foto—siapa tahu, dia bakal jadi influencer senior!

Faktor eksternal juga tak kalah pelik. Internet mahal, perangkat yang tak ramah lansia, dan antarmuka penuh jargon bikin generasi tua makin terpinggirkan. Pernahkah kamu melihat kakek mencoba membaca teks kecil di ponsel? Atau nenek yang panik karena “tombol kirim” tiba-tiba jadi ikon aneh? Teknologi modern sering dirancang untuk pengguna muda dengan mata tajam dan jari gesit, mengabaikan mereka yang butuh tombol besar atau panduan suara. Sementara itu, generasi muda nyaris tak merasakan hambatan ini—kita update aplikasi sambil ngopi, tanpa mikir dua kali. Kesenjangan ini ibarat pertandingan tinju: anak muda punya sarung tangan canggih, lansia cuma pakai tangan kosong.

Lalu, bagaimana cara membangun jembatan digital? Pertama, generasi muda harus jadi pendamping yang sabar. Ajari orang tua atau kakek-nenek dengan bahasa sederhana—katakan bahwa Google adalah “perpustakaan ajaib” atau email adalah “surat kilat.” Kedua, desainer teknologi perlu inklusif, menciptakan antarmuka dengan huruf besar, navigasi jelas, dan fitur ramah lansia. Ketiga, komunitas dan pemerintah bisa menggelar pelatihan teknologi gratis, seperti “kelas digital” untuk lansia, yang lebih berguna daripada iklan gadget mahal. Dengan langkah ini, generasi tua bisa melangkah ke dunia digital tanpa takut jatuh, seperti penyeberang yang dipandu di jembatan kokoh.

Kesenjangan generasi dalam akses teknologi adalah cerminan dari dunia yang kita ciptakan—serba cepat, tapi sering lupa pada mereka yang butuh waktu. Generasi muda punya keahlian digital, tapi juga tugas untuk mengulurkan tangan. Generasi tua bukan tak bisa belajar; mereka hanya butuh jembatan yang ramah. Teknologi seharusnya jadi alat penyatu, bukan dinding pemisah. Jadi, lain kali kamu melihat kakek bingung dengan ponselnya, jangan cuma menghela napas. Ambil tangannya, tunjukkan satu tombol, dan lihat senyumnya merekah. Di jalan raya digital ini, semua orang berhak melaju, tak peduli usia.

CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Sherly Azizah