Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | MADE DIDI KURNIAWAN
Ilustrasi angka-angka sebagai simbol persen [Pixabay/_Alicja_]

Terlena dengan narasi keberhasilan pembangunan dan terbuai oleh angka kemiskinan yang tampak memukau, Indonesia berpotensi terperangkap dalam sebuah ilusi statistik yang berbahaya. Ketika pemerintah dan para pembuat kebijakan hanya terpaku pada data yang kurang komprehensif, urgensi untuk melakukan inovasi kebijakan pengentasan kemiskinan bisa sirna.

Alokasi anggaran yang tidak memadai, program bantuan sosial yang tidak tepat sasaran, dan yang lebih mengkhawatirkan, menipisnya empati publik terhadap jutaan saudara sebangsa yang masih berjuang di bawah garis kemiskinan yang sesungguhnya, menjadi konsekuensi nyata.

Kemiskinan bukanlah sekadar deretan angka dalam laporan, melainkan menyangkut harkat dan martabat manusia. Mengabaikan sinyal 'pesimis' dari standar internasional sama dengan memilih untuk menutup mata terhadap potensi kerentanan sosial dan ekonomi di masa depan.

Kebijakan yang lahir dari ilusi statistik adalah kebijakan yang miskin empati dan gagal menyentuh akar permasalahan yang sebenarnya. Sudah saatnya kita berani membuka mata lebar-lebar dan mengakui bahwa 'angka cantik' seringkali menyembunyikan realita yang jauh lebih kompleks dan menyakitkan.

Jurang Data, Jurang Empati: Bahaya Statistik yang Membutakan

Perbedaan mencolok antara data kemiskinan yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bank Dunia adalah alarm yang berbunyi nyaring. Ketika angka yang disajikan jauh berbeda, pertanyaan mendasar muncul: realitas kemiskinan seperti apa yang sebenarnya kita hadapi? Jika pemerintah hanya berpegang teguh pada satu sumber data yang mungkin kurang sensitif terhadap dinamika kemiskinan yang lebih dalam, maka risiko kebijakan yang diambil menjadi sangat besar.

Urgensi untuk inovasi kebijakan pengentasan kemiskinan dapat meredup seiring dengan keyakinan palsu akan keberhasilan yang sudah tercapai. Akibatnya, alokasi anggaran untuk program-program sosial bisa jadi tidak proporsional dengan skala masalah yang sesungguhnya, dan program-program bantuan yang ada berpotensi menjadi kurang efektif karena sasarannya yang kurang tepat.

Lebih jauh lagi, narasi keberhasilan yang prematur ini dapat menumpulkan rasa empati masyarakat luas terhadap kelompok-kelompok rentan yang masih berjuang keras untuk bertahan hidup. Kita perlu menyadari bahwa di balik setiap angka 'rendah', terdapat jutaan kisah perjuangan, keterbatasan akses terhadap pendidikan dan kesehatan, serta impian yang terenggut oleh kerasnya himpitan ekonomi. Kompleksitas kemiskinan tidak dapat direduksi hanya menjadi persentase, melainkan melibatkan dimensi multidimensi yang mencakup kerentanan sosial, ketidakberdayaan, dan hilangnya kesempatan untuk berkembang.

Konsekuensi Kebijakan yang Miskin Empati: Mengabaikan Jeritan di Balik Angka

Bahaya dari 'ilusi kemakmuran' yang diciptakan oleh statistik yang kurang komprehensif sangatlah nyata dalam tataran kebijakan. Jika para pembuat kebijakan terpukau dengan angka kemiskinan yang 'rendah', inovasi kebijakan pengentasan kemiskinan akan kehilangan momentumnya. Alokasi anggaran yang tidak sebanding dengan skala masalah yang sebenarnya akan melanggengkan ketidakmampuan program-program bantuan sosial untuk mencapai akar permasalahan.

Lebih jauh lagi, narasi keberhasilan yang prematur dapat meninabobokan kesadaran publik dan menumpulkan empati terhadap kelompok masyarakat yang masih berjuang di bawah garis kemiskinan yang sebenarnya. Mengabaikan sinyal yang lebih 'pesimis' dari standar internasional sama dengan menutup mata terhadap potensi ketidakstabilan sosial dan ekonomi di masa depan.

Ketidakpuasan dan frustrasi akibat ketimpangan yang terus menganga dapat memicu berbagai permasalahan sosial yang kompleks. Kebijakan yang didasarkan pada ilusi statistik berisiko menjadi kebijakan yang miskin empati, gagal menyentuh akar permasalahan kemiskinan yang sesungguhnya, dan pada akhirnya, memperlebar jurang ketidakadilan dalam masyarakat. Sudah saatnya kita berani membuka mata dan mengakui bahwa 'angka cantik' tidak selalu mencerminkan realitas yang sebenarnya, dan bahwa di balik setiap statistik, terdapat cerita pilu jutaan manusia yang membutuhkan uluran tangan dan kebijakan yang berpihak.

Saatnya Berbenah: Menuju Pengukuran Kemiskinan yang Lebih Akuntabel dan Berpihak

Perbedaan tajam antara data BPS dan Bank Dunia adalah panggilan untuk bertindak. Reformasi metodologi pengukuran kemiskinan di Indonesia bukan lagi sekadar pilihan, melainkan sebuah keniscayaan mendesak. Mengadopsi standar internasional sebagai salah satu tolok ukur utama akan memberikan perspektif global yang lebih akurat dan memungkinkan kita untuk belajar dari pengalaman negara lain dalam mengatasi tantangan serupa.

Standar nasional tetap penting untuk memahami konteks lokal yang unik, namun harmonisasi dengan standar internasional akan meningkatkan akuntabilitas dan transparansi dalam upaya pengentasan kemiskinan. Langkah ini membutuhkan keberanian untuk mengakui bahwa tantangan yang kita hadapi mungkin lebih besar dari yang selama ini kita yakini. Namun, dengan pemahaman yang lebih jujur dan komprehensif, kita akan mampu merancang kebijakan yang lebih efektif, mengalokasikan sumber daya dengan lebih bijak, dan pada akhirnya, membangun Indonesia yang lebih adil dan sejahtera bagi seluruh warganya.

Ilusi kemakmuran mungkin terasa nyaman untuk sesaat, namun kebenaran yang pahit akan membebaskan kita untuk bertindak lebih baik, merumuskan kebijakan yang lebih berempati, dan mewujudkan Indonesia yang sesungguhnya adil dan makmur bagi seluruh rakyatnya, tanpa terkecuali.

MADE DIDI KURNIAWAN

Baca Juga