Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Davina Aulia
Ilustrasi kekerasan seksual (Pexels.com/Gustavo Fring)

Sebuah postingan di grup Facebook bernama 'Fantasi Sedarah' memicu kehebohan di media sosial. 

Postingan yang diunggah oleh akun bernama Rieke Jr pada 13 Mei 2025 menampilkan pernyataan seorang ayah yang mengaku memiliki fantasi seksual pada anak perempuannya yang berusia 2 tahun. 

Dalam postingan tersebut, ia menggambarkan secara detail penampilan anaknya dan menyatakan keinginannya untuk "bermain" dengannya ketika anak tersebut berusia 4 atau 5 tahun, bahkan menyebutkan bahwa ia harus "sabar menunggu" hingga saat itu tiba.
 
Grup "Fantasi Sedarah" sendiri diketahui memiliki 32.000 anggota, yang menunjukkan adanya komunitas daring yang mendukung atau terlibat dalam fantasi serupa.
 
Postingan ini menjadi sorotan karena melibatkan intensi yang sangat berbahaya terhadap anak di bawah umur, yang merupakan tindakan kriminal dan pelanggaran serius terhadap perlindungan anak.

Kasus ini menambah daftar panjang tantangan dalam melindungi anak dari kekerasan dan eksploitasi seksual, terutama di era digital di mana platform media sosial dapat menjadi sarana penyebaran konten berbahaya.

Perlindungan anak terhadap kekerasan seksual di Indonesia masih menghadapi tantangan yang signifikan meskipun berbagai upaya hukum dan sosial telah dilakukan. Kasus kekerasan seksual terhadap anak terus meningkat setiap tahunnya, baik yang terjadi di lingkungan keluarga, sekolah, maupun komunitas.

Meskipun pemerintah telah mengesahkan undang-undang seperti UU Perlindungan Anak dan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), implementasi di lapangan sering kali belum optimal, terutama dalam hal penanganan korban dan penegakan hukum terhadap pelaku.

Data dari UNICEF menunjukkan bahwa 17 hingga 56 persen anak di Indonesia yang mengalami eksploitasi atau pelecehan seksual daring tidak melaporkan kejadian tersebut kepada siapa pun.

Hal ini kemudian diperparah dengan mudahnya akses predator secara daring melalui media sosial untuk mendekati anak tanpa sepengatahuan orang tua. 

Kasus 'Fantasi Sedarah' menunjukkan peringatan dan urgensi bagi para orang tua dan anak untuk meningkatkan literasi digital guna mengenali ancaman daring.

Selain itu, masih adanya stigma sosial dan kurangnya pendidikan seksual sejak dini membuat banyak kasus tidak dilaporkan atau diselesaikan secara informal, yang justru merugikan korban. Padahal pendidikan seksual merupakan hal yang penting bagi anak dalam membentuk pemahaman mengenai tubuh, relasi sosial, serta batasan yang sehat dan aman.

Penelitian yang dilakukan oleh Yafie (2017) mengungkapkan bahwa seksualitas tidak membicarakan hal-hal yang ‘mengumbar aurat’ atau mengajarkan bagaimana caranya berhubungan seks dan bukan hanya pembicaraan tentang seputar alat kelamin, tetapi seksualitas membicarakan tentang totalitas ekspresi kita sebagai laki-laki atau perempuan.

Studi oleh (Aisyah et al., 2022) menunjukkan bahwa hambatan terbesar dalam pendidikan seks di Indonesia berasal dari faktor budaya, kurangnya sumber daya, serta ketidaksiapan pendidik dalam menyampaikan materi secara terbuka dan sesuai usia. Hal ini menjadi akar permasalahan yang menyebabkan kurangnya pemahaman anak terhadap batasan-batasan dalam relasi sosial.

Oleh karena itu, diperlukan dukungan dari lingkungan keluarga, budaya, pendidikan, hingga pemerintahan dalam menanamkan pentingnya pendidikan seksual bagi anak.

Selain itu, dukungan sinergi antara pemerintah, masyarakat, lembaga pendidikan, dan keluarga dalam menciptakan lingkungan yang aman serta mendukung pemulihan dan perlindungan menyeluruh bagi anak korban kekerasan seksual.

Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, telah meluncurkan program selama tiga tahun bersama UNICEF untuk mencegah eksploitasi seksual anak secara daring (OCSEA).
 
Program ini mencakup edukasi kepada anak dan pengasuh, penguatan kebijakan perlindungan anak, serta advokasi untuk lingkungan daring yang lebih aman.

Keberhasilan program ini sangat bergantung pada kolaborasi lintas sektor, termasuk platform media sosial yang harus lebih proaktif dalam memantau dan menghapus konten berbahaya serta perlu adanya tindakan hukum yang tegas untuk memmberikan efek jera pada pelaku.

Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang baru di Indonesia sebenarnya telah memberikan landasan hukum untuk menangani kasus semacam ini, termasuk kekerasan seksual daring.

Namun, implementasi yang lambat dan kurangnya koordinasi antarlembaga sering kali menghambat penanganan kasus, sehingga anak-anak tetap berada dalam risiko tinggi.

Pihak berwenang, termasuk kepolisian, didesak untuk menyelidiki lebih lanjut keberadaan grup ini dan mengambil tindakan tegas untuk melindungi anak-anak yang berpotensi menjadi korban.
 
Kasus ini juga menjadi pengingat akan pentingnya peran aktif masyarakat dalam melaporkan konten berbahaya demi mencegah terjadinya kasus kekerasan seksual terhadap anak.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Davina Aulia