Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Fauzah Hs
Ilustrasi kemiskinan (Freepik/jcomp)

Kamu pernah nggak, ngerasa hidupmu pas-pasan padahal katanya ekonomi negara kita lagi bagus-bagusnya? Scroll medsos, lihat pejabat senyum-senyum di peresmian proyek, angka inflasi katanya stabil, dan lapangan kerja disebut makin luas.

Tapi di sisi lain, kamu lihat temanmu harus jualan online sambil kuliah biar bisa bayar kos. Atau mungkin kamu sendiri pernah mikir dua kali buat beli ayam goreng karena uang saku tinggal sisa belasan ribu.

Nah, gimana kalau ternyata, kamu—dan mayoritas warga negara ini—sebenernya tergolong miskin, tapi nggak sadar?

Yup, ini bukan teori konspirasi. Ini data resmi dari Bank Dunia dalam laporan Macro Poverty Outlook April 2025.

Menurut mereka, 60,3% penduduk Indonesia tahun 2024 hidup dengan pengeluaran kurang dari US$6,85 per hari. Kalau dirupiahkan, kira-kira sekitar Rp115 ribu per hari.

Mungkin buat sebagian orang angka ini kedengarannya nggak kecil-kecil amat, tapi coba deh dihitung: Rp115 ribu itu harus cukup buat makan, transportasi, pulsa/internet, tempat tinggal, dan kebutuhan lain dalam sehari. Buat kamu yang pernah jajan bubble tea 30 ribuan, pasti sadar, angka ini tipis banget.

Yang lebih bikin mikir, kalau pakai standar ini, jumlah warga Indonesia yang masuk kategori miskin itu sekitar 171,9 juta orang. Artinya, lebih dari separuh penduduk negeri ini.

Jadi, kalau kamu lagi duduk di kafe dan di sekelilingmu ada sepuluh orang, kemungkinan besar enam dari mereka hidup di bawah standar negara menengah atas. Miris? Banget.

Bandingin deh dengan negara tetangga. Malaysia? Tingkat kemiskinannya cuma 1,3%. Thailand 7,1%, Vietnam 18,2%, bahkan Filipina—yang sering disama-samain sama kita—ada di angka 50,6%. Kita? Nomor dua tertinggi di Asia Tenggara setelah Laos yang 68,5%. Padahal katanya, kita negara dengan ekonomi terbesar di ASEAN.

Sementara itu, versi pemerintah kita—lewat data Badan Pusat Statistik (BPS)—menyebut kemiskinan Indonesia cuma 8,57% pada September 2024.

Loh, kok beda jauh banget ya sama data Bank Dunia? Tenang, ini bukan karena salah hitung. Perbedaannya ada di standar yang dipakai.

Bank Dunia pakai ambang Rp115 ribu per hari, sementara BPS cuma pakai Rp595 ribu per bulan, alias kurang dari Rp20 ribu per hari. Ya jelas aja hasilnya beda jauh.

Logika sederhananya, kalau kita pakai standar super minimal kayak BPS, ya wajar angka kemiskinannya tampak kecil. Tapi apa itu berarti rakyatnya benar-benar sejahtera? Kayak nilai ujian yang naik karena kisi-kisinya dipersempit, bukan karena muridnya makin pintar.

Nah, pertanyaannya sekarang: kenapa sih kita nggak berani jujur soal ini? Apa karena takut citra negara tercoreng? Atau karena kalau angka kemiskinan tinggi, jadi harus ada perubahan kebijakan yang menyulitkan elite? Bisa jadi. Tapi yang pasti, dengan menutup-nutupi realita, kita justru makin jauh dari solusi.

Kenyataannya, banyak anak muda di Indonesia yang hidup dalam kondisi serba terbatas. Lulusan kampus favorit masih harus ngelamar kerja ke sana-sini, saingan sama ribuan orang untuk satu posisi. Harga rumah makin nggak masuk akal. Upah minimum di banyak daerah masih mentok di angka 2–3 jutaan, padahal kebutuhan hidup terus naik.

Jadi ketika data Bank Dunia keluar dan bilang, "Guys, kalian tuh sebenarnya masih miskin lho," reaksi pertama mestinya bukan marah atau defensif. Tapi justru: "Oke, kalau gitu, apa yang bisa kita benahi?"

Kita nggak bisa cuma puas dengan angka statistik versi dalam negeri yang tampak cantik di presentasi. Karena kenyataan di lapangan sering kali bilang sebaliknya. Kalau kita tutup mata terus, ujung-ujungnya cuma akan bikin anak muda makin skeptis sama negara. Apalagi kalau tiap lima tahun kita disuruh "percaya lagi" sama janji-janji politik yang ujung-ujungnya itu-itu aja.

Masalahnya bukan kita nggak cinta tanah air. Justru karena peduli, kita harus berani nanya: kenapa negara yang katanya kaya sumber daya ini, masih punya lebih dari 170 juta orang miskin?

Kenapa pertumbuhan ekonomi yang katanya stabil nggak nyampe ke dapur rakyat kecil? Dan kenapa standar kemiskinan kita masih pakai angka zaman baheula, padahal harga Indomie aja udah naik berkali-kali?

Ini bukan soal pesimis, tapi realistis. Karena perubahan nggak akan datang dari optimisme buta, tapi dari keberanian untuk ngakuin kalau ada yang salah. Dan keberanian itu, bisa dimulai dari kita—dari obrolan, dari tulisan, dari kesadaran kecil yang menyebar pelan-pelan.

Mungkin, sudah saatnya kita berhenti nanya "kita miskin atau nggak?" dan mulai tanya "kenapa sistemnya bikin kita terus-terusan di ambang miskin?"

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Fauzah Hs