Scroll untuk membaca artikel
Ayu Nabila | Rion Nofrianda
Ilustrasi karyawan sedang meeting (pexels/fauxels)

Dalam lanskap organisasi modern, pertanyaan tentang apa yang membuat karyawan merasa puas di tempat kerja tak lagi cukup dijawab dengan iming-iming gaji besar, ruang kantor yang estetik, atau tunjangan makan siang.

Kepuasan kerja, sebagai salah satu variabel psikososial terpenting dalam manajemen sumber daya manusia, kini menuntut pembacaan ulang yang lebih dalam, lebih kontekstual, dan lebih manusiawi.

Artikel karya Manda Dwipayani Bhastary yang dimuat dalam Maneggio: Jurnal Ilmiah Magister Manajemen tahun 2020, menawarkan kontribusi berarti dalam perbincangan ini.

Ia menyandingkan dua variabel kunci: etika kerja dan stres kerja, untuk melihat bagaimana keduanya memengaruhi kepuasan kerja karyawan. Namun, sejauh mana artikel ini menjawab problematika aktual dunia kerja Indonesia hari ini?

Bhastary mengangkat etika kerja sebagai salah satu prediktor kepuasan kerja. Dalam kerangka konseptualnya, etika kerja dianggap sebagai nilai-nilai intrinsik yang dihayati oleh karyawan dalam bekerja, seperti tanggung jawab, kejujuran, disiplin, dan komitmen. Konsep ini senada dengan ide klasik dari Max Weber yang mengaitkan etos kerja Protestan dengan kemajuan kapitalisme Barat.

Namun, dalam konteks Indonesia yang berakar pada nilai-nilai kolektivistik dan spiritualitas Timur, etika kerja tidak hanya soal kerja keras, tapi juga soal “kerja yang bermakna” dan “kerja yang selaras dengan nilai sosial dan moral”.

Sayangnya, artikel Bhastary belum cukup mendalami bagaimana konstruksi sosial dan budaya memengaruhi etika kerja tersebut. Apakah etika kerja yang dimaksud bersifat universal atau sangat tergantung pada kultur organisasi?

Bagaimana peran pemimpin dalam membentuk dan menumbuhkan etika kerja ini? Di tengah-tengah meningkatnya budaya kerja "toxic productivity" yang menjadikan kerja keras sebagai bentuk glorifikasi, pertanyaan ini menjadi sangat penting.

Bhastary mencatat bahwa etika kerja memiliki pengaruh positif terhadap kepuasan kerja. Temuan ini menguatkan literatur terdahulu, tetapi membuka ruang diskusi baru: apakah organisasi hanya membutuhkan karyawan yang “beretika kerja tinggi” atau justru organisasi harus juga memastikan bahwa nilai-nilai etika yang diusung bersifat kolektif dan tidak mengorbankan kesejahteraan karyawan?

Dalam konteks ini, etika kerja seharusnya tidak dilihat sebagai tanggung jawab individual semata, tapi sebagai sistem nilai yang diciptakan dan dipelihara oleh organisasi.

Di sisi lain, Bhastary memasukkan stres kerja sebagai variabel kedua yang diuji terhadap kepuasan kerja. Penulis mendefinisikan stres kerja sebagai kondisi ketegangan psikologis dan fisiologis akibat ketidaksesuaian antara tuntutan pekerjaan dan kemampuan individu.

Di titik ini, Bhastary cukup tajam dengan menempatkan stres bukan sekadar sebagai konsekuensi beban kerja, tetapi sebagai disrupsi keseimbangan psikologis yang bisa berdampak pada kualitas kehidupan kerja.

Temuan bahwa stres kerja berpengaruh negatif terhadap kepuasan kerja sebenarnya bukan hal baru. Namun yang menarik, artikel ini mencoba menguji secara simultan hubungan antara stres kerja dan etika kerja terhadap kepuasan kerja.

Di sinilah muncul dinamika yang paradoks: di satu sisi organisasi mendorong etika kerja tinggi (yang identik dengan produktivitas, tanggung jawab, dan komitmen tinggi), tetapi di sisi lain, dorongan ini dapat menyebabkan stres kronis jika tidak dibarengi dengan sistem pendukung yang memadai.

Bhastary tidak secara eksplisit membahas bentuk-bentuk stres kerja yang muncul dalam konteks organisasinya. Apakah stres itu berasal dari beban kerja yang berlebihan, konflik peran, ambiguitas jabatan, atau dari relasi interpersonal yang tidak sehat?

Aspek ini krusial untuk dianalisis lebih jauh, mengingat stres kerja dalam organisasi Indonesia sering kali muncul akibat sistem manajerial yang otoriter, kurangnya transparansi komunikasi, dan kultur kerja yang tidak menoleransi kegagalan.

Dalam realitasnya, banyak organisasi yang tidak menyadari bahwa mereka menjadi sumber utama stres karyawan. Tekanan deadline, multitasking berlebihan, tuntutan target tak realistis, dan jam kerja panjang yang dibungkus jargon “dedikasi” sering kali menjadi penyebab menurunnya kesehatan mental pekerja.

Ironisnya, mereka yang memiliki etika kerja tinggi justru lebih rentan mengalami burnout karena dorongan intrinsik mereka untuk bekerja sebaik mungkin.

Kepuasan kerja, sebagaimana didefinisikan dalam artikel ini, merupakan keadaan emosional yang positif akibat penilaian terhadap pekerjaan.

Dalam teori klasik seperti dua faktor Herzberg atau teori kebutuhan Maslow, kepuasan kerja dipengaruhi oleh faktor-faktor intrinsik (misalnya makna kerja, pengakuan, peluang berkembang) dan ekstrinsik (gaji, kondisi kerja, hubungan sosial).

Bhastary menunjukkan bahwa etika kerja dan stres kerja mampu menjelaskan sebagian dari variasi kepuasan kerja. Namun, dalam praktiknya, kepuasan kerja sangat dinamis dan multidimensi.

Salah satu kelemahan dalam pendekatan kuantitatif seperti ini adalah kecenderungan mereduksi kepuasan kerja sebagai angka atau skor rata-rata. Kepuasan kerja bukan semata soal “tinggi” atau “rendah”, tetapi juga tentang mengapa dan bagaimana perasaan itu terbentuk.

Misalnya, seorang karyawan bisa saja merasa puas dengan pekerjaannya secara umum, tetapi kecewa terhadap gaya kepemimpinan atasannya.

Di titik ini, pendekatan kualitatif akan lebih mampu menggali narasi personal karyawan, termasuk makna-makna simbolik yang melekat pada pengalaman kerja mereka.

Artikel ini juga belum cukup menyentuh isu keseimbangan antara kehidupan kerja dan kehidupan pribadi (work-life balance), yang dewasa ini menjadi elemen penting dalam diskusi tentang kepuasan kerja.

Dalam era kerja digital yang menembus batas waktu dan ruang, banyak pekerja merasa bahwa kantor telah masuk ke ruang privat mereka. Kepuasan kerja tak lagi hanya soal relasi dengan atasan atau gaji yang diterima, tetapi juga soal otonomi, fleksibilitas, dan rasa dihargai sebagai manusia utuh.

Salah satu kekuatan artikel Bhastary terletak pada penggunaan pendekatan kuantitatif dengan analisis regresi berganda, yang mampu menguji kontribusi relatif dari masing-masing variabel bebas terhadap variabel terikat.

Namun demikian, pertanyaan kritis muncul: sejauh mana model yang digunakan mampu menangkap kompleksitas relasi psikososial di tempat kerja? Apakah etika kerja dan stres kerja cukup untuk menjelaskan kepuasan kerja, atau masih ada variabel lain yang seharusnya ikut dipertimbangkan?

Dalam praktik manajerial, hasil penelitian ini menyimpan implikasi penting. Pertama, organisasi harus mulai membangun sistem yang menanamkan etika kerja tidak hanya melalui pelatihan atau reward, tetapi melalui keteladanan pimpinan, keadilan prosedural, dan penciptaan budaya kerja yang suportif.

Kedua, penting bagi organisasi untuk secara aktif melakukan audit stres kerja—bukan hanya melalui survei, tetapi juga dengan mendengar langsung suara karyawan dan memperbaiki akar struktural dari stres tersebut.

Dalam konteks pembangunan sumber daya manusia di Indonesia, artikel ini memberi pengingat bahwa kebijakan HR tidak bisa berhenti pada upaya meningkatkan produktivitas atau retensi semata.

Kepuasan kerja adalah cerminan dari kualitas relasi antara individu dan organisasinya. Organisasi yang hanya berfokus pada output, tetapi mengabaikan proses psikologis di dalamnya, pada akhirnya akan kehilangan talenta terbaiknya.

Sebagai sebuah artikel ilmiah, karya Bhastary telah memenuhi kriteria dasar riset kuantitatif: hipotesis yang jelas, data empiris, serta analisis statistik yang tepat.

Namun, untuk menghasilkan pemahaman yang lebih utuh dan humanistik tentang kepuasan kerja, riset semacam ini perlu diperkaya dengan pendekatan naratif.

Mengapa seorang karyawan dengan etika kerja tinggi tetap memilih resign? Apa yang dirasakan oleh karyawan yang terus-menerus berada di bawah tekanan? Bagaimana mereka memaknai kepuasan dalam kondisi ketidakpastian ekonomi?

Pertanyaan-pertanyaan ini tidak bisa dijawab dengan angka, tetapi dengan mendengar kisah mereka. Di sinilah pentingnya integrasi antara penelitian kuantitatif dan kualitatif dalam kajian organisasi. Artikel Bhastary dapat menjadi batu loncatan menuju riset-riset yang lebih interdisipliner dan kontekstual.

Akhirnya, kepuasan kerja bukan sekadar hasil dari kerja keras atau manajemen stres yang baik, tetapi merupakan hasil dari ekosistem organisasi yang sehat, adil, dan manusiawi. Artikel Bhastary telah menyalakan percik penting dalam memahami bagaimana etika dan tekanan berkelindan dalam ruang kerja kita.

Namun untuk benar-benar menjawab tantangan zaman, kita perlu melampaui angka, menembus dinding ruang rapat, dan mendengar dengan hati terbuka. Hanya dengan begitu, kita bisa menciptakan tempat kerja yang bukan hanya produktif, tetapi juga penuh makna.

BACA BERITA ATAU ARTIKEL LAINNYA DI SINI

Rion Nofrianda