Adaptasi novel ke film selalu menjadi perbincangan hangat di kalangan pembaca dan penonton. Tak sedikit yang menaruh ekspektasi tinggi pada film yang diangkat dari buku favorit mereka.
Sayangnya, harapan itu sering kali berubah jadi kekecewaan. Cerita yang diimajinasikan dengan bebas lewat kata-kata, tiba-tiba dibatasi oleh durasi dan visual yang tak selalu sesuai harapan.
Namun, apakah adaptasi dari novel ke film selalu menjadi versi yang “lebih rendah”? Tidak juga. Buku dan film adalah dua medium yang berbeda. Keduanya memiliki kekuatan masing-masing dalam menyampaikan cerita.
Novel memberi ruang imajinasi yang luas, membiarkan kita membayangkan wajah tokoh, membangun suasana, hingga merasakan konflik secara perlahan.
Sedangkan film lebih instan, langsung menyajikan visual, ekspresi, dan emosi dalam waktu singkat. Di sinilah kadang konflik muncul, pembaca merasa film “tidak sedalam novelnya”, sementara penonton merasa filmnya sudah cukup menyentuh.
Ambil contoh novel populer yang diadaptasi menjadi film adalah Home Sweet Loan karya Almira Bastari. Novel ini menarik karena memotret realitas anak muda urban yang dihimpit oleh tuntutan finansial dan mimpi.
Isu yang diangkat tentang generasi sandwich, cicilan rumah, dan harga hubungan yang harus dibayar dengan kompromi hidup begitu dekat dengan kehidupan sehari-hari pembacanya.
Ketika diadaptasi ke layar lebar, Home Sweet Loan pasti mendapatkan sambutan yang beragam. Ada yang menyambut positif karena berhasil mempertahankan nuansa ringan namun mengena sesuai yang ada di dalam novelnya.
Pemilihan aktor, setting, dan dialog juga terasa familiar dan tidak dibuat-buat. Adaptasi ini menjadi bukti bahwa novel bergenre populer pun bisa menghasilkan film yang bukan hanya menghibur, tetapi juga menyentil persoalan yang relevan di masyarakat.
Di sisi lain, banyak pula yang merasa biasa saja dengan alur cerita yang ada dalam film tersebut, karena kehilangan konteks, pemangkasan alur yang drastis, atau bahkan pemilihan aktor yang tak sesuai bayangan pembaca.
Saat sebuah novel difilmkan, tak sedikit orang merasa ceritanya kehilangan kedalaman tak seperti pada novel aslinya, terutama pada dialog-dialog filosofis yang di novel dianggap terasa sangat hidup.
Yang perlu diingat adalah bahwa adaptasi adalah bentuk pembacaan ulang. Sutradara dan penulis naskah juga pastinya akan menjadi pembaca terlebih dahulu, hanya saja mereka menafsirkan cerita dengan cara mereka sendiri.
Karena penafsiran tidak akan selalu sama, maka dari itu akan selalu ada ruang bagi perbedaan pandangan antara pembaca novel dan penonton film. Hal itu adalah sebuah fenomena yang wajar dan perlu kita sikapi dengan bijaksana.
Tentu sah saja bila seseorang lebih menyukai versi novel daripada filmnya karena lebih lengkap, lebih emosional, atau lebih “berasa”. Tapi bukan berarti versi film tidak layak dinikmati.
Film justru bisa menjadi jembatan bagi orang-orang yang belum membaca bukunya secara langsung. Bahkan tak jarang, seseorang baru membaca novelnya karena menonton versi filmnya terlebih dahulu.
Adaptasi juga punya peran penting dalam memperluas jangkauan cerita. Tidak semua orang punya waktu atau minat membaca novel setebal 500 halaman.
Tapi lewat sebuah film, cerita yang panjang itu bisa dikenalkan dalam waktu dua jam. Dan siapa tahu, dari situ minat membacanya seseorang akan tumbuh.
Jadi, daripada membandingkan secara kaku, mungkin lebih bijak jika kita melihat adaptasi sebagai usaha memperpanjang usia sebuah cerita. Cerita yang bagus pantas hidup di berbagai medium, termasuk layar lebar.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Pink dan Hijau: Simbol Keberanian, Solidaritas, dan Empati Rakyat Indonesia
-
Jaga Jempolmu: Jejak Digital, Rekam Jejak Permanen yang Tak Pernah Hilang
-
Membaca untuk Melawan: Saat Buku Jadi Senjata
-
Diaspora Tantang DPR, Sahroni Tolak Debat: Uang Tak Bisa Beli Keberanian?
-
Keadilan bagi Affan: Ketika Kendaraan Negara Merenggut Nyawa Pencari Nafkah
Artikel Terkait
-
Tangis Haru Ananta Rispo Jelang Film GJLS: Ibuku Ibu-Ibu Tayang di Bioskop
-
Ulasan Novel Voyage of the Damned: Pelayaran Mewah yang Berujung Maut
-
Cerita Emir Mahira 17 Kali Masuk Angin Selama Syuting Tenung
-
Monty Tiwa: 25 Tahun Syuting, Ilmunya Nggak Kepakai Buat Film GJLS
-
Proyek Ambisius Falcon Pictures, Animasi Film Warkop DKI Kartun Dibandingkan dengan Jumbo
Kolom
-
Demokrasi Bukan Sekadar Kotak Suara, Tapi Nafas Kehidupan Bangsa
-
Repot? Mempertanyakan Sikap Pemerintah pada Tuntutan Rakyat 17+8
-
Rakyat Ingin RUU Perampasan Aset, DPR Sibuk Pangkas Tunjangan
-
Polemik Bu Ana, Brave Pink, dan Simbol yang Mengalahkan Substansi
-
Lebih dari Sekadar Demo: Aksi Ibu-Ibu Ini Buktikan Aspirasi Bisa Disampaikan Tanpa Anarki!
Terkini
-
Dari Anak Ajaib Jadi Pesakitan: Ironi Perjalanan Karier Nadiem Makarim Sebelum Terjerat Korupsi
-
Pestapora Minta Maaf soal Freeport, Gestur Kiki Ucup Dihujat: 'Minimal Tangan Jangan di Saku!'
-
Classy & Cozy, 4 OOTD Street Style Hyunjin STRAY KIDS yang Bisa Kamu Tiru
-
4 Toner Lotus Kaya Antioksidan untuk Kulit Glowing Alami dan Bebas Kusam
-
Jajaran Pemain Sudah Lengkap, Syuting Film Street Fighter Kini Dimulai