Di dunia literasi, tak jarang kita menemukan orang yang merasa paling berbudaya hanya karena membaca buku-buku filsafat, sastra klasik, atau karya ilmiah.
Mereka dengan mudahnya menilai genre populer seperti novel remaja, fiksi romance, bahkan komik, sebagai bacaan rendah yang tidak mendidik.
Pola pikir seperti ini tidak hanya menciptakan tembok eksklusif di dunia literasi, tapi juga membuat banyak orang ragu untuk menyebut dirinya pembaca karena takut dihakimi oleh “polisi selera”.
Padahal, setiap buku punya nilai dan tujuannya sendiri. Tidak semua orang membaca untuk mencari kedalaman makna filosofis atau pemahaman politik.
Ada yang membaca untuk hiburan, untuk pelarian dari penatnya hidup, atau sekadar menikmati kisah yang menyentuh hati. Apakah itu membuat bacaan mereka lebih rendah? Tentu tidak.
Bacaan yang membuat seseorang merasa lebih hidup, lebih tenang, atau lebih dipahami, layak dihargai seperti halnya buku manapun.
Ironisnya, justru sikap merendahkan genre tertentu itulah yang bertentangan dengan semangat literasi. Literasi sejatinya tentang keterbukaan pikiran, kemampuan memahami berbagai perspektif, dan menghargai beragam bentuk narasi.
Mengkotak-kotakkan bacaan hanya akan mempersempit ruang gerak literasi itu sendiri. Tak sedikit pembaca yang merasa minder karena selera bacanya dianggap cemen atau tidak intelektual.
Mereka takut mengakui bahwa mereka menyukai cerita cinta, fantasi, atau bahkan buku-buku motivasi ringan. Akibatnya, membaca yang seharusnya jadi aktivitas menyenangkan, malah berubah jadi ajang pembuktian sosial.
Padahal, membaca novel atau cerita fiksi juga memiliki banyak manfaat psikologis dan sosial. Salah satunya adalah melatih empati.
Ketika kita mengikuti perjalanan tokoh-tokoh dalam cerita, merasakan konflik batin mereka, memahami latar belakang keputusan yang diambil, dan menyelami emosi yang mereka alami, secara tidak langsung kita sedang belajar melihat dunia dari sudut pandang orang lain.
Dengan memahami kehiduapn yang kita kira tidak pernah ada sebelumnya, maka dapat menumbuhkan rasa empati dan tenggang rasa. Maka jangan remehkan kekuatan sebuah novel atau karya fiksi lainnya, ia bukan hanya sebagai hiburan, tapi juga sarana membentuk kepekaan hati.
Perlu diingat, banyak orang sedang dalam proses membangun kebiasaan membaca. Tak semua orang langsung bisa atau nyaman membaca buku-buku berat yang sarat teori atau filosofi.
Justru, membaca buku yang ringan, sederhana, dan dekat dengan pengalaman sehari-hari sering menjadi pintu masuk yang efektif.
Dari situ, perlahan tumbuh minat, lalu rasa ingin tahu, hingga akhirnya bisa berkembang ke bacaan yang lebih kompleks. Menghakimi orang yang baru mulai membaca dari buku-buku populer sama saja dengan mematahkan semangat mereka yang sedang belajar mencintai literasi.
Kita perlu menyadari bahwa semua buku, apapun genrenya, adalah pintu. Beberapa pintu mengantarkan kita ke dunia ide yang kompleks, yang lain membawa kita ke dunia imajinasi yang menyembuhkan.
Yang satu tak lebih unggul dari yang lain. Mereka hanya berbeda fungsi dan suasana. Sama seperti makanan, ada saatnya kita butuh gizi dari sayuran, dan ada kalanya kita hanya ingin menikmati es krim. Tak perlu merasa bersalah atau rendah diri karenanya.
Maka, berhentilah membanding-bandingkan bacaan. Hargai setiap orang yang memilih membaca apapun bentuknya. Karena justru dengan menghargai keragaman itu, kita sedang merawat iklim literasi yang lebih sehat dan menyenangkan bagi semua kalangan.
Ingat, mencintai buku tidak harus dimulai dari yang berat. Kadang, yang ringan justru membuka jalan. Setiap orang memiliki proses masing-masing untuk bertumbuh.
Najwa Shihab pernah berkata, "Cuma perlu satu buku untuk jatuh cinta pada membaca." Maka carilah dari yang kamu suka, membaca tidak harus dimulai dari buku yang dianggap berat atau berkelas. Justru, yang paling penting adalah menemukan satu buku yang benar-benar membuat kita betah dan tenggelam di dalamnya.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.
Baca Juga
-
Buku dan Empati: Membaca Adalah Latihan Menjadi Orang Lain
-
Review Novel Kudasai: Ketika Harus Memilih Dua Pilihan Sulit dalam Hidup
-
Buku: Teman yang Selalu Tahu Cara Memahami dan Tak Pernah Menghakimi
-
Penulisan Ulang Sejaran dengan Tone Positif: Bagaimana Nasib Buku Kiri?
-
Sayang Pada Buku Bukan Berarti Pelit: Memahami Hati Seorang Bibliotaph
Artikel Terkait
-
Ulasan Novel You Killed Me First: Persahabatan yang Berujung Pengkhianatan
-
Ironi Literasi: Ketika Buku Bajakan Laris, Tapi Penulisnya Tak Dihargai
-
Ulasan Novel Broken Country: Antara Cinta Pertama dan Kehidupan Masa Kini
-
Ulasan Novel Love Sick: Menghadapi Cinta dan Ambisi di Dunia Kedokteran
-
Ulasan Novel The Perfect Divorce: Dari Pengacara Hebat ke Tersangka Utama
Kolom
-
Polemik Rumor Pratama Arhan Pemain Titipan, Baiknya Pencinta Sepak Bola Pahami Dulu Hal Ini
-
Lemahnya Paspor Negara Kita: Indonesia Berhak Mendapat Kesetaraan
-
Popularitas Olahraga Lari di Kalangan Gen Z: Tapi Masihkan Soal Kesehatan?
-
Mengapa Gen Z Susah Kaya? Ini Bukan Sekadar Soal Malas atau Boros!
-
Ilusi Promosi Tanggal Kembar: Ketika Konsumerisme Dikemas sebagai Perayaan
Terkini
-
Ulasan Buku Born A Crime: Bertahan Hidup di Tengah Sistem yang Menindas
-
Piala AFF U-23: Laga Filipina vs Malaysia Usai, Peta Persaingan Berubah Drastis!
-
Animals oleh Onew SHINee: Bangkitkan Naluri Kebebasan Dalam Diri
-
4 Masker Wajah Mengandung Ekstrak Beras, Ampuh Meningkatkan Kecerahan Kulit
-
Rilis Album Swag, Justin Bieber Telah Lunasi Utang Rp510 M ke Scooter Braun